162 Tahun PI di Tanah Papua: Refleksi Atas Karya Keselamatan Kristus bagi Orang Papua

0
6523

Oleh: Albert Rumbekwan)*

  1. Pengantar

Sorotan tema HUT Pekabaran Injil di Tanah Papua ke-162 adalah: “Oleh Injil itu Kamu diselamatkan, asal kamu teguh berpegang padaNya”. (1 Korintus 15: 2a). Dengan sub tema: “Melalui HUT PI ke-162, GKI di Tanah Papua mengevaluasi dan meningkatkan Pekabaran Injil yang holistic, sebagai wujud Gereja yang Dewasa, Mandiri dan Misioner”. Merefleksikan perjalanan Pekabaran Injil bagi orang Papua di Tanah Papua ditengah tantangan global.  Apakah Injil akan tetap menjadi pemersatu perbedaan manusia Papua, atau, haruskah Injil digadaikan demi kepentingan politik individu dan kelompok saat ini?

2. Kirap Sejarah Obor Pekaran Injil di Nieuw Guinea

“Oleh Injil kamu di Selamatkan”. Sepenggal kata dari tema HUT PI ke-162, 5 Februari 2017, membawaku dalam lamunan sejarah Pekabaran Injil 162 tahun yang lalu. Ketika perahu yang ditumpangi C. W.Ottow dan J.G. Geissler,  melabuhkan sauhnya di pulau Mansinam, tepat ketika fajar merekah di ufuk timur, kedua Rasul itu melangkahkan kaki ke tepian pantainya Mansinam, berlutut menaikan doa sulung;“Dengan Nama Tuhan Kami menginjak Tanah ini”, memeteraikan Tanah Papua dengan berkat Tuhan, serta memohon perlindungan Tuhan bagi mereka di negeri asing ini yang didiami orang-orang hitam dan kafir. Sejak saat itu kedua Rasul tersebut tinggal mendiami pulau Mansinam dan Papua demi menabur benih Injil kepada orang Papua.

Perjuangan untuk menjangkau orang Papua dengan Injil di Mansinam dan Teluk Dorei tidak semulus harapan yang diimpikan, karena ternyata orang Papua di negeri ini hidup dalam kebencian, kecurigaan dan peperangan, membuat benih Injil yang ditabur seakan tiada bersemi dan tumbuh di hati orang Papua. Berbagai tantangan, sakit penyakit yang dialami, hampir membuat Ottow dan Geissler tawar hati. Perasaan itu tertuang dalam batu nisan Carl William Ottow, berbunyi; “seandainya suatu ketika nanti Ia berjumpa dengan satu saja orang Papua di Sorga, ia akan sangat berbahagia”. Ottow dan Geissler, tidak pernah melihat hasil tuaian dari beni Injil yang mereka ditabur.

ads

Sejarah telah mencatat kisah perjalanan para pembawa Injil di antara amukan badai,  gelombang, petir dan gulita dalam ganasnya alam Papua, serta  menghadapi tembok animism-dinamisme dan okultisme adat budaya Manusia Papua Tanah Nieuw Guinea. Obor Injil yang di pasang pertama kali di Mansinam, 5 Februari 1855, terus dilayarkan oleh setiap utusan Zending yang digiring para pendayung dari Numfor-Biak di Teluk Doreri menuju labuhan-labuhan baru di seberang lautan, singgah di tepian pantai, pulau, hulu, hilir, lembah dan gunung-gunung Tanah Papua.

Melihat dampak pemberitaan Injil yang terus bertumbuh dari satu kampung ke kampung, pesisir dan kepulauan, dataran, lembah dan gunung-gunung di Papua, Lembaga Zending di Belanda menyadari bahwa; “dalam waktu dekat, eksplotiasi ekonomi terhadap Papua rupanya akan segera dimulai. Zending wajib membimbing orang Papua, di tengah kekacauan yang…akan menimpa rakyat, termasuk orang Kristen. Karena itu, penting sekali bagi Zending memiliki pengetahuan yang mendalam tentang sifat dan mental orang Papua”. Maka, ketika tertentu terang Injil menjamah hati manusia Papua, Para Zending berusaha memenangkan hati para Mambri, Korano, Kepala Suku, Tokoh Adat dan Tokoh Masyarakat, sebagai mediator dan penerus pemberitaan kepada bangsanya  di seluruh pelosok tanag Nieuw Guinea.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Gereja dan sekolah Zending mulai dibuka, dimulai dari sekolah guru jemaat di Kwawi, Sekolah Peradaban di Miei YVVS dan MVVS di Korido, Kampung Harapan, ODO di Serui, serta sekolah bestir di Yoka, serta berbagai kursus-kursus rumah tangga bagi kaum perempuan dibuka oleh para Zending, untuk membuka wawasan berpikir dan mencerdaskan orang Papua serta membawa pembaharuan hidup bagi manusia Papua. Disaat semua karya itu mulai tumbuh, tantangan dan bahaya besar datang melanda kerja Zending di Nieuw Guinea. Amukan perang dunia kedua di Pasifik 1941-1947, memporak-porandakan semua kerja yang telah tertata oleh Zending, para utusan Zending, guru Injil dan guru sekolah peradaban yang berasal dari Sangihe Talaud dan Ambon dipulangkan kembali ke negeri asalnya. Gereja dan sekolah yang mulai tumbuh ditutup serdadu Jepang, orang Papua pun kembali hidup dalam ancaman psikis dan primodialisme.

Namun ditengah-tengah tantangan itu, cahaya obor  Injil tetap memiliki nyawa karena kekuatan Injil telah tumbuh di hati para Guru Jemaat, Guru Injil dan Penatua-Syamas, yang tetap bersama orang Papua, mereka terus menjaga asah dalam doa dan pengajaran untuk memberi harapan kepada jiwa-jiwa yang patah hingga berakhirnya perang dunia kedua. Setelah melewati masa bergolak, Zending pun menatap gerejanya di Nieuw Guinea, semua telah berubah, semua yang telah ada kini tiada. Pekerjaan harus dimulai dari awal, namun dasar iman sudah di tumbuhkan. Maka I.S. Kijne dan beberapa utusan Zending kembali ke Tanah Papua, membangkitkan kembali pelayanan pekabaran injil di mimbar gereja dan sekolah-sekolah Zending yang dulu ada. Dengan kesederhanaan dan keterbatasan pengetahuan dan fasilitas, mereka membangun kembali asa dan harapan manusia Papua, menumbuhkan Keimanan dan Nasionalisme Kepapuan. Maka Zending pun memikirkan agar kepemilikan Gereja yang telah dirintisnya.

 

3. Lahirnya Gereja Kristen Injili di Tanah Papua

Pergumulan untuk mendirikan gereja yang misioner dan mandiri di Tanah Nieuw Guinea, menjadi kenyataan ketika Sidang Sinode pertama berlangsung di tahun 1956. Melanjutkan percakapan dalam pertemuan proto Sinode di Serui tahun 1955, tepatnya tanggal, 18-29 Oktober 1956 dilangsungkannya Sidang Sinode di Hollandia Binnen, dalam gedung “Kerk deer Hoop” (sekarang gereja Harapan Abepura). Dalam Sidang yang panjang terjadi perdebatan dalam forum tentang kepemilikan gereja, dan siapakah yang akan memimpin Gereja ini, karena secara kuantitatif, sumber daya manusia Papua, belum mampu, karena saat itu baru ada satu pendeta, sedangkan kaum intelektual Papua lainnya belum ada. Keputusan Sidang Sinode pun dibuat, tanggal, 26 Oktober 1956, GKI di Nieuw Guinea Barat didirikan, dan F.J.S. Rumainum, putra Papua dari kepulauan Biak menjadi ketua Sinode Pertama.

Baca Juga:  Papua Sedang Diproses Jadi Hamba-Nya Untuk Siapkan Jalan Tuhan

Pekerjaan Pekabaran Injil harus terus berlangsug di Nieuw Guinea, Bandan Zending pun menyerahkan tanggung jawab itu kepada Gereja Kristen Injili, sehingga semua kehidupan dan pergumulan gereja harus dijalankan oleh orang Papua. Dengan segala keterbatasan dan kekurangan Ds. F.J.S. Rumainum, bersama para  Guru Injil, Guru Jemaat, Penatua, dan Syamas melayani  kaumnya. Kehadiran GKI sebagai Lembaga Gereja tertua di Papua merupakan buah dari pekabaran Injil serta penggenapan nubuat dari Ds. I.S. Kijne yang berbunyi; ..”…Suatu saat bangsa ini akan bangkit untuk memimpin bangsanya sendiri….”. Tongkat estafet Pekabaran Injil setelah tahun 1956, GKI di Nieuw Guinea, memasuki tantangan baru, ketika wilayah Papua menjadi rebutan politik Indonesia-Belanda. Tahun 1960-1969-an, rumah tua GKI di Tanah Papua, harus menentukan nasib dan masa depan orang Papua dan tanahnya.  Saat itu Ds. F.J.S. Rumainum, sebagai ketua Sinode GKI di Nieuw Guinea harus mengambil sikap, antara mengikuti Indonesia atau memilih Papua lepas dari NKRI.

Jelas ini keputusan yang cukup sulit, karena antara tahun 1943-1961, Indonesia telah melakukan manuver politik diplomasi, licik dan keras ke seluruh wilayah Nieuw Guinea. Para pasukan Indonesia telah menguasai setiap wilayah Papua dan memberikan tekanan dan ancaman kepada manusia Papua. Sehingga dengan hati yang bijak dan sedih, Ds. F.J.S. Rumainum, dalam Sidang Darurat yang berlangsung tahun 1962 di Gereja Harapan di Hollandia Binnen, menyatakan bahwa; atas nama lembaga dan umat GKI di seluruh Tanah Nieuw Guinea mengakui dan ikut NKRI. Setelah itu, Ds, Rumainum, berpulang ke rumah Bapa di Sorga. Tongkat estafet kepemimpinan GKI di Tanah Papua, diteruskan kepada  Ds. Mamoribo, Pdt. M. Koibur, Pdt. Willem Maloali, Pdt. Sawen, lalu Pdt Sabarofek, Pdt. N. Noriwari, Pdt. Herman Saud, Pdt. Yemima Krey dan Pdt. Albert Yoku. Rumah tua GKI hingga saat ini masih tetap satu.

Baca Juga:  Hilirisasi Industri di Indonesia: Untung atau Buntung bagi Papua?

4. GKI dan Kegerakan Oikumena dalam tantangan Global 

Membaca sejarah perjalanan Pekabaran Injil di Papua yang telah dikerjakan oleh para Zending hingga lahirnya GKI di Tanah Papua, telah menggambarkan beberapa tantangan antara lain; tantangan alam, animism-dinamisme, okultisme, perang antar suku, perang dunia kedua, politik ekonomi kapitalis, ancaman dan intimidasi genosida pasca integrasi dan tranformasi ideology melalui urbanisasi. Memasuki Abad XXI-hingga masuki periode reformasi politik Indonesia, berbagai persoalan baru hadir membelenggu kehidupan manusia Papua, sebagai akibat dari metamorphosis persoalan masa lalu yang tidak berujung.

Berbagai masalah hadir; seperti pelanggaran HAM terus terjadi, penyakit HIV/AISD dan penyakit lainnya, perkembangan dan perang global ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), berbagai penyakit sosial masyarakat karena Miras, Narkoba sampai Politik Pilkada dan Legislative dan kepentingan individu dan kelompok, menjadi ancaman keimanan manusia Papua yang dirawat oleh kaum yang di urapi, yaitu: Pendeta, Guru Injil, Guru Jemaat, Penatua dan Syamas di gereja saat ini.

Gereja Kristen Injili di Tanah Papua sebagai rumah tua pekabaran Injil di Nieuw Guinea, harus menjawab misi misioner dan mandiri untuk menjaga kesatuan dan keutuhan iman umat kristiani di atas Tanah Papua. Para kaum yang diurapi harus melakukan rekonsiliasi dengan Tuhan sebagai pemilik pekerjaan  Injil, dan juga harus melakukan rekonsiliasi dengan sesama pekerjanya. Agar tugas amanat Agung Kristus Yesus di dunia, yakni; “menjadikan seluruh semua bangsa muridku, dan membaptiskan mereka dalam Nama Bapa, Tuhan Yesus Kristus dan Roh Kudus”, dapat terwujud di dunia.

Kini, 126 Tahun sudah usia Pekabaran Injil di Tanah Papua, Minggu, 5 Februari 1855-5 Februari 2017. Yesus Kristus yang telah menebus dosa dan memperdamaikan kita dengan Allah, dan menjadikan kita anak-anak terang (efesus 5 : 8). Di era tatangan Global saat ini, keimanan umat Kristiani di  Papua, akan diuji. Maka kita yang telah menjadi orang percaya harus merawatnya, terlebih khusus mereka yang diurapi (pendeta, guru injil, guru jemaat, penatua dan syamas), dan kita semua harus bersekutu, bersatu hati, bergandeng-tangan dengan meminta hikmat dan tuntunan Roh Kudus dari Yesus Kristus Sang Kepala Gereja untuk menyatukan hati dan doa agar Tuhan berkenan memberkati kehidupan umat Kristiani di Tanah Papua, yang bekerja dengan jujur dan dengar-dengaran, serta takut akan Tuhan, sehingga sekali kelak bila sangkakala berbunyi, namaku dan namamu disebut Allah di sorga.

Selamat merayakan HUT PI ke-162 di tanah Papua. Tuhan Memberkati.

 

)* Penulis adalah staf pengajar di FKIP, Jurusan Sejarah di Universitas Cenderawasih. 

Artikel sebelumnyaDinilai Merugikan, DAP Minta Gubernur Papua Cabut Pergub Tentang Tambang
Artikel berikutnyaMencekik Marind-Anim