Melawan Lupa: 50 Tahun Pelanggaran HAM oleh Pemerintah RI di Tanah Papua (Bagian I)

0
3326

Oleh: Yan Christian Warinussy)*

Catatan Awal

Sebagai salah satu lembaga advokasi hak asasi manusia dan penegakan hukum di Tanah Papua, Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari mencoba mengawali tahun kerja 2014 dengan menyajikan beberapa catatan tentang betapa semua orang yang ada dan berdiam serta menikmati kehidupan di atas Tanah Papua, serta khususnya Orang-orang Asli Papua harus senantiasa mau melakukan upaya aktif dalam MELAWAN LUPA atas telah terjadi dan berlangsung secara sistematis tindakan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (Human Rights Abuses) terus-menerus semenjak 1 Mei 1963 hingga saat ini.

Inilah statemen utama yang hendak disampaikan sebagai pembuka diskusi hari ini, karena jika disimak dari aspek kesejarahan, maka jelas nampak sekali bahwa ketika terjadi alih tanggung-jawab terhadap administrasi pemerintahan di atas Tanah Papua ketika itu (1 Mei 1963), maka sejatinya hak-hak sipil dan politik Orang Asli Papua sebagai manusia yang diakui keberadaanya di dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Deklarasi Universal tentang Hak Asasi Manusia serta Kovenan Hak-hak Sipil dan Politik maupun Kovenan tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya serta instrumen hukum internasional lainnya, sebenarnya sudah “dicabut” dan dianggap tidak pernah ada.

Bukti adalah pernyataan tegas dari Ali Murtopo ketika itu: “Kami hanya membutuhkan tanah Papua, bukan orang Papua”. Relevan dengan itu, 4 tahun kemudian, tepatnya pada 1967, terjadi kesepkatan dan penandatanganan Kontrak Karya (KK) generasi pertama untuk eksploitasi kandungan mineral emas, tembaga dan perak serta konon juga uranium di kawasan Gunung Bijih (Grasberg), Tembagapura oleh Pemerintah Indonesia dan perusahaan multinasional asal Amerika Serikat, Freeport Mc Moran yang kini berafliasi dengan nama Freeport Indonesia Incorporated (FII) atau Freeport Indonesia Company (FIC).

ads

Dari sini bisa jelas terlihat, mengapa Amerika Serikat begitu berperan aktif di dalam segenap langkah diplomatik ketika itu untuk memasukkan Tanah Papua ke dalam wilayah Indonesia yang dari aspek kesejarahannya maupun khususnya dari sisi sejarah antropologi dan etnologinya, sesungguhnya sangat jauh berbeda dengan bagian Negara Indonesia lainnya. Barangkali sinyal bahwa Amerika Serikat sangat berkepentingan dengan kekayaan sumber daya alam yang ada di Tanah Papua ini bisa menjadi catatan penting dalam menuntun kita sekalian untuk membuat pertanyaan-pertanyaan klarifikasi lebih lanjut atas fakta sejarah tersebut.

Jika kita menyimak dengan baik kata-kata dalam “Doa dan Jeritan Hati Seorang Kulit Hitam Yang Tak Pernah Terjawab” yang disampaikan oleh almarhum Tuarek Narkime (Pemilik Hak Adat atas Kawasan Gunung Bijih (Grasberg) tahun 1994, antara lain: “… saya selalu bertanya kepada Tuhan dalam pikiran dan doa saya tiap hari, Mengapa Tuhan menciptakan gunung-gunung batu, dan salju yang indah itu di daerah Suku Amungme? Apakah karena gunung-gunung batu dan salju yang indah, yang kaya dengan sumber mineral itu menarik Freeport, ABRI, Pemerintah dan orang luar untuk datang ke sini dan mengambilnya untuk kepentingan mereka dan membiarkan kami menderita? Dan oleh sebab itu, kami orang Amungme harus terus ditekan, ditangkap dan dibunuh tanpa alasan? Jika alasan itu yang kamu maksudkan, lebih baik musnahkan kami… Enyahkan kami… Agar kalian bisa mengambil dan menguasai semua yang kami miliki: Tanah kami… Gunung kami… dan setiap penggal sumber daya kami… pegang parang ini, ambil dan bunuh saya, sebab saya sudah tidak tahan lagi melihat masalah-masalah yang menyakitkan ini. Bunuh saya… Penggal kepala saya… Belah badan saya menjadi dua. Keluarkan semua isi perut saya dan letakkan bersama dengan kepala, iris bagian kiri badan dan kuburkan setiap penggal dari sini (Tembagapura) sampai Yelsegel (Grassberg)…, begitu pula dengan irisan kanan: Kuburkan dari sini (Tembagapura)… sampai ke Amamapare (Portsite).  Waktu pulang kumpulkan semua orang yang kalian tahan itu semua yang besar dan kuburkan kami bersama segala yang kami miliki. Timbun dengan tanah dan kemudian lakukan apa saja yang kamu inginkan diatas kuburan kami…”. (Cetak miring oleh penulis).

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Dari sepenggal doa dari almarhum Tuarek Narkime yang adalah Pimpinan Adat Suku Amungme (Pemilik hak adat atas tanah di kawasan Tembagapura dan sekitarnya) itu, menunjuk jelas kepada kita bahwa sesungguhnya sedang terjadi tindakan pelanggaran hak asasi manusia yang sistematis semenjak dimulainya kegiatan eksploitasi tambang mineral tembaga oleh Freeport di daerah tersebut. Korbannya jelas adalah Suku Amungme dan semua orang Papua, dan Tuarek Narkime selaku pemimpin setempat yang sebenarnya merupakan Penguasa.

Catatan awal ini jelas menjadi landasan pijak yang bisa dipakai oleh kita semua selaku pemerhati kemanusiaan dan kaum demokratis dalam melihat kembali dan berkaca ke depan atas sejumlah tindakan kekerasan yang terus-menerus terjadi di area pertambangan Freeport yang senantiasa melahirkan begitu banyak korban rakyat sipil (orang Amungme, karyawan Freeport, orang asing maupun aparat TNI dan POLRI), tetapi tidak pernah terselesaikan secara hukum hingga ke pengadilan.

Situasi Awal Pelanggaran HAM di Tanah Papua

Semenjak tahun 1963 dan 1967 sebagai disebutkan pada catatan awal diatas, maka LP3BH melihat bahwa intensitas terjadinya pelanggaran HAM dalam kasus kekerasan Negara terhadap rakyat sipil di Tanah Papua konsisten tetap terjadi dan terus berkesinambungan sesudah itu bahkan sebelum itu.

Buktinya pada tanggal 15 Agustus 1962, ketika ditandatanganinya Perjanjian New York (New York Agreement) dilakukan oleh Indonesia dan Belanda di bawah pengawasan langsung Pemerintah Amerika Serikat dan berlangsung di New York, Amerika Serikat, sama sekali tidak melibatkan Orang Asli Papua. Padahal saat itu harus diakui bahwa telah ada lembaga resmi yang sudah memulai tugas-tugas persiapan pemerintahan di Tanah Papua yaitu Nieuw Guinea Raad (Dewan Rakyat Papua).

Mereka yang duduk di dalam lembaga tersebut adalah orang-orang yang dipilih secara resmi melalui pemilihan yang demokratis ketika itu, berjumlah 28 anggota yang resmi dilantik pada tanggal 5 April 1961 di Kota Hollandia (kini Jayapura). 28 orang itu terdiri dari 16 orang yang dipilih oleh rakyat Papua, 12 ditunjuk oleh Gubernur Netherlandsch Nieuw Guinea. Komposisinya adalah 22 orang Papua, 1 orang Key, dan 5 orang Belanda, termasuk Indo-Belanda.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Ketua Nieuw Guine Raad waktu itu adalah J.H.F. Sollewin Gelpke dengan anggota yang dipilih adalah Nicolaas Jouwe (Hollandia), J.O. de Rijke (Hollandia kota), M. Suwae (Nimboran), Marcus Kaisiepo (Kepulauan Schouten), Baldus Mofu (Kepulauan Schouten), M.B. Ramandey (Yapen Waropen), Eliezer Jan Bonay (Yapen Waropen), H.F.W. Gosewich (Manokwari), Penehas Torey (Ransiki), Abdullah Arfan (Raja Ampat), A.R. van Zeeland (Sorong), A.S. Onim (Teminabuan), D. Dedaida (Ajamaru), Nicholas Tanggahma (Fakfak), Mohammad Achmad (Kaimana) dan A.K. Gebze (Merauke).

Sedangkan para anggota yang ditunjuk adalah: F.K.T. Poana (Mimika), Thontjee Meseth (Sarmi), V.P.C. Maturbongs (Mappi), C. Kiriwaib (Muyu), A. Samkakai (Kepulauan Fredrik Hendrik), D.Walab (Asmat/Pantai Kasuari), Berthus Burwos (Manokwari/Steenkol), DR. F.Chr. Kamma (Keerom), Karel Gobay (Paniai), DR. L.J. van den Berg (Tigi), Herman Womsiwor dan Ny. D. Hanasbey-Tokoro.

Selain Nieuw Guinea Raad, pada waktu itu di Tanah Papua sudah ada dua lembaga keagamaan terbesar dan tertua yaitu Gereja Kristen Injili (GKI) di Tanah Papua dan Gereja Katolik yang memiliki wilayah pelayanan dan umat tersebar hampir di seluruh Tanah Papua. Tetapi kedua Gereja ini tidak pernah dimintai nasihat dan pertimbangannya oleh otoritas pemerintahan sipil yang tengah berkuasa waktu itu, baik PBB melalui UNTEA-nya maupun Indonesia dan Belanda serta Amerika Serikat.

Nasihat dan pertimbangan yang kami maksudkan adalah dalam hal bagaimana bentuk pola dan tata cara serta tingkat kesulitan barangkali yang dialami serta apakah benar Orang Asli Papua waktu itu belum terbiasa dan primitif dalam memakai sistem pemilihan one men one vote? Lalu, apakah letak geografis kota-kota dan kampung di Tanah Papua ketika itu menjadi kesulitan bagi Nieuw Guinea Raad ataupun GKI dan Gereja Katolik dalam memilih para pemimpinnya?

Nasihat dan pertimbangan tersebut tentu sangat berguna di dalam menentukan pola dan sistem pemilihan yang bisa digunakan sesuai tradisi dan adat-istiadat serta kebiasaan Orang Asli Papua pada Tindakan Pilihan Bebas (Act of Free Choice) yang direncanakan waktu itu (1969) di Tanah Papua.

Tidak ada permintaan nasihat ataupun pertimbangan, malahan beberapa anggota Nieuw Guinea Raad justru ditangkap dan dianiaya serta disiksa luar biasa secara sewenang-wenang dengan tuduhan melakukan gerakan politik “bawah tanah” hendak menggulingkan pemerintahan Indonesia. Misalnya yang dialami Baldus Mofu di Biak hingga akhir hayatnya menderita gangguan ingatan dan mental akibat siksaan yang berat di Pos Polisi Militer Angkatan Udara Manuhua, Burokub, Biak tahun 1969. Sedangkan Nicholas Tanggahma diduga keras telah meninggal dunia akibat diracuni melalui makan yang disantapnya saat menginap di Hotel Arfak Manokwari pada tahun 1969 juga.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Beberapa anggota lain seperti Marcus Kaisiepo dan Nicolaas Jouwe serta Herman Womsiwor sudah diamankan oleh pemerintah Belanda lebih dahulu ke Eropa sebelum Act of Free Choice dimulai, bahkan sebelum ditandatanganinya Perjanjian New York 1962. Kami belum memiliki catatan tentang mengapa beberapa anggota lain dari Dewan Rakyat Papua bisa dipercayakan menduduki beberapa posisi jabatan penting di Pemerintahan Indonesia di Tanah Papua kemudian, seperti E.J. Bonay, F.K.T. Poana, A.S. Onim maupun Thontjee Meseth dan Karel Gobay.

Perlakuan yang buruk dan bisa dikatakan kejadian busuk dalam bentuk tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat Negara Indonesia dari TNI dan POLRI mulai meningkat keras menjelang penyelenggaraan Act of Free Choice pada Juli hingga Agustus 1969.

LP3BH Manokwari mencatat bahwa di Biak, Sorong, Manokwari, Jayapura, Wamena, Nabire dan Fakfak bahkan Merauke terdapat banyak aktivis politik sipil Orang Asli Papua yang ditangkap, dianiaya, ditahan secara sewenang-wenang oleh aparat TNI dan POLRI, bahkan ada yang dibunuh secara kilat dan dihilangkan secara paksa. Contoh kasus: pada tanggal 28 Juli 1969 di Manokwari telah terjadi tindakan pembunuhan kilat (summary execution) yang dilakukan oleh aparat TNI terhadap 53 orang warga sipil Papua di Markas Batalyon Infantri TNI di Arfai, Manokwari.

Keadaan makin mengenaskann dalam hal terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang terus sistematis terjadi hingga hari ini adalah akibat disahkannya Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1969 tentang Pembentukan Provinsi Otonom Irian Barat dan Kabupaten-Kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat pada tanggal 10 September 1969.

Jika disimak dalam penjelasan Undang-undang tersebut di angka Romawi I. UMUM angka 1 alinea keenam selengkapnya berbunyi sebagai berikut: “Penentuan Pendapat Rakyat di Irian Barat (Act of Free Choice) yang dilakukan melalui Dewan Musyawarah Penentuan Pendapat Rakyat sebagai manifestasi aspirasi rakyat telah terlaksana dan hasilnya menunjukkan dengan positif bahwa rakyat di Irian Barat berdasarkan rasa kesadarannya yang penuh, rasa kesatuan dan rasa persatuannya dengan rakyat daerah-daerah lainnya di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia serta kepercayaan kepada Republik Indonesia, telah menentukan dengan mutlak bahwa wilayah Irian Barat adalah bagian dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia”.

Penjelasan Undang-undang tadi dan keberadaannya itulah yang menurut analisis dan pandangan hukum kami telah dijadikan sebagai dasar hukum utama bagi Pemerintah Indonesia yang dalam perkembangannya hingga saat ini di Tanah Papua senantiasa memberlakukan pasal-pasal 106, 108 dan 110 dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sesungguhnya merupakan hasil modifikasi dari Hukum Pidana Belanda (Wetboek van Strafrecht/WvS) dalam menindak tegas setiap upaya rakyat sipil Papua dalam mempersoalkan “Integrasi Politik Papua”.

Bersambung…. Fakta Kasus Pelanggaran HAM Rakyat Papua

 

)* Penulis adalah Aktivis, pengacara publik dan HAM. Ia juga Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari, Papua. 

Artikel sebelumnyaPenembakan di Deiyai, Haluk: Wajah Kolonial Selama 56 Tahun
Artikel berikutnyaKapolda Papua Minta Maaf, Kadepa: Rakyat Butuh Ungkap Pelaku dan Proses Hukum, Bukan Minta Maaf