Dialog Sektoral Vs Referendum

1
3323

Oleh: Beny Mawel)*

Setelah bertemu 14 orang perwakilan tokoh Papua,  Presiden Jokowi mewacanakan dialog sektoral Jakarta Papua. Joko Widodo menunjuk Dr Neles Tebay sebagai kordinator dialog sektoral antara Papua dengan Jakarta.

Soalnya, mengapa pemerintah Jakarta baru merespon dialog (sektoral) Jakarta Papua? Apakah ini hanya bagian dari strategi Jakarta menghalanggi isu referendum hingga dekolonisasi yang sedang mendunia?

Jakarta Terus Meraju

Sejarah menjadi penting membaca isu dialog sektoral yang sedang bergulir. Ada sejumlah catatan sejarah yang selalu kontradiktif antara perjuangan rakyat Papua dengan metode Jakarta untuk menghadapinya.  Kontradiksi antara kesungguhan menyelesaikan masalah, tetapi selalu direspon dengan sikap pura-pura Jakarta untuk membangun Papua.

ads

Sejarah mencatat, ketika Rakyat Papua melalui New Gunea Raad mempersiapkan kemerdekaan akhir 1950-an dan pengumuman persiapan pada 1 Desember 1961, pemerintah Indonesia melakukan aneksasi pada 19 Desember 1961. Aneksasi itu diteguhkan dengan Pelaksaan Penentuan Pendapat Rakyat 1969. Hasil PEPERA dicatat dengan janji Indonesia akan membangun Papua dengan bantuan bank dunia.

50 tahun berlalu, Indonesia tidak mampu membangun Papua. Rakyat Papua menuntut memenentukan nasib sendiri melalui tim 100 pada  1999. Ketika itu Jakarta, presiden BJ Habibie mengatakan 100 orang Papua itu pulang dan merenungkan permintaan.

Rakyat Papua merenungkanya melalui musyawarah besar rakyat Papua 2000 hingga konggres Rakyat Papua II 2000. Konggres II melahirkan agenda pelurusan sejarah Papua. Agenda itu digiring melahirkan otonomi khusus Papua dengan UU No 21 tahun 2001.

Otonomi khusus tidak berdampak baik. Kritikus mengkritisi habis. Onomi khusus gagal. Ketika dikatakan gagal, malah pejabat Indonesia yang asli Papua yang dipersalhkan Jakarta.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

 “Semua pejabat kan putra daerah,” kata Jakarta tanpa malu ‘cuci tangan’ atas kegagalannya. Pejabat asli Papua itu berguru kepada siapa dan bagaimana pejabat Papua gagal membangun Papua?

Jakarta diam-diam mengakui kesalahnya dengan mengulirkan UU Percepatan Pembangunan Papua dan Papua Barat (UP4B). Salah satu agendanya program pendidikan afirmasi. Ada mahasiswa yang menerima beasiswa itu pulang tidak menyelesaikan studi.

Ketika isu referendum disuarakan Komite Nasional Papua Barat sejak 2008, isu dialog Jakarta Papua muncul 2009, dan pegakuan melalui konggres Papua III 2011. Ketiga itu berbenturan sehingga Jakarta berdalil sulit menyelesaikan masalah Papua karena tidak ada persatuan.

Untuk membangun persatuan, presiden Susilo Bambang Yudoyono menunjuk utusan khususnya Farid Husein menjaring aspirasi. Farid Husein bertemu tokoh Papua, aktivis dan pejuang kemerdekaan Papua. Hasilnya tidak pernah jelas hingga hari ini. Nama Farid Huseinpun muncul dan menghilang begitu saja.

Ketika rakyat Papua berjuang menuntut hak pengakuan sebagai ras Melanesia di Melanesia Spearhead Group (MSG) sejak 2013, muncul kelompok Melanesia Indonesia (Melindo). Atas nama Melindo, Indonesia mendapat status anggota Asosiasi di MSG dan Papua mendapat status Observer pada 2015.

Ketika konfrensi Tingkat Tinggi Negara-negara Pasific (PIF) pada 2016 di Moreby, Papua New Guinea, merekomendasikan perlunya tim pencari fakta ke Papua, muncul isu pencari fakta bentukan menteri kordinator Politik Hukum dan Keamanan, Luhut Binsar Panjaitan. Gencar-gencarnya, Jakarta melalui aparat keamananya. Kepolisian daerah Papua mengelar diskusi-diskusi pengumpulan fakta-fakta pelanggaran hak asasi Manusia (HAM). Diskusi ke diskusi menghasilkan rekomendasi tiga kasus Pelanggaran HAM berat yang perlu diselesaikan. Kasus Wamena berdarah 2004, Wasior dan Pania 2014. Rekomendasi itu belum ada tindak lanjutnya sampai hari ini.

Baca Juga:  Menghidupkan Kembali Peran Majelis Rakyat Papua

Ketika negara-negara Pasific menyeruhkan referendum hingga akan memperjuangkan dekolonisasi bagi Papua di Perserikatan Bangsa-bangsa dalam siding tahun pada 2017 ini, muncul isu dialog sektoral. Jakarta, presiden Joko Widodo menunjuk Dr Neles Tebai, pengagas dialog Jakarta, prepetif Papua, sebagai kordinator dialog sektoral.

 Tebay, Papua atau Jakarta 

Ketika Dr Neles Tebay menerima penunjukan Presiden Indonesia untuk mempersipakan dialog sektoral, terjadi pro kontra dikalangan orang Papua.  Ada yang mengatakan Tebay sedang mengerjakan agenda Jakarta terus menguasai Papua.

Ada juga yang mengatakan Tebay sedang berusaha merintis jalan beku antara Jakarta dan Papua. Neles sedang merintis jalan dialog menyeluruh dengan jalan dialog sektoral. Dialog sektoral bukan tujuannya, kata pejuang moderat.

Apapun argument orang, sikap Dr Neles Tebay memang sulit kita tebak. Kita sulit menilai ketika Tebay yang rakyat Papua kenal memperjuangkan dialog Jakarta Papua prepektif Papua berubah menjadi fasilitator dialog Jakrta Papua prepektif Jakarta.

Lalu, dimana titik temu, dialognya? Kapan dialog antara Jakarta Papua akan terjadi? Dialog Jakarta Papua prepektif Papua saja atau prepektif Jakarta belum bisa disebut dialog bagi kedua bela pihak yang bermusuhan.

Karena itu, kita masih berharap kepada Dr Neles Tebay masih mempunyai tugas memecahkan kebekuan dan status quo. Neles mesti membujuk kedua bela pihak untuk mau berdialog tanpa status quo.

Baca Juga:  Saatnya OAP Keluar Dari Perbudakan Dosa dan Tirani Penjajahan Menuju Tanah Suci Papua

 Papua Maju, Indonesia Mundur

Kita bisa menilai apapun alasan Jakarta, dialog sektoral, sebenarnya sebuah langkah mundur pemerintah Indonesia medengar dan merespon niat baik rakyat Papua.

Kalau Jakarta mau membuka diri, agenda dialog sudah disuarakan oleh rakyat Papua. Sejak 2000, Dialog pelurusan sejarah, dialog prepektif Papua 2009 melalui gagasan Pastor Neles Tebay,   yang dimediasi pihak ketiga namun semua itu tidak pernah didengar.

Ketika Jakarta menjadi tuli, rakyat Papua tidak menjadi bodoh dalam situasinya yang menantang. Rakyat Papua menempuh jalur luar negeri. Rakyat Papua berhasil mengalang dukungan Internasional.

“Isu Papua melampuai batas wilayah Papua, Melanesia dan Pasific. Rakyat Papua sudah menang diplomasi,”tegas Agust Kossay ketua I KNPB.

Ketika Papua sudah mencapai langgkah maju itu, indonesia sedang berusaha menarik isu Papua ke dalam negeri. Indonesia mau masih teriak “masalah Papua masalah dalam negeri Indonesia”.

Apakah itu mungkin? Secara psikologis, orang Papua pasti tidak akan pernah menerima sebuah langkah mundur. Kalau menerima pun tidak pernah aka nada kesepakatan bersama.

Apa lagi Papua tunduk lagi ke Indonesia itu pasti tidak mungkin? Para diplomat Papua, pemimpin Unite Liberartion Movement for West Papua (ULMWP) hingga aktivis di dalam negeri menolak kehendak Jakarta atas Papua yang tunduk.

“Injak kantor kampung saja tidak, apalagi menyerah itu tidak mungkin. Perlawanan sampai titik darah penghabisan,”tegas Noldi Hilka, kordinator komite Nasional Papua Barat (KNPB) wilayah Aplim Apom, Pegunungan Bintang.

)* Penulis adalah wartawan di Koran Jubi dan tabloidjubi.com

Artikel sebelumnyaKepala kampung dan Distrik di Maybrat akan Diaktifkan Kembali
Artikel berikutnyaBupati Maybrat Pimpin Apel Perdana di Ayamaru