Orang Papua sebagai Penggerak: Friksi dan Transformasi di Kampung-Kampung (2)

0
5181

Oleh: I Ngurah Suryawan

Bagian kedua dari artikel ini [1] akan menggambarkan asal-usul (genealogi) dari pemekaran daerah yang berlangsung di Tanah Papua. Asal-usul ini sangat penting untuk dipahami untuk memberikan fondasi sekaligus konteks terhadap menjamurnya pemekaran daerah yang hingga saat ini “dimimpikan” oleh sebagian orang Papua. Bagian ini [2] akan memberikan deskripsi perjalanan pemekaran daerah yang berlangsung di Papua.

Genealogi negara mendesain keterpecahan di Tanah Papua berawal dari rencana pemerintah pusat untuk memekarkan wilayah Papua yang telah ada sejak tahun 1984. Pada saat itu, pemerintah pusat telah melakukan kajian tentang kemungkinan pemekaran Provinsi Papua, sebelumnya bernama Provinsi Irian Jaya, yang dilakukan oleh Departemen Dalam Negeri (Mendagri). Hasil kajian tersebut menempatkan pemekaran sebagai strategi alternatif percepatan pembangunan Provinsi Irian Jaya.

Sebagai tindak lanjut, Menteri Dalam Negeri kemudian mengeluarkan Surat Keputusan (SK) Mendagri No. 174/1986 tentang terbentuknya 3 wilayah Pembantu Gubernur yang dipandang sebagai embrio bagi pembentukan provinsi baru di Irian Jaya. Namun demikian, rencana dan SK tersebut tidak pernah terealisasikan karena alasan keterbatasan anggaran negara (Elisabeth dkk, 2004: 59-60).

Pemekaran daerah kemudian diwujudkan dengan dikeluarkannya UU No. 45/1999 pada tanggal 4 Oktober 1999 tentang pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah serta pembentukan 3 kabupaten dan 1 kotamadya. Selanjutnya, Herman Monim ditunjuk sebagai pejabat Gubernur Irian Jaya Tengah dan Brigjen (Purn) Abraham Octavianus Atururi sebagai pejabat Gubernur Irian Jaya Barat.

ads

Keluarnya UU ini segera ditolak oleh sebagian besar rakyat Papua melalui demonstrasi besar-besaran di Jayapura. Rakyat menduduki gedung DPRD dan Kantor Gubernur Provinsi Irian Jaya. Hasilnya adalah DPRD menolak pemberlakuan UU pemekaran tersebut. Melalui Keputusan DPRD Nomor 11/DPRD/1999, DPRD Irian Jaya secara resmi menyatakan pendapat menolak pemkaran Provinsi Irian Jaya serta usul pencabutan Surat Keputusan (SK) Presiden RI No. 327/M tahun 1999 tertanggal 5 Oktober 1999 tentang pengangkatan pejabat Gubernur Irian Jaya Tengah dan Irian Jaya Barat.

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Namun, penandatanganan UU No. 45/1999 tentang pemekaran didukung sepenuhnya oleh Gubernur Freddy Numberi. Menurut Wakil Gubernur Jhon Djopari, kebijakan pemekaran ini sudah disiapkan sejak lama. Alasan utama dari pemekaran ini adalah untuk memperbaiki kemampuan pemerintah daerah untuk melayani masyarakat. Penolakan sebagaian besar komponen masyarakat ini terhadap rencana pemekaran ini berlangsung di Jayapura dan daerah-daerah lain di Indonesia (Elisabeth dkk, 2004: 60).

Pada tanggal 27 Januari 2003, Presiden Megawati mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) No. 1/2003. Inpres ini antara lain berisi instruksi Presiden agar Mendagri, Menteri Keuangan, Gubernur Papua, para bupati di Provinsi Papua agar mengambil langkah-langkah percepatan pembentukan Provinsi Irian Jaya Barat dan Irian Jaya Tengah sebagaimana ditetapkan UU No. 45/1999.

Keluarnya Inpres No. 1/2003 ini didasari oleh beberapa alasan: (i) perlunya percepatan penyiapan sarana dan prasarana, pembentukan organisasi perangkat daerah dan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan (ii) sesuai tuntutan dan perkembangan aspirasi masyarakat serta kondisi politik nasional yang kondusif, maka penyelenggaraan pemerintahan daerah di Provinsi Irian Jaya Barat perlu direalisasikan secara terarah, terpadu, terkoordinasi dan berkesinambungan.

Mendagri kemudian menindaklanjuti instruksi tersebut dengan menerbitkan radiogram 134/221/SJ yang meminta pemerintah pusat dan daerah melakukan langkah-langkah operasional untuk mendukung Inpres. Dalam radiogram tersebut, Mendagri menyatakan bahwa UU 45/1999 diberlakukan bersama-sama dengan UU Otsus (Elisabeth dkk, 2004: 59-63).

Implikasi dari terbentuknya Provinsi Irian Jaya Barat, sekarang menjadi Provinsi Papua Barat, adalah ketidakpuasan beberapa kelompok elit Papua yang kemudian mempersiapkan terbentuknya Provinsi Papua Barat Daya dari tahun 2007. Pecahan dari Provinsi Papua Barat ini sudah didengungkan dan kemudian dideklarasikan pada 15 Januari 2007. Sebelumnya juga terjadi deklarasi pendirian Provinsi Papua Selatan pada 12 Januari 2007.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Khusus untuk Provinsi Papua Barat Daya ini, mengklaim Kabupaten Sorong, Kota Sorong, Kabupaten Raja Ampat, Kabupaten Sorong Selatan, dan Kabupaten Teluk Bintuni sebagai bagian dari wilayahnya. Sementara itu, Papua Selatan direncanakan meliputi 4 wilayah yakni Kabupaten Merauke, Boven Digoel, Mappi dan Asmat. Sedangkan Irian Jaya Tengah direncanakan berpusat di Nabire, dengan cakupan wilayah-wilayah di perairan Teluk Cendrawasih yang meliputi Kabupaten Biak, Kabupaten Serui, Kabupaten Nabire, Kabupaten Yapen Waropen, dan Kabupaten Supiori.

Keseluruhan proses politik administratif dalam pemekaran di Tanah Papua melibatkan negara dengan apparatus-nya bekerjasama dengan “tim pemekaran” dan para elit Papua yang “mengatasnamakan” rakyat Papua dalam “perjuangan” pemekaran daerah. Dalam prosesnya kemudian, yang terjadi adalah proses tipu-tipu (pembohongan) dari apa yang direncanakan dan diperbuat oleh pemerintah Indonesia di Jakarta dan dilanjutkan oleh para elit Papua kepada rakyat Papua sendiri. Sehingga, sering disebutkan omong lain perilaku lain untuk menunjukkan perkataan dan perbuatan yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dan para elit Papua yang tidak pernah sejalan.

Dalam proses saling menipu ini, ketidakpuasan dan merasa dikhianati menjadi kewajaran dan hal yang lumrah. Proses baku tipu (saling menipu) di antara elit Jakarta dan Papua melahirkan ketidakpercayaan antara keduanya dan juga antara rakyat Papua dengan pemerintah Indonesia. Ujung dari baku tipu ini adalah mengorbankan harapan rakyat Papua untuk hidup “merdeka” di negerinya sendiri.

Catatan lapangan di Kota Sorong pada pertengahan Januari 2014 menggambarkan bagaimana logika berpikir dan tujuan politis dari seorang sesepuh pemekaran daerah di wilayah kepala burung. Paitua (bapak) yang sudah mulai ringkih itu berjalan menjinjing map berwarna merah baru saja turun dari mobilnya. Paitua itu mendekati saya dan sejak dari itu ia seolah tidak berhenti bercerita tentang rencana pemekaran wilayahnya. Ia yang sebelumnya adalah pejabat daerah di sebuah kabupaten di Papua Barat mengungkapkan akan memperjuangkan pemekaran wilayah di kampungnya dan sebagian besar wilayah lainnya.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Alasannya sederhana, “Agar masyarakt dong merasakan langsung dana-dana dari pemerintah. Dengan demikian, kesejahteraan mereka pun akan meningkat dengan sendirinya,” ungkapnya.

Selain pemekaran distrik, yang ada dalam pikirannya sekarang adalah pemekaran kabupaten-kabupaten dan provinsi baru di wilayah kepala burung Tanah Papua.

Paitua ini kemudian merinci bahwa jika ada orang dan daerah yang belum puas dapat mengajukan pemekaran. Misalnya, ada etnik yang merasa belum diakomodir dapat mengajukan pemekaran wilayahnya menjadi kabupaten definitif.

“Tentu dong (mereka) harus berjuang juga, jangan terima jadi saja,” jelasnya.

Perjuangan yang dimaksud paitua ini adalah memobilisasi dukungan di masyarakat, bekerjasama dengan anggota dewan dan pejabat bupati induk agar memberikan izin dan merekomendasikan pemekaran tersebut. Singkatnya, bagaimana membuat dukungan pemekaran menjadi kuat dan betul-betul diperjuangkan oleh para pejabat agar menjadi terealisasi.

 

Penulis adalah Dosen Jurusan Antropologi, Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Papua (UNIPA) Manokwari, Papua Barat.

 

_______

[1] Makalah dalam Workshop “Penyusunan/Review Modul-Modul Peningkatan Layanan Dasar Terintegrasi” Program Landasan II Provinsi Papua dan Papua Barat di Sorong, 2-6 Mei 2017.  Makalah ini awalnya adalah artikel panjang dengan judul “Papua Tipu Papua: Siasat Budaya, Interkoneksi Global, dan Keterpecahan di Kampung-Kampung Papua” yang diterbitkan dalam satu bab buku dengan editor Muhamad Hisyam dan Cahyo Pamungkas berjudul Indonesia, Globalisasi, dan Global Village (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2016).

[2] Baca bagian pertama artikel ini, Orang Papua sebagai Penggerak: Friksi dan Transformasi di Kampung-Kampung (1).

Artikel sebelumnyaBesok, Obby Kogoya akan Jalani Sidang Putusan
Artikel berikutnyaMahasiswa Tolak JWW Obral Tanah dan Izinkan TNI AU Bangun Lanud