TIDAK sedikit jenis pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terjadi di Tanah Papua sejak proses aneksasi, seperti tidak pernah berujung. Penggunaan alat negara oleh pasukan militer melalui berbagai operasi militer mengakibatkan ribuan orang tewas di atas negeri emas.
Boleh dikatakan hingga kini bahkan belum berakhir. Lihat saja, secara sistematis banyak kasus penembakan, pembunuhan, penyiksaan, intimidasi, menghiasi hari-hari orang Papua. Belum lagi implikasi sosial dari yang namanya pembangunan, antara lain perampasan tanah adat, penebangan hutan lindung, pengrusakan lingkungan, hingga degradasi budaya asli, dan sejenis lain, terus berlanjut sampai hari ini.
Masyarakat juga para tokoh menyebut ini dampak militerisme dan kebijakan pembangunan nasional di Tanah Papua. Belum lagi program transmigrasi, illegal logging dengan berkedok āHak Pengusahaan Hutanā (HPH), dan lainnya, turut menambah panjang daftar penderitaan pemilik negeri emas ini.
Tidak salah kalau kemudian ada istilah āPemerintah Indonesia bermuka dua di Tanah Papuaā. Di satu sisi, pemerintah ābicaraā pembangunan. Tetapi, di sisi lain, dan di waktu yang bersamaan, proses āpembunuhanā gencar dilakukan. Bukti untuk ini, negara bilang orang Papua harus diperhatikan dengan pembangunan yang serius dan dengan dana yang besar. Tetapi, ruang bagi rakyat mengungkapkan keluh-kesah terhadap proses pembangunan, ditutup rapat. Baru rencana aksi damai, negara melalui aparaturnya justru tak beri ijin. Larang dan larang. Itu yang terjadi selama ini. Sebuah fakta miris di negara demokrasi.
Pengalaman kelam orang Papua membuktikan negara tak serius, bahkan terkesan āmenipuā warganya. Sikap munafik negara tampak jelas di mata orang Papua.
Di depan orang Papua, negara atau pemerintah ābicara manisā sambil diam-diam bahkan secara terang-terangan menghancurkan tatanan kehidupan, menutup rapat ruang bicara, bahkan kasus-kasus āberdarahā terjadi dimana-mana tanpa diproses melalui mekanisme hukum, di panggung internasional justru gencar dengan kampanye murahan. Aneh bukan? Tetapi, itulah Indonesia. Satu tubuh dua wajah.
Sama-sama ciptaan Tuhan, tetapi orang Papua dalam kesehariannya berbeda dengan orang di nusantara ini. Mungkin, ditakdir sebagai manusia tidak merdeka?
Dalam Pasal 1 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) PBB, sudah jelas disebutkan: āSemua manusia dilahirkan merdeka dan mempunyai martabat dan hak yang sama. Mereka dikaruniai akal budi dan hati nurani dan hendaknya bergaul satu dengan yang lain dalam semangat persaudaraanā.
Tentu saja pemaknaannya pun jelas, bahwa tak ada seorang pun manusia di dunia ini yang berhak membunuh atau menghilangkan nyawa manusia lain sekehendak hati. Tetapi, kenyataannya selama ini justru bertolakbelakang dengan Universal Declaration of Human Rights yang dicetuskan 10 Desember 1948. Banyak fakta dalam sejarah bangsa Indonesia sejak kemerdekaannya hingga kini.
Lihat saja, banyak narasi penderitaan, kesengsaraan dan kesenjangan sosial akibat perilaku tidak adil dan diskriminatif atas dasar etnik, ras, warna kulit, budaya, bahasa, agama, golongan, jenis kelamin dan status sosial lainnya. Ini kasus pelanggaran HAM. Entah bersifat vertikal ādilakukan oleh aparat negara terhadap warga negara atau sebaliknya, maupun horizontal āantar warga negara sendiri, dan tak sedikit yang masuk dalam pelanggaran HAM berat.
Papua adalah dalam kisah kelam tadi. Sejarah konflik berdarah yang belum terurai. Ironi di sebuah negara berusia lebih dari tujuh puluh tahun, penghormatan, perlindungan, pengakuan dan penegakkan HAM, masih jauh panggang dari api.
Penghormatan sebagai manusia bermartabat, manusia merdeka, sangat sulit diperlihatkan negara. Orang Papua dari hari ke hari menyaksikan bahkan merasakan langsung hak-haknya dilanggar dan dikekang negara. Dibunuh malah. Dibunuh bak binatang. Apakah ini yang dimaksud dengan esensi merdeka, merdeka sebagai manusia merdeka? ***