Oktovianus Pogau, Dari Nabire sampai Washington DC

0
7655

Oleh : Ruth Ogetay

Pertama kali saya ketemu Oktovianus Pogau, Juli 2009 di sebuah  pertemuan  kecil para aktivis Papua di daerah Kalibobo, Nabire. Saya  sedang  liburan kuliah  dari  Yogyakarta dan diajak seorang  sepupu buat dengar sebuah diskusi. Okto remaja 17 tahun, kesannya  cerdas. Dia  pakai baju  biru dan celana jeans.

Dia pegang sebuah buku. Waktu rapat, sesekali bicara dan lebih banyak tunduk baca buku. Kalau tidak salah, dia baca buku Stephen Oppenheimer berjudul  Eden in the East.

Setelah diskusi  selesai  kami  pulang  tempat  tinggal masing–masing. Saya melanjutkan kuliah di Yogyakarta sampai lulus pada 2011.  Kami ternyata sama-sama merantau ke Jakarta. Okto kuliah di Universitas Kristen  Indonesia. Saya ikut bantu pekerjaan di Yayasan Pantau, mengurus tahanan politik Papua, sejak 2012. Okto sosok baik hati dan mudah bergaul dengan dengan siapa saja.

Kedua kalinya, saya bertemu Pogau di rumah Andreas Harsono, salah seorang pengurus Yayasan Pantau di Jakarta –rumahnya tempat orang-orang diskusi berbagai persoalan yang terjadi di Indonesia, dari politik sampai hak asasi manusia. Saya orang baru jadi saya memilih diam untuk mendengarkan. Rupanya seru dan menarik.

ads

Saya makin sering bertemu Okto sesudah kami sering bertemu mahasiswa Papua di Monumen Nasional setiap Sabtu malam – main basket, baku cerita, makan, diskusi soal berbagai persoalan di Tanah Papua. Kami tentu sama menonton sepakbola bila Persipura main di Jakarta.

Okto  seorang  wartawan muda yang pemberani, kritis dan mau bersuara membela rakyat Papua.  Saya perhatikan dia selalu yang paling muda dari semua aktivis bila ada pertemuan. Entah pertemuan dengan  sesama  Papua atau di rumah Kak  Andreas.

Baca Juga:  Menghidupkan Kembali Peran Majelis Rakyat Papua

Dia menulis  dan menyunting “Suara  Papua, yang didirikan pada Desember 2011. Seingat saya, Okto menempati sebuah rumah kos di daerah Cawang, dekat kampus UKI. Beberapa liputan Okto memukau saya. Dengan kata-kata, Okto membuka kedok kurang baik yang disembunyikan oleh militer dan polisi Indonesia. Dia meliput Konggres Papua III di Abepura  yang  dibubarkan dengan rentetan peluru. Saya bayangkan orang lari kiri dan kanan. Namun keberanian ada pada diri seorang Okto Pogau, wartawan muda ini maju merekam dan mendokumentasikan apa yang terjadi di lapangan tanpa memikirkan keselamatan dirinya terhadap timah panas yang sedang berhamburan.

Kami sering kerja sama  ketika Filep Karma, tahanan politik Papua, dirawat di rumah sakit Cikini pada Juli 2012. Saya bantu Bapa Karma di rumah sakit –mulai dari urusan laboratorium  darah  sampai  cari makan buat rombongannya. Pogau, tentu saja, banyak diskusi maupun membantu keperluan kecil Bapa Karma. Pendek kata, antara 2012 sampai 2014, kami sering bertemu. Okto lantas pindah ke Manokwari dan saya pindah ke Jayapura.

Oktovianus Pogau adalah  sahabat saya.  Dia orang kritis. Dia  juga pemberani. Saya perhatikan kesehatan Okto mulai menurun pada Maret 2015. Saya dengar dari Andreas Harsono  yang  mengunjungi  Okto di Jayapura. Okto memang punya berbagai penyakit sejak masih kecil.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Kami bertemu lagi pada Mei 2015 ketika Presiden Joko Widodo membebaskan lima narapidana politik dari penjara Abepura. Kamu bicara di sebuah rumah milik gereja di Abepura. Okto tampaknya senang bicara dengan mereka berlima. Saya ikut senang karena dua  dari mereka adalah kenalan Okto ketika mereka di penjara di Nabire.

Saya terakhir bertemu Okto di kantor Kontras Papua, Abepura, pada November 2015. Dia sedang mempersiapkan perjalanannya ke Amerika Serikat, ikut program dari State Department. Saya kebetulan juga diundang ikut program sama namun gelombang sesudah Okto. Jadi kami banyak bicara soal persiapan. Maklum musim dingin.

Saya juga mengeluh soal saya dicurigai sebagai mata-mata. Ada saja gosip di Jayapura bahwa saya bekerja sebagai mata-mata. Okto bilang diabaikan saja. Dia bilang orang  yang memulai  gosip tersebut juga pernah membuat  fitnah soal dirinya. Kami bicara soal pakaian apa yang harus dibawa. Dia bilang kesehatannya membaik, terlihat bugar walau agak kurus.

“Kalau kau dengar semua omongan orang, kau trada kerja apapun,” katanya

Dari Facebook, Desember 2015, saya lihat dia pergi ke Cleveland, St. Louis, San Diego di California maupun Washington DC.

Di St. Louis, Missouri, Okto menulis dalam Facebook, “Kita mendengar banyak pemaparan tentang kebrutalan  dan kebiadaban polisi di kota Ferguson, kota yang hampir 90% penduduknya dihuni kulit hitam. Polisi berjumlah 54 orang, hanya tiga polisi kulit hitam. Di kota ini pemuda kulit hitam pakai celana gombrang ala anak2 R&B bisa kena denda, kota penuh diskriminasi-rasialis.”

Baca Juga:  Akhir Pekan Bersama “Perempuan Penyembah Malaikat”

“Kelakuan polisi di Ferguson hampir sama dengan di Papua, tapi saya kira di Papua lebih parah; su diskriminasi-rasialis, ditambah dengan kekerasan, pemukulan, penangkapan, pemenjaraan dan bahkan orang Papua sudah sering ditembak bak hewan.”

Saya tak bisa bayangkan betapa dingin Amerika Serikat buat Okto Pogau. Dingin bukan saja dari  suhunya yang dibawah suhu normal tapi juga diskriminasi dan rasialisme.

Ketika dia  pulang  dari  Amerika Serikat, saya hendak berangkat ke pada 8 Januari 2016. Kami bicara lewat telepon. Saya sudah di Jakarta. Okto di Jayapura. Dia bilang soal pakaian. Dia tanya dari sepatu, kaos kaki, sarung tangan, model jaket saya. Dia bilang dingin sekali di Amerika Serikat. Dia mengomel sedikit soal saya tak hubungi dia lebih awal.

Pada 31 Januari 2016, saya berada di Salt Lake City, kota penuh salju, dingin sekali tapi indah, dan saya membaca di berbagai Facebook teman-teman saya bahwa Oktovianus Pogau meninggal dunia.  Saya kaget sekali. Rasanya baru saja bicara lewat  telepon soal jaket  dan kaos  kaki.

Kami sangat kehilangan Okto. Saya berdoa buat Okto dari Salt Lake City. Dia wartawan yang berani dan cerdas. Namun saya juga sadar lewat tulisan, goresan kata-katanya, Oktovianus Pogau akan hidup selamanya dan selalu dikenang oleh bangsa Papua.

 

Ruth Ogetay bekerja di Yayasan Pantau buat bantu kesehatan para tahanan politik Papua. 

 

 

Artikel sebelumnyaWiranto dan KOMNAS HAM RI Dilaporkan ke Ombudsman
Artikel berikutnyaPapua: Antara Surga dan Neraka