Makna Pinang Bagi Orang Sentani

0
6143

Oleh: Jerry Puraro)*

Jangan heran ketika orang Papua tertawa lebar, giginya tampak berwarna hitam kemerahan. Hal itu bukan pertanda mereka kurang merawat gigi, tetapi karena kebiasaan menginang (makan pinang) sejak remaja. Orang Papua memiliki tradisi menginang. Tradisi yang tak mengenal kelas ini ternyata memiliki nilai kekeluargaan dan kebebasan berekspresi, demikian juga bagi masyarakat suku sentani, memang tidak semua orang sentani gemar mengunya pinang.

Makna dari menginang (Makan Pinang) untuk orang Sentani:
1. Simbol persahabatan dan kebersamaan
Menginang biasa dilakukan lebih dari satu orang dan pada saat menginang terjadi percakapan disertai tertawah kecil, sebagai sarana pembuka percakapanan dan dalam memulai persahaban baru, saat menginang dalam satu tempat kapur diambil/celup bersama – sama. Ini pertanda persahabatan. Menginang merupakan alat membangun persaudaraan, sarana komunikasi, bahan dialog dan diskusi, menjamu tamu .

2. Simbol Perdamaian dan keceriaan
Menginang sering dilakukan pada saat rapat – rapat untuk meyelesaikan sengketa dalam adat, misalnya : perselisian, sengketa masalah tanah, dll. Upacara menginang wajip dilakukan dalam setiap kegiatan pentas seni (pembakar semangat)

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

3. Menunjukan martabat dan tradisi
Pada jaman dulu, kepalah suku atau pemangku adat setidaknya harus memiliki kebun pinang selain dusun sagu. Selain bahan untuk menginang, juga sebagai dan juga sebagai penolak bala atau penyakit. Di setiap pertemuan formal atau nonformal menginang wajib dilakukan oleh peserta pertemuan, terutama para tetua adat. Tidak menginang berarti bukan “anak adat”. Karena itulah, para tetua adat yang datang ke suatu acara selalu membawa sirih, pinang, dan kapur. Sebab, dalam kesempatan seperti itu bakal ada acara saling menawarkan sirih pinang dan abu kapur, meski penyelenggara acara menyediakan sirih dan pinang.

ads

4. Kesehatan
Sebagai bahan penghilang bauh mulut, campuran antara siri, pinang dan kapur dikenal sebagai alat yang ampuh untuk menghilangkan bakteri dan juga menguatkan tulang gigi, juga membantu proses metabolisme dalam tubuh, dikala mengalami kedinginan mengunang dapat membuat tubuh menjadi hangat

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

5. Sisilain dari menginang (Makan Pinang )
Orang dinilai beretika atau orang Papua sering menyebut sebagai “anak adat” kalau dia sering menawarkan sirih dan pinang kepada orang lain. Mereka menjadikan sirih dan pinang sebagai sarana komunikasi dalam pergaulan dan bersosialisasi dengan lingkungan di mana ia berada.

Menginang memiliki nilai kesamaan budaya, serta rasa senasib dan sependeritaan. Dalam melakukan musyawarah adat, tradisi menginang lazim mengawali pertemuan. Orang tidak akan berbicara jika semua peserta belum menginang atau belum ada bahan untuk menginang di tempat pertemuan.

Karena itu, tak perlu heran jika setiap ada pertemuan 2-3 orang sentani, di situ ada acara menginang. Sambil menginang orang-orang akan bercerita dengan santai, berdiskusi, bahkan berceramah, atau mengajar di depan kelas. Para pegawai negeri sipil atau pejabat daerah tak jarang terlihat menyimpan buah pinang, sirih, dan kapur di dalam saku celana atau tasnya.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Saat menginang, warna merah dari sirih pinang juga sering mengalir sampai ke dagu dan meleleh di bagian bibir bawah penginang, bahkan meleleh sampai ke bagian baju mereka.
Satu hal yang agak memprihatinkan, tidak semua penginang menjaga kebersihan lingkungan. Di mana ada kerumunan masyarakat atau konsentrasi warga, bisa dipastikan di sana ada lantai, bangunan, dan benda-benda yang bernoda kemerah-merahan akibat ludah para penginang.

Karena itu, di beberapa kantor pemerintah daerah sering disimpan sebuah , pot, ember, dan bejana lain yang di dalamnya berisi tanah, sebagai tempat untuk membuang kunyahan sirih dan pinang. Di ruang tunggu Bandar Udara Sentani, Jayapura, dibuat tulisan besar yang menyebutkan di ruangan itu dilarang menginang. Bahkan di kampus tempat saya menimbah ilmu pun kadangkala diumumkan untuk tidak membuang ludah pinang sembarang. Onomi Fokha.

 

)* Penulis adalah pemuda asli Sentani. Hari-hari bekerja sebagai pekerja lepas di salah satu instansi di Kab. Jayapura.

Artikel sebelumnyaNatalius Pigai: Orang Istana Presiden Jokowi Bertanggungjawab Atas Bentrok di Intan Jaya
Artikel berikutnyaPapua Mengenang Tuan Faleomavaega