Pilkada Merongrong Eksistensi Adat

0
2148

Oleh: Mbagimendoga Uligi)*

Sejak otoritarinisme Suharto jatuh. Kebebasan sipil bertarung dalam pemilihan kepala daerah bergulir. Bergulir pula UU Otonomi khusus bagi Papua 2001 yang memberi tempat khusus bagi orang asli Papua. Orang Papua mendapat celah bertarung dalam pemilihan kepala daerah provinsi, bukan kabupaten tetapi penerapan atas penafsiran terus berlangsung dalam pemilihan kepala daerah kabupaten.

Orang-orang yang mendatanggi ditolak dan dibatasi mencalonkan diri menjadi kepala daerah. Penolakan terjadi melalui konferensi pers, demontrasi dan pernyataan sikap. Karena itu, kaum migran tidak kehilangan akal. Mereka berusaha nebeng dengan bendera asli, menjadi orang nomor dua.

Rupanya nebeng tidak menjawab ambisinya. Kaum migran terus mencari jalan, berlomba-lomba mendapatkan status anak adat. Pemberian status adat melalui seremonial belaka hingga pemberian marga telah terjadi.  Ucara yang merendahkan bibawa adat, juga orangnya.

Media lokal menjelang pemilu gubernur Papua 2018, menulis bahwa warga Skouw mengangkat John Wempi Wetipo, bupati Jawijaya sebagai  anak adat. Menjelang pemilu kepala derah kabupaten Jayawijaya 2017, LMA mengakat Yohn Richard Banua menjadi anak adat Baliem.

ads

Menjelang Pilkada kabupaten Jayapura, Yani politisi Gerindra menerima makotah wanita gunung, Noken. Masyarakat kampung Yokiwa mengangkat Giri Wiriantoro sebagai anak adat. Giri menerima makhota kasuari dan senjata tradisional berupa busur dan anak panah.

Baca Juga:  Kegagalan DPRD Pegunungan Bintang Dalam Menghasilkan Peraturan Daerah

Kita mundur pemilu gubernur Papua periode 2013/2018. Komarudin Watubun menjadi Mantawani, salah satu marga di Wilayah adat Saireri. John Rende Magontan mendapat pengkatan anak adat dari salah satu suku di wilayah Mepago.

Proses angkat mengangkat itu berlangsung begitu murah meriah. Penerima datang menginvetasi polotik, menghamburkan materi dan kata-kata. Kata-kata yang memberikan harapan atau janji-janji perubahan.

Janji-janji politik merasuk para pemberi status anak adat. Pemberi menyatakan apa saja yang terlintas dengan gampang. “kita angkat anak adat”. Kata-katanya mengalir begitu deras mengikat materi dan pemiliknya supaya tidak berhianat kepada komunitas barunya.

Kita tidak tahu, apakah sangat penerima status anak adat masih setia? Kita tidak tahu tetapi yang mesti kita katakan mengatakan itu namanya pelacuran. Pemimpin yang melacur diri dan yang tidak tahu menjagawa wibawa dirinya dan kekuasaannya.

“Pemimpin yang hanya berpangku tangan, pikirnya gampang. Bicara apa saja untuk memenuhi kebutuhan tanpa pikir panjang. Pikirnya ini hidup ini ibarat dunia mimpi dan dunia sulap??

 

Mental Pemimpin Adat Kalah Bertarung

Sadar atau tidak, pemberian status anak itu satu tanda kekalahan orang Papua. Orang Papua sudah tidak memiliki daya tahan dan daya juang terhadap arus migrasi dan perubahan. Perubahan jumlah populasi, penguasaan sumber-sumber ekonomi yang terus menerus mendesak orang asli bersikap.

Baca Juga:  Menghidupkan Kembali Peran Majelis Rakyat Papua

Orang asli terdesak mundur dalam pertarungan dengan yang mendatanggi. Orang asli mencari eksis. Cara paling aman dan gampang itu memasukan seseorang yang dianggap berkuasa ke dalam kelompok masyarakat adat. Harapanya, masyarakat adat mendapat pegakuan yang menguasi ekonomi dan politik.

Kita menerima dan mengakui orang lain dalam rangka kita mendapat pegakuan dalam kekuasaan pihak yang kita akui. Ini barter politik kekuasaan,”tegas Lemok Mabel dalam satu diskusi di Jayapura, Selasa (6/02/2017).

Barter politik kekuasaan itu demi tujuan membangun pagar kehidupan, sebagaimana yang dikatakan Pastor Frans Lishout OFM “Pagar kehidupan Papua (Wamena) sudah roboh,”tulisnya dalam buku sejarah Gereja Katolik Balim.  Rumusan itu mendorong sejumlah kaum terpelajar Jayawijaya bergerak, memberontah untuk mempertahkan diri.

“Anak adat asli Baliem harga mati menjadi pemimpin rekonsiliator,”tulis Forum Bersatu Rekonsiliasi Jayawijaya dalam Majala Foberja. Forum ini menolak tegas, John Ricard Banuan yang diangkat sebagai anak adat Balim.

Rumusan penolakan  ini kita patut katakan pemberontakan emosional. Pemberontakan macam ini memperkokoh musuh, sang pememang eksis mempertahankan kemenangan. Kita akan terus menerus memanen kekalahan hingga betul-betul tidak berdaya.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Kita ingat, hemberonakan emosional itu ibarat api yang akan padam ketika tersiram air. Pemberontakanmacam ini tidak akan berumur panjang. Habil pilkada akan bubar. Bertahan pun kalau memenangkan pilkada untuk lima tahun.

Perang Sadar Untuk Menang

Karena itu, kaum terpelajar harus merumuskan pemberontakan yang sadar. Pemberontakan yang sadar tidak serta merta membangun perdamaian instan. Pemberontakan sadar mesti dibangun melalui satu proses penyadaran eksistensi individu dan komunitas asli .

Pendadaran individu, keluarga, komunitas akan potensi-potensi kejahatan dan kebaikan yang ada dalam dirinya. Apakah potensi baik dan jahat itu datang sebagai bawaan atau pemberian? Potensi bawaan suatu kebaikan yang terpatri dalam diri sebagai potensi bawaan. Potensi pemberian datang melalui trauma masa kadungan, masa kecil dalam keluarga dan lingkungan.

Proses pendadaran macam ini yang mesti kita bangun. Kalau tidak, pondasi rekonsiliasi dan pedamaian yang kita bangun tidak kuat. Rumah pemberontakan akan rubuh bersama waktu.  Pemberontakan harus SADAR.

 

)*Penulis adalah tukang angkut barang di pelabuhan Hollandia. Tinggal di Port Numbay.

Artikel sebelumnyaTapol Papua, Aloysius Kayame Sudah Dipindahkan ke Lapas Nabire
Artikel berikutnyaMasyarakat Keerom Lawan Badai Kepunahan