LP3BH Duga Tragedi Berdarah di Oneibo Deiyai Pelanggaran HAM Berat

0
3672

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Penembakan oleh aparat gabungan terhadap puluhan warga sipil di Kampung Oneibo, Distrik Tigi, Kabupaten Deiyai, Papua, Selasa (2/8/2017) sore, terindikasi kuat sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang berat.

Yan Christian Warinussy, direktur eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari yang juga advokat dan pembela HAM di Tanah Papua, mengungkapkan hal itu berdasarkan laporan dari sumber LP3BH di Waghete, Deiyai, pasca terjadi tragedi berdarah yang merenggut nyawa Yulius Pigai dan melukai 16 orang lainnya.

“Peristiwa dugaan penembakan terhadap 17 warga sipil, dimana satu diantaranya tewas atas nama Yulius Pigai di Kampung Oneibo, Distrik Tigi, Kabupaten Deiyai, Provinsi Papua, 1 Agustus 2017, oleh aparat keamanan gabungan Polisi dan Brimob, terindikasi kuat merupakan pelanggaran HAM yang Berat sebagaimana dimaksud dalam amanat pasal 7, pasal 8 dan pasal 9 dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM,” ungkapnya dalam siaran pers yang dikirim melalui email redaksi suarapapua.com.

Baca Juga:  Hilangnya Hak Politik OAP Pada Pileg 2024 Disoroti Sejumlah Tokoh Papua

Warinussy membeberkan indikasi kuat telah terjadinya kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crime against humanity) sebagaimana diatur dalam pasal 7 UU 26/2000, nyata dari fakta kasus penembakan terhadap 17 warga sipil Papua di Kampung Oneibo, Deiyai.

“Hal itu tampak dari bentuk luka-luka yang dialami oleh korban tewas maupun 16 korban lainnya yang kuat fakta dan data tidak ditembak dengan peluru karet dan kuat fakta dan bukti bukan ditembak untuk dilumpuhkan, tetapi kuat dugaan ditembak untuk memusnahkan atau mematikan,” ujarnya.

ads

Laporan dari Waghete, beber Yan, para korban termasuk korban tewas diduga keras terkena serpihan peluru tajam yang berasal dari senjata api milik aparat keamanan.

“Bukti selongsong peluru yang sudah diperoleh di lokasi tempat kejadian perkara (TKP) menunjuk pada peluru tajam jenis kaliber PIN 5,56 yang belum bisa diklarifikasi berasal dari jenis senjata api mana dan dari kesatuan aparat keamanan Polri ataukah TNI,” ungkap Warinussy.

Baca Juga:  Beredar Seruan dan Himbauan Lagi, ULMWP: Itu Hoax!

Terkait peristiwa tragis tersebut, ia mengatakan, perlu segera dilakukan investigasi independen dibawah dukungan dan fasilitasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) serta Gereja di Kabupaten Deiyai dan Dewan Adat Paniai.

Ia juga menghimbau, para korban luka yang masih hidup dan keluarganya masing-masing untuk menyimpan dengan baik semua bukti-bukti fisik maupun fakta yang ada demi kepentingan investigasi.

“Semua bukti yang dimiliki tidak boleh diserahkan dan atau dipindahtangankan kepada siapapun atau kepada institusi manapun yang tidak memiliki mandat hukum menurut UU Nomor 26 Tahun 2000,” ujar Warinussy.

Tragedi berdarah di Deiyai ini menurutnya ikut memperkaya data jumlah peristiwa dugaan pelanggaran HAM berat di Tanah Papua yang terus-menerus terjadi dan tidak pernah diselesaikan secara hukum.

LP3BH juga meminta perhatian PBB dalam hal ini Dewan Hak Asasi Manusia yang berkedudukan di Jenewa, Swiss, segera mengirimkan pelapor khusus (Special Rapporteur) untuk urusan anti penyiksaan agar berkunjung ke Tanah Papua. Termasuk dalam rangka mengungkap tragedi berdarah di Oneibo, Kabupaten Deiyai.

Baca Juga:  Dewan Pers Membentuk Tim Seleksi Komite Perpres Publisher Rights

Tuntutan sama diungkapkan Solidaritas Mahasiswa, Pemuda dan Masyarakat Peduli HAM saat aksi damai di depan halaman Polda Papua Barat, Manokwari, Jumat (4/8/2017).

Aksi yang diikuti puluhan orang menyatakan, tragedi berdarah di Oneibo, Deiyai, merupakan satu dari sekian banyak pelanggaran HAM berat yang dilakukan aparat keamanan Indonesia di Tanah Papua.

“TNI dan Polri tidak taat aturan di negara ini. Mereka justru pelaku kekerasan, bahkan pelanggaran HAM di atas Tanah Papua,” ujar Jeferson Thomas Baru, penanggungjawab aksi.

Selain para pelaku penembakan dituntut segera diproses hukum, massa juga mendesak untuk tarik kembali pasukan organik dan non-organik dari Deiyai dan secara umum dari Tanah Papua.

“Militer Indonesia pelaku kekerasan terhadap orang Papua selama puluhan tahun,” ujar Aloysius Siep, koordinator aksi dalam orasinya.

 

Pewarta: CR-3/SP
Editor: Arnold Belau

 

Artikel sebelumnyaSerang Warga Sipil dengan Senjata, Uskup Saklil: Itu Pengkhianatan Terhadap Negara
Artikel berikutnyaBKD Yahukimo Resmi Buka Pendaftaran Formasi Khusus Hakim