ArtikelOpiniHIV/AIDS Gerogoti Meepago

HIV/AIDS Gerogoti Meepago

Oleh: Kristianus Tebai

Dalam beberapa tahun terakhir ini penularan HIV/AIDS di Provinsi Papua makin mengkhawatirkan. Hingga tahun 2016 lalu, kasusnya sudah mencapai jumlah 26 ribu lebih. Data ini tersebar di seluruh daerah, 29 kabupaten/kota di provinsi Papua. Dari jumlah kasus ini, penyumbang angka penghidap terbanyak adalah wilayah Meepago (Nabire, Dogiyai, Deiyai, Paniai, dan Intan Jaya).

Sebenarnya angka tadi sangat kurang. Belum terdata semua. Masih banyak yang belum ditemukan, hanya karena tingkat kepedulian masyarakat terhadap penyakit HIV/AIDS sangat rendah. Hal ini terlihat jumlah kasus penyandang penyakit HIV/AIDS dari beberapa kabupaten di wilayah Meepago (Nabire, Dogiyai, Deiyai, Paniai, dan Intan Jaya) tiap tahun angkanya cenderung menurun, bahkan angkanya masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya. Itu berarti terbukti bahwa kesadaran masyarakat terhadap pemeriksaan dan pengobatan HIV/AIDS sangat rendah.

Baca Juga:  Kegagalan DPRD Pegunungan Bintang Dalam Menghasilkan Peraturan Daerah

Mengapa jumlah kasus tiap tahun menurun? Hal tersebut disebabkan oleh tingkat kepedulian masyarakat terhadap penyakit ini cenderung menurun. Keseriusan Komisi Penanggulangan Aids (KPAD) dan lembaga peduli Aids (LSM) di wilayah ini masih kurang serius, bahkan beberapa kabupaten tidak sama sekali melakukan kampanye bahaya HIV/AIDS.

Di Klinik VCT (Voluntary Counseling and Testing = Konsultasi dan tes sukarela) yang sudah tersedia di setiap unit layanan seperti di Klinik swasta, Puskesmas atau RSUD, jarang terlihat, masyarakat datang bawa diri, secara sukarela memeriksakan penyakit HIV, bahkan hanya sekedar konseling/konsultasi untuk memastikan status diri apakah sudah terinveksi HIV atau tidak, ini pun sama sekali belum terlihat.

Baca Juga:  23 Tahun Otsus, Orang Asli Papua Termarginalkan

Fakta demikian menunjukkan bahwa tingkat kepedulian KPAD dan Lembaga Peduli Aids (LSM) di wilayah Meepago semakin tidak serius menyadarkan masyarakat umum agar peduli terhadap bahaya HIV. Padahal, kasus HIV di wilayah ini sudah menjadi momok dan kasus ini sudah masuk di masyarakat umum dan rumah tangga.

Hampir rata-rata masyarakat umum belum sadar dan peduli akan bahaya HIV. Seandainya mereka sadar dan peduli, pasti saja diantara mereka melakukan tes, ada yang karena merasa khawatir tertular HIV sebab telah melakukan hubungan seks dengan pasangan yang diduga positif HIV, ada yang karena keluarganya mengidap HIV, ada juga karena pernah mendapatkan donor darah, bahkan ada juga yang karena mau menikah (calon suami istri).

Ini persoalan mendasar. Kita harus merubah pola pikir (mind set) masyarakat, memberikan komunikasi, informasi dan edukasi secara kontinyu dan berkesinambungan. Jangan kita biarkan masyarakat mati bodoh-bodoh hanya karena memberikan informsasi yang salah.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Solusinya, Musyawarah Besar (Mubes) Meepago kedua harus dilaksanakan. Lima pimpinan daerah Meepago harus bersatu untuk selamatkan manusia Meepago dari rantai kematian, putuskan mata rantai dengan hadirkan masyarakat 5 kabupaten lakukan Mubes yang kedua kalinya. Mengevaluasikan secara total hasil kegiatan aspirasi dan rekomendasi Mubes pertama tahun 2014 lalu.

Tidak ada solusi lain untuk dapat menyadarkan masyarakat umum akan bahaya kematian akibat HIV/AIDS, hanya dengan musyawarah adat wilayah Meepago, akan ada hasil dan akan memutuskan mata rantai penularannya.

 

Penulis adalah pemerhati masalah kesehatan, tinggal di Dogiyai.

Terkini

Populer Minggu Ini:

Ancaman Bougainville Untuk Melewati Parlemen PNG Dalam Kebuntuan Kemerdekaan

0
"Setiap kali kami memberikan suara di JSB [pertemuan Badan Pengawas Bersama yang melibatkan kedua pemerintah], kami membuat komitmen dan kami mengatakan bahwa semua hal ini perlu diperhatikan dan ketika kami kembali ke JSB berikutnya, isu-isu yang sama masih mengotori agenda JSB, karena tampaknya tidak ada yang mengatasinya."

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.