Tragedi Berdarah Oneibo Deiyai, Fenomena Gunung Es dan Potret Kegagalan Rekonstruksi Sosial di Papua

0
2737

Oleh: Yan Ukago)*

Penembakan di Kampung Oneibo, Distrik Tigi, Kabupaten Deiyai, Papua, Selasa 1 Agustus 2017, menewaskan satu orang dan melukai puluhan orang. Pelakunya diduga kuat ditembak oleh anggota Brimob dan Polisi yang bertugas di Polsek Waghete. Empat orang korban masih menjalani perawatan di rumah sakit umum daerah (RSUD) Nabire dan Dok II Jayapura.

Kasus Deiyai dan rentetan penembakan di Papua adalah fenomena gunung es, itu bukan sekedar soal penembakan dan hitung jumlah korban kemudian pihak-pihak terkait cari pelakunya dan bawa ke pengadilan. Bukan juga soal Kapolda minta maaf atau Komnas HAM bisa kirim tim pencari fakta (TPF) ke lapangan, bukan juga soal mencari siapa kambing hitam, siapa Kapoldanya, siapa gubernurnya, siapa bupatinya, atau siapa kontraktornya.

Tetapi lebih dari itu, adalah soal belum berhasilnya integrasi sosial orang Papua sebagai anak bangsa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Masyarakat adat Papua sampai 49 tahun ini belum merasa sebagai bangsa Indonesia. Sampai detik ini belum terjadi integrasi sosial sebagai benang sutera antara sesama anak nusantara di Tanah Papua.

Di Papua siapa saja bisa saksikan, belum ada integrasi sosial, antara rakyat dan pemilik kios, antara rakyat dengan kontraktor, apalagi antara rakyat dengan TNI, POLRI yang punya senjata. Walaupun tinggal dalam satu komplek, tetapi mereka hidup dalam dunia dengan kutub yang berbeda. Orang Papua hidup dalam budaya kolektifitas dengan sistem ā€œale rasa beta rasaā€, dibanding ipar amber yang hidup ā€˜individualisā€™, sehingga terjadi kesenjangan sosial. Hubungan antara ipar amber dan masyarakat asli belum rajut baik dan ibarat ā€œapi dalam sekamā€ yang sewaktu-waktu siap meletus oleh pemicu sekecilpun.

ads
Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Kasus penembakan di Oneibo, Deiyai, pemicunya bukan semata soal mobil perusahaan yang tidak mau dibantu, tetapi lebih dari itu banyak akumulasi sosial di akar rumput yang menumpuk puluhan tahun.

Di Papua, hubungan antara OAP dan amber memang saling membutuhkan, tetapi tidak saling menguntungkan. Amber yang pandai bisnis membutuhkan Papua yang royal dan banyak duit dari hasil pemekaran dan jual-jual tanah. Hidup ber-sodara memang bisa berjalan, tetapi itu pun karena dijaga dibawah popor senjata uang penuh was-was.

Soal penyatuan hati ini, urusan tidak mudah, tidak mungkin diselesaikan oleh Kapolda, Gubernur atau para Bupati di Papua. Itu soal penerapan sistem negara yang tidak cocok di Papua. Papua adalah ras Melanesia yang jadi pilar Indonesia. Sistem dari Jakarta diterapkan satu untuk seluruh tanah air, Sabang sampai Merauke, yang luas ini.

Di Papua ada Otonomi Khusus (Otsus), tetapi sistem Jakarta bisa tembus sampai ke desa-desa, kampung-kampung di Tanah Papua. Latihan lain, main lain!.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Otsus itu tidak ada bunyi, itu cuma tambahan uang saja di Papua. MRP tinggal begitu saja tanpa tugas apapun.

Di Papua banyak kebijakan yang tidak cocok dan perlu kejernihan hati Jakarta untuk duduk bersama lihat akar masalah. Pakailah kaca mata Papua. Kalau tidak, siapapun Kapolda, Pangdam, Gubernur, Bupati, bentrok dan penembakan tak akan berkesudahan.

Persoalan akar rumput dan integrasi sosial ini terkesan dibiarkan tanpa penanganan. Pemerintah berpikir pembangunan infrastruktur dan disetujuinya pemekaran kabupaten seantero Papua itu sudah cukup akan tuntaskan akar masalah. Kalau negara biarkan ini, yang menderita dan bertikai di bawah adalah antara Pemda, aparat bersenjata dan rakyat, dan kalau ada aparat negara selalu hantam rakyatnya sendiri dengan peluru itu kegagalan dari sebuah negara.

UU Otsus plus yang diusulkan Gubernur Lukas Enembe, sebuah bukti bahwa ada yang tidak beres di Papua. Tetapi, menurut Jakarta, tidak perlu karena tanpa UU itu sudah merasa Papua baik baik saja.

Drs. Moh. Hatta pernah berkata: ā€œWilayah Indonesia itu Aceh sampai Ambon, sedangkan Papua biarkan mereka menentukan nasib sendiri karena kita tidak akan berhasil mengintegrasikan merekaā€. Kalimat itu bukan tiba-tiba muncul begitu saja dari ruang kosong kepala seorang Hatta. Dia sudah paham betul bagaimana Papua itu selama beberapa tahun beliau hidup dalam penjara di Boven Digoel, Papua.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Selain Hatta, belum lagi kita ingat kata-kata Pdt. I. S. Kijne, yang setelah dengan seksama mengamati karakter orang Papua, berkata: ā€œSuku bangsa ini hanya mereka sendiri yang akan bangkit membangun dirinya sendiri. Sekalipun ada orang bijak, yang pandai datang ke sini, tetapi akan selalu gagalā€.

Bukan berarti tiada yang buntu, yang penting bangun seperlunya sesuai kebutuhan rakyat. Pembangunan yang pesat dalam sekejab seperti jalan, jembatan, perkotaan, belum tentu cocok bahkan bagi rakyat Papua hidupnya itu sudah di bawah ancaman, apalagi tidak ada biaya rehabilitasi sosial akibat dari dampak pasca pembangunan.

Penambahan pemekaran wilayah dan pembukaan jalan raya, bagi orang Papua hanya mendatangkan kaum imigran yang mengambil-alih tanah dan kendali hidup mereka.

Mungkin sebaiknya Pemerintah RI terapkan ā€œOne nation two systemā€ di Papua. Papua tetap dalam negara Indonesia, tetapi sistemnya yang berbeda. Sistemnya bisa mengikuti model negara Melanesia yang ada di kawasan Pasifik, bukan Melayu.

Negara-negara Pasifik ini walaupun tidak maju seperti Indonesia, tetapi bisa hidup ā€˜makmurā€™ tanpa ada trauma penembakan, dan itulah tujuan hidup sesungguhnya.

*) Penulis adalah pengamat sosial, tinggal di Jayapura.

Artikel sebelumnyaListrik di Maybrat Akan Menyala 24 Jam
Artikel berikutnyaBank Papua Dekai Mulai Cairkan Dana Desa