Peringati Hari Pers Dunia, AJI Indonesia Soroti Kebebasan Pers di Papua

0
4445

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Memperingati hari pers dunia tahun 2017 yang diperingati setiap tanggal 3 Mei, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia sorit buruknya situasi kebebasan pers di Papua.

Dalam siaran pers yang digelar 3 Mei 2017 di Jakarta, AJI Indonesia menjelaskan, dua hari menjelang Hari Kemerdekaan Pers Dunia, kekerasan kembali dialami jurnalis di Papua. Yance Wenda, jurnalis Koran Jubi dan tabloidjubi.com dipukuli polisi hingga terluka saat meliput penangkapan para aktivis Komite Nasional Papua Barat (KNPB).

Sejumlah aktivis KNPB itu ditangkap aparat Kepolisian Resor Jayawijaya saat berunjukrasa dalam peringatan 1 Mei. Yance mengikuti barisan massa, namun tidak hingga masuk ke halaman Polres. Tak lama kemudian, dia dihampiri dan ditanyai oleh seorang polisi, yang dijawab Yance dengan penjelasan bahwa dirinya seorang jurnalis.

Ketika akan mengeluarkan surat tugas dari dalam tasnya, seorang anggota polisi lain datang merampas tas Yance. Beberapa anggota polisi kemudian menarik Yance ke Polres sambil menendang dan memukulnya.

“Pelipis saya luka, mata bengkak, kepala benjol, di belakang ada dua bekas pukulan rotan, di bahu juga bekas tentangan sepatu, bibir atas dan bibir bawa saya pecah gara-gara dipukul dan ditendang dan dipukul rotan,” kata Yance.

ads

AJI menyebutkan, kasus itu merupakan kekerasan terhadap jurnalis kedua yang terjadi di Papua sepanjang pekan ini. Pada 28 April lalu, tiga wartawan televisi dari Metro TV, Jaya TV, dan TVRI diintimidasi saat meliput sidang lanjutan pidana Pilkada Kabupaten Tolikara di Pengadilan Negeri (PN) Wamena pada 28 April 2017. Seusai mengambil gambar, ketiganya berkumpul di salah satu ruangan di PN Wamena.

Tiba-tiba sekitar 20 orang pengunjung sidang mendatangi mereka, dan menginterogasi ketiga jurnalis tersebut, serta mempertanyakan peliputan ketiganya. Mereka pun mengancam bahkan memaki Ricardo dan kedua rekannya, serta memaksa ketiganya menghapus video hasil liputannya. Ironis, polisi yang mengetahui peristiwa itu tidak berupaya melindungi ketiga jurnalis itu.

Baca Juga:  Pacific Network on Globalisation Desak Indonesia Izinkan Misi HAM PBB ke West Papua

Dikatakan, sejumlah dua kasus kekerasan dalam sepekan itu menegaskan bahwa jaminan perlindungan hukum bagi jurnalis, sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers adalah sesuatu yang langka di Papua.

Kekerasan terhadap jurnalis di Papua terus terjadi, menegaskan buruknya kemerdekaan pers di Papua, digenapi praktik sensor yang dilakukan dengan memblokir sejumlah situs berita Papua yang kritis terhadap kebijakan pemerintah pusat terkait persoalan Papua.

“Seluruh situasi buruk itu seolah disempurnakan situasi Papua sebagai “daerah terlarang” yang harus bebas dari peliputan jurnalis asing,” tulisnya dalam siaran pers itu.

Disebutkan, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Jayapura mencatat,  sepanjang tahun 2015 hingga awal 2016, hanya ada 15 jurnalis asing yang diizinkan masuk ke Papua. Tabloidjubi.com menulis, jurnalis Radio New Zealand International, Johnny Blades mengaku membutuhkan waktu tiga bulan untuk mendapatkan visa masuk ke Papua.

Meski memiliki visa peliputan, di Papua Blades ditolak oleh kepolisian dan TNI saat hendak mengkonfirmasi beberapa liputan yang didapatnya. Jurnalis Radio France, Marie Dumieres, juga dicari-cari polisi saat melakukan liputan di Papua.

Maret tahun ini Franck Jean Pierre Escudie dan Basille Marie Longchamp dideportasi. Tak lama berselang, penulis lepas Al Jazeera, Jack Hewson, ketika hendak meninggalkan Indonesia diberitahu bahwa dirinya tidak akan bisa masuk ke Tanah Air. Padahal ketika itu Hewson mengatakan dirinya saat itu sedang dalam proses pengajuan permohonan izin peliputan di Papua. Pernyataan Presiden RI Joko Widodo bahwa Papua terbuka bagi peliputan jurnalis asing jauh panggang dari api.

Berdasarkan data yang dihimpun AJI Indonesia, sepanjang Mei 2016 hingga April 2017 telah terjadi 72 kasus kekerasan yang dialami oleh para jurnalis yang menjalankan profesinya. Kasus kekerasan itu bahkan didominasi bentuk kekerasan fisik, yang mencapai 38 kasus. Pengusiran dan/atau pelarangan liputan juga masih marak, dengan temuan sebanyak 14 kasus.

Baca Juga:  Berlakukan Operasi Habema, ULMWP: Militerisme di Papua Barat Bukan Solusi

AJI Indonesia juga mencatat masih maraknya ancaman dan teror serius kepada jurnalis (tujuh kasus). Selain itu, terdapat dua kasus intimidasi secara lisan, termasuk di antaranya intimidasi lisan oleh seorang ketua DPRD.

AJI Indonesia menyoroti semakin seringnya warga negara biasa menjadi aktor dominan dalam kasus kekerasan. Dari 72 kasus kekerasan yang terjadi sepanjang Mei 2016 hingga April 2017, sejumlah 21 kasus diantaranya dilakukan oleh warga. Aktor pelaku lainnya termasuk  kader partai politik/politisi/dan anggota parlemen (tujuh kasus), Satuan Polisi Pamong Praja dan aparatus pemerintah daerah lainnya (enam kasus), pejabat pemerintah pengambil kebijakan (empat kasus), bahkan profesi hukum seperti advokat (satu kasus), hakim (satu kasus) pun menjadi pelaku kekerasan terhadap jurnalis.

Praktik impunitas terus berjalan dalam kasus kekerasan terhadap jurnalis yang melibatkan polisi atau tentara sebagai pelakunya. Penyerangan sejumlah prajurit TNI Angkatan Udara Lanud Soewondo, Medan, yang terjadi pada 15 Agustus 2016 adalah contoh bagaimana aparat hukum bekerja dengan lambat, cenderung memacetkan proses hukum, membuat para pelaku kekerasan itu bebas dari hukuman.

Polisi juga terus menjalankan praktik impunitas dalam kasus kekerasan yang dilakukan aparat pemerintah. Kasus kekerasan Ghinan Salman (24), wartawan Radar Madura Biro Bangkalan yang dipukuli sejumlah pegawai Dinas Pekerjaan Umum Bina Marga Kabupaten Bangkalan pada 20 September 2016 adalah contoh begitu lambatnya proses hukum terhadap para aktor pelaku kekerasan terhadap jurnalis.

Praktik-praktik impunitas itulah yang membuat warga negara semakin abai bahwa jurnalis adalah profesi yang dilindungi. Abainya warga negara terhadap jaminan perlindungan hukum profesi jurnalis membuat munculnya aktor-aktor pelaku kekerasan yang baru, sebagaimana terlihat dari data kekerasan yang terjadi sepanjang Mei 2016 – 2017. Impunitas pula yang membuat sebaran kasus kekerasan terhadap jurnalis semakin meluas. Provinsi DKI Jakarta menjadi salah satu lokasi dengan kasus kekerasan terbanyak (11 kasus), diikuti Provinsi Jawa Timur (delapan kasus) dan Provinsi Sumatera Utara (tujuh kasus).

Baca Juga:  TETAP BERLAWAN: Catatan Akhir Tahun Yayasan Pusaka Bentala Rakyat 2023

AJI Indonesia melihat kemedekaan pers Indonesia semakin terancam, dan ancaman kemerdekaan pers itu menjadi awal bagi terancamnya kehidupan demokrasi di Indonesia. AJI Indonesia menyatakan:

  1. Polisi menjadi musuh utama kebebasan pers Indonesia tahun 2017, dengan para personilnya yang terus terlibat berbagai kasus kekerasan di Indonesia, dan terus menjalankan praktik impunitas yang membuat para pelaku kekerasan terhadap jurnalis bebas dari pertanggungjawaban hukum.
  2. Tegakkan kembali jaminan perlindungan hukum bagi profesi jurnalis sebagaimana diatur Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers di seluruh Indonesia, khususnya di Papua, dengan menghentikan praktik kekerasan, intimidasi, pembatasan dan pelarangan liputan, maupun sensor seperti pemblokiran sejumlah situs berita di Papua.
  3. Buka askses peliputan jurnalis asing di Papua, dengan memastikan setiap jurnalis asing diberi kebebasan untuk meliput secara obyektif berbagai dimensi kehidupan di Papua, agar dunia internasional mendapatkan gambaran utuh tentang situasi politik, ekonomi, maupun sosial budaya orang asli Papua.
  4. Setiap aparat penegak hukum, baik itu Kepolisian Republik Indonesia maupun Polisi Militer Tentara Nasional harus segera menghentikan praktik-praktik impunitas, termasuk dengan menjalankan seluruh proses hukum atas kasus kekerasan terhadap jurnalis, khususnya kasus kekerasan jurnalis di Medan dan Bangkalan.
  5. Mengajak setiap warga negara untuk bersama-sama mengawal kemerdekaan pers, kemerdekaan berekspresi, dan melindungi profesi jurnalis, demi menjamin kehidupan berbangsa yang demokratasi dan menjunjung tinggi penghormatan kepada kemanusiaan serta hak asasi setiap warga negara Indonesia.

 

REDAKSI

Artikel sebelumnyaJokowi Belum  Mampu Realisasikan Janji Keterbukaan Akses  Jurnalis Asing ke Papua
Artikel berikutnyaOrang Papua sebagai Penggerak: Friksi dan Transformasi di Kampung-Kampung (1)