Peranan Gereja Katolik Terhadap Situasi Papua

Sebuah Refleksi

0
3925

Oleh: Prof.Dr. Nico Syukur Dister, OFM

Sama seperti dalam masyarakat Papua pada umumnya, begitu pula dalam gereja-gereja di Papua ada umat yang berpendapat bahwa bagian barat pulau New-Guinea ini berhak atas kemerdekaan, dan ada juga umat yang memandang bagian New-Guinea ini sebagai dua provinsi paling timur dalam negara Republik Indonesia. Termasuk tugas hirarki gereja untuk mempersatukan umat, dan bukan untuk memecah-belahkanhya.

Oleh karena itu uskup dan pastor merasa tidak boleh memihak pada salah satu dari kedua pendapat ini. Barusan seorang pastor paroki menulis di What’s App: “Tentu Gereja tidak akan teriak dukung Papua Merdeka. Tapi bagaimana kita (maksud beliau: semua denominasi Kistiani di Jayapura) bersama satu suara menyuarakan ketidakadilan yang terjadi di Papua.”

Selayang pandang pernyataan sang pastor masuk akal. Soal apakah Papua harus tetap menjadi sebuah provinsi dalam negara Republik Indonesia ataukah patut menjadi negara tersendiri yang bertetangga dengan R.I itu rupanya masalah politik dan karena itu menjadi urusan para politisi, sedangkan urusan Gereja terletak di bidang iman dan moral, misalnya pelanggaran terhadap hak-hak asasi manusia yang sudah bertahun-tahun lamanya terjadi di Papua sampai dengan hari ini.

Akan tetapi pembedaan antara urusan politik dan urusan gereja kehilangan relevansinya, begitu kita bertanya apakah setiap bangsa tidak berhak atas negaranya sendiri. Tidak sedikit orang asli Papua yang berpandangan bahwa mereka merupakan sebuah bangsa dan bukanlah cuma sebuah suku di dalam Bangsa Indonesia. Kalau demikian, bukankah memang sebuah ketidakadilan bahwa Papua belum merdeka? Dan bukankah “gereja” (dalam arti: semua denominasi Kristiani di Papua bersama-sama) bertugas –antara lain- (sebagaimana dikatakan oleh pastor paroki tadi) untuk “menyuarakan ketidakadilan yang terjadi di Papua”? Kalau begitu pernyataan yang rupanya masuk akal bahwa “Gereja tidak akan teriak dukung Papua Merdeka” hanya rupa-rupanya saja masuk akal, tetapi sebenarnya belum tentu.

ads

Orang Asli Papua: sebuah bangsa tersendiri ataukah sebuah suku bangsa?

Kiranya pertanyaan inilah yang melatarbelakangi “Surat Gembala” yang pada 29 Mei yang baru lalu dikeluarkan sebagai pernyataan pers oleh pimpinan tiga gereja di Papua, yaitu GIDI, BAPTIS dan KINGMI yang tergabung dalam “Forum Kerja Oikumenis Gereja-gereja Papua”. Pimpinan ketiga gereja ini menyampaikan kepada jemaat bahwa –mengingat begitu banyak peristiwa kekerasan, penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap masyarakat sipil di Papua (termasuk kejadian beberapa hari terakhir ini) – “tidak ada masa depan bagi bangsa Papua dalam sistemnya Indonesia.” Setahu saya, gereja-gereja lain, misalnya GKI dan Gereja Katolik, jarang atau malah tidak pernah mengeluarkan pernyataan yang begitu jelas dan keras. Mengapa tidak? Alasannya barangkali dapat dirumuskan sebagai berikut.

Inti persoalan –baik soal aspirasi “M” maupun soal pelanggaran HAM- ialah pertanyaan tadi apakah OAP merupakan sebuah bangsa tersendiri, sehingga berhak atas negerinya sendiri pula? Menjawab “tidak” berarti memandang OAP sebagai salah satu suku di antara sekian banyak suku lain yang bersama-sama merupakan satu bangsa Indonesia. Dengan demikian aspirasi “M” yang mengandaikan bahwa OAP merupakan sebuah bangsa tersendiri, adalah aspirasi yang bertentangan dengan status quo Republik Indonesia yang luasnya “dari Sabang sampai Merauke”. Akan tetapi karena hak mengungkapkan pendapat merupakan hak asasi, maka selama aspirasi ini tidak mengakibatkan orang angkat senjata untuk merebut kemerdekaan dengan kekerasan, maka para pejuang aspirasi ini jangankan dituduh makar, ditegurnya saja tidak boleh. Kebebasan berekspresi dijamin oleh Deklarasi Universal PBB tahun 1948 tentang hak-hak asasi manusia, maupun oleh TAP MPR RI No. XVII/MPR/1998. Kalau menjawab “ya”, maka masalah orang Papua serupa dengan masalah orang Yahudi pra-1949 dan masalah orang Kurdi sekarang ini. Mengingat prinsip bahwa setiap bangsa berhak atas negerinya sendiri, maka pada tahun 1949 PBB mengizinkan orang Yahudi untuk mendirikan negara Israel. Izin semacam itu belum didapatkan oleh orang Papua, dan juga belum oleh orang Kurdi yang sampai sekarang tersebar antara lima negara (Turki, Iran, Syria, Armenia dan Irak).

Baca Juga:  Mengungkap January Agreement 1974 Antara PT FI dan Suku Amungme (Bagian II)

Kedua pandangan tersebut ada latar belakangnya masing-masing. Hanya kalau latarbelakang itu diketahui, ada harapan bahwa: negara menghentikan tindakan kekerasannya terhadap OAP yang pro “M”; umat serta masyarakat yang berseberangan satu sama lain mengenai masalah “M”, dapat saling mengerti dan saling menghormati pandangannya; gereja (termasuk katolik) dapat menentukan peranan yang harus dipegangnya dalam menanggapi situasi Papa saat ini.

Demi mengetahui latarbelakang ini, sepatah kata lagi tentang masing-masing pandangan: pro NKRI dan pro “M”.

Mengapa Papua dipandang sebagai sebuah provinsi dalam N[K]RI?[1]

Ketika Soekarno dan Hatta memperjuangkan kemerdekaan Indonesia dan dituduh sebagai separatis oleh Pemerintah (penjajah Belanda), Soekarno dibuang ke Flores dan Hatta ke Papua (bukan sebaliknya!). Maka Hatta mengenal orang Papua, sedangkan Soekarno tidak. Membahas luasnya Republik Indonesia yang kemerdekaannya mau diproklamasikan, Hatta berpendapat bahwa Papua dan Malaka tidak termasuk dalam wilayah bakal Republik yang berdaulat itu, tetapi Soekarno menjawab bahwa luasnya harus sama dengan luasnya Hindia-Belanda. Maka Papua termasuk, tetapi Timor Timur yang dijajah Portugal itu tidak termasuk. Karena Soekarnolah yang akan menjadi Presiden dan Hatta wakilnya, maka Hatta mengalah.

Menurut hukum internasional pun batas-batas negara yang baru merdeka itu harus sama dengan batas-batas bekas negara kolonial. Melepaskan prinsip ini berarti secara kenegaraan benua Afrika akan menjadi hingar-bingar dan kacau-balau. Setelah kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasi pada tahun 1945, pemerintah Belanda mengakuinya pada tahun 1949, tetapi membuat pengecualian untuk Papua yang tetap termasuk dalam wilayah Kerajaan Belanda. Baru sesudah Belanda menyerahkan pemerintahan atas Papua kepada PBB, Oktober 1962, dan enam bulan kemudian PBB menyerahkannya kepada Indonesia Mei 1963, maka Papua dimasukkan ke dalam wilayah R.I., tetapi hanya untuk sementara waktu, yaitu sampai referendum tahun 1969, yang akan menentukan apakah Papua tetap menjadi bagian dari R.I. atau mau menjadi negara merdeka.

Ketika sebagai hasil “Pepera” dilaporkan kepada PBB bahwa orang Papua memilih integrasi ke dalam R.I., maka Papua sebagai satu provinsi dalam negeri Indonesia dinyatakan definitif oleh rapat pleno PBB di New York. Habis perkara. Atau……?

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Mengapa dan bagaimana memperjuangkan Papua Merdeka?

“Satu Nusa, satu Bangsa, satu Bahasa kita”. Yang terakhir betul: satu bahasa yang sama dipakai di Papua dan di provinsi-provinsi Indonesia. Tetapi satu nusa dan satu bangsa? Kesatuan nusa dan bangsa ditentukan oleh apa? Menurut saya, salah satu kriterium utama ialah bersama-sama mempunyai sejarah yang sama. Justru kriterium ini tidak terpenuhi: sejarah Indonesia (termasuk perang kemerdekaannya) bukanlah sejarah Papua. Di samping itu ras Melanesia jauh lebih kentara di Papua daripada di –misalnya- NTT, di mana juga ada orang yang berambut kriting namun selebihnya mereka lebih mudah tergolong ras Malayu (yang merupakan ras mayoritas penduduk Indonesia) daripada ras Melanesia.

Alasan lain mengapa wajarlah memperjuangkan kemerdekaan Papua yaitu “Penentuan Pendapat Rakyat” (Pepera) tahun 1969 itu cacat hukum. Kenapa? Sebabnya rangkap. Pertama, karena cara Pepera dilaksanakan itu tidak sesuai dengan peraturan hukum yang telah disepakati dan ditetapkan: “one man, one vote”. Kedua, karena rapat pleno PBB mengesahkannya tanpa memperhatikan penyelewengan yang dilaporkan para pengamat yang oleh PPB sendiri diutus untuk memantau caranya “Act of Free Chocice” dilangsungkan. Akibatnya Act of Free Choice itu pada kenyataan menjadi Act of No Choice, sebagaimana bisa kita baca, baik dalam studi P.J. Drooglever (dkiterbitkan PT Kanisiusdi Yogyakarta pada tahun 2010 dengan judul: Tindakan Pilihan Bebas – Orang Papua dan penentuan nasib sendiri)] maupun dalam info dari wikipedia. Sidang Umum PBB mengesahkan hasil Pepera dengan memukul palu, tanpa membaca isi laporan para pengamat. Bangsa-bangsa di dunia mementingkan hubungan dagang dengan Indonesia di atas hak bangsa Papua atas penentuan nasibnya sendiri. Ekonomi diberi prioritas, sedangkan moralitas dan etika dinomor-duakan.

Selama kepada OAP tidak diberi apa yang menjadi hak mereka, yaitu mempunyai negeri sendiri sebagai negara independen dan berdaulat, semua bantuan material yang telah, sedang dan akan disediakan pemerintah Indonesia untuk mereka di bidang infrastruktur, pendidikan dan kesehatan yang memang mutlak perlu, tentu akan mereka terima, tetapi aspirasi “M” akan tetap bergelora dalam lubuk hati setiap OAP, walaupun secara rasional dan dengan akal-budinya ia mengakui keadaan faktual bahwa Papua sekarang menjadi dua provinsi Indonesia. Sulit sekali, untuk tidak mengatakan “mustahil”, untuk mengubah keadaan ini.

Cara memperjuangkan kemerdekaan Papua sebaiknya bukan dengan kekerasan, yaitu dengan cara Indonesia sendiri merebut kemerdekaannya dari tangan pemerintah kolonial. Bukankah mustahil bahwa dua, tiga juta orang Papua menang dalam perang militer melawan ratusan juta orang Indonesia? Berperang secara fisik hanya mengakibakan sengsara belaka. Jauh lebih tepatlah berjuang menurut pola Mahatma Gandhi yang menjunjung tinggi ahimsa, non-violence, dalam memperjuangkan kemerdekaan India dari tangan pemerintah Inggris yang telah menjajah India (dan Pakistan) berabad-abad lamanya…..

Peranan Gereja (Katolik d.l.l.) dalam menanggapi situasi Papua

Gereja tidak hanya terdiri dari para uskup dan klerus lainnya. “Kita adalah gereja”. Namun para gembala diharapkan berjalan di depan dalam menggembalakan umatnya. Dan seluruh gereja, baik para pimpinan maupun umat, mempunyai –antara lain- tugas kenabian untuk menegur penyelewengan yang terjadi dalam masyarakat. Menegur, mencela dan mengeritik dengan tujuan: membawa umat serta masyarakat kembali ke arah yang benar. Ketka sejumlah biarawan anggota ordo Fransiskan bersama dengan pimpinan mereka ikut dalam demo damai di DPR Papua memprotes “kasus Panai” (pembunuhan terhadap anak-anak remaja yang melibatkan aparat “keamanan”), gereja katolik melaksanakan tugas kenabiannya.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Yang disebut “tokoh gereja” itu bukan hanya Bapak Uskup dan Bapak Pastor, tetapi juga pimpinan dan anggota tarekat religius. Menyadari tugas kenabian gereja, maka Ordo Fransiskan menyelenggarakan Sekretariat untuk Keadilan, Perdamaian dan Keutuhan Ciptaan (SKPKC). Pada bulan Maret tahun 2017 ini, SKPKC Fransiskan Papua menerbitkan buku berjudul “Papua di ambang kehancuran – Beragam peristiwa dan fakta hak asasi manusia di Papua 2016”. Peristiwa yang dimaksudkan ialah peristiwa kekerasan, penangkapan, penyiksaan dan pembunuhan terhadap masyarakat sipil di Papua. Penegakan hukum amat lemah, khususnya berkaitan dengan kekerasan yang dilakukan oleh aparat keamanan. Impunitas para pelaku pelanggaran HAM masih tebal sekali, lebih-lebih bila anggota aparatlah yang terlibat. Saya tidak heran ketika mendengar Mgr. Leo Laba Ladjar OFM menyebutnya sebagai “aparat ketidak-amanan”.

Bila wakil gereja-gereja lain bersuara tegas dan keras dalam mengemban tugas kenabian, orang bertanya: “Di manakah suara gereja katolik?” Suara itu sering tidak terdengar, karena para petinggi dan tokoh gereja katolik seringkali lebih suka berbicara dalam pertemuan skala kecil dengan petinggi negara, tentara dan polisi sebagai pihak yang berwenang serta bertanggungjawab. Pembicaraan semacam itu mereka anggap akan lebih berhasil daripada bicara vokal di hadapan umum. Lagi pula mereka memandang diri sebagai pembangun jembatan antara kedua pihak yang berseberangan itu. Tetapi patut dipertanyakan apakah percakapan pribadi semacam itu lebih besar efektivitasnya daripada protes vokal, yang gema dan kumandangnya terdengar melalui media. Memburuknya situasi hak asasi manusia Papua terasa sekali selama paruhan pertama tahun 2017. Berhadapan dengan kenyataan ini, pendekatan ala gereja katolik rasanya tidak begitu efektif…….

Agar gereja juga di masa sekarang betul-betul dapat berperan sebagai nabi, maka baik umat maupun pimpinannya mesti sangat vokal dalam mengajukan protes keras terhadap setiap kasus pelanggaran HAM, sambil -di satu sisi- menaruh hormat pada pandangan politik umat dan masyarakat, entah pro-[NK] RI entah pro “M”, dan -di sisi yang lain- menjelaskan mengapa aspirasi-M memang wajar, lebih-lebih bila diperjuangkan secara ahimsa.

 

[1] Huruf K saya taruh antara tanda kurung, karena negara kesatuan dilawankan dengan negara federal, padahal negara federal pun merupakan kesatuan. Lihat saja negeri Malaysia, Jerman, Belgia atau Amerika yang semua berbentuk negara federal namun sungguh-sungguh bersatu. Bentuk federasi (Republik Indonesia Serikat, RIS) telah ditolak sebagai bentuk negara Indonesia, namun kalau Undang-Undang OTSUS betul-betul diimplementasi (sampai sekarang belum!) maka Indonesia sudah merupakan federasi yang terdiri dari tiga negara bagian: Aceh, Papua dan sisa Indonesia.

Artikel sebelumnyaWabub Buka Musyawarah Dewan Kesenian Kabupaten Yahukimo
Artikel berikutnyaForum Oikumenis Gereja Papua: Tidak Ada Masa Depan Orang Papua dalam Sistem Indonesia