ULMWP dan Indonesia Antara Perjuangan HAM Internasional

0
3033

Oleh: Yan Christian Warinussy )*

Dalam beberapa minggu terakhir di bulan September dan Oktober 2017 ini kita di Indonesia dan khususnya di Tanah Papua cukup sering mengikuti perkembangan informasi tentang hiruk pikuk aksi penyampaian pernyataan dan bantahan mengenai situasi dan kondisi Hak Asasi Manusia di Tanah Papua pada level internasional setingkat Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) atau the United Nations.

Perkembangan utama terjadi, ketika 4 (empat) Pemimpin dan diplomat dari negara Pasifik seperti Kepulauan Solomon (Solomon Island), Vanuatu, Tuvalu dan Tonga serta satu negara Karibia, yaitu St.Vincent and Grenadines.

Mereka secara berturut-turut telah menyampaikan pidato berisi pernyataan dan desakan bagi PBB untuk menyelesaikan segera persoalan dugaan pelanggaran HAM yang tanpa penyelesaian yang bermartabat sepanjang lebih dari 50 tahun di Tanah Papua.

Diplomat Solomon Island, Barret Salato pada sesi ke-36 pertemuan ke-18 Dewan HAM PBB (the United Nations Human Rights Council/UNHRC) di Jenewa, Swiss mengatakan keprihatinan negaranya (Solomon Island) terhadap situasi masih berlanjutnya tekanan aparat polisi dan militer Indonesia terhadap rakyta Papua (Orang Asli Papua/OAP) dalam melaksanakan hak mereka untuk berpendapat bebas, berkumpul dan berserikat secara damai.

ads

Dia juga menyoroti kasus-kasus pembunuhan extra judicial terhadap rakyat Papua asli masih berlanjut dan pelakunya sangat jarang dibawa ke hadapan pengadilan yang dapat dipercaya.

Solomon Island juga mengemukakan keprihatinannya atas kebijakan transmigrasi serta buruknya kondisi pelayanan kesehatan di Tanah Papua, disamping pelanggaran HAM yang telah memicu penurunan (degradasi) jumlah (populasi) penduduk asli Papua yang drastis.

Diplomat Salato dari Solomon Island menyebut data dari LSM di Tanah Papua yang merilis bahwa jumlah penduduk asli Papua telah menyusut dari 90,09 persen dari total populasi pada tahun 1971 menjadi tidak sampai 42 persen saat ini.

Sehingga disampaikannya bahwa jika PBB tidak bersikap segera, maka diprediksi populasi penduduk asli Orang Papua akan lenyap/punah dalam kurun waktu 40 tahun mendatang.

Oleh sebab itu, maka Salato mewakili pemerintah negara Solomon Island menyerukan dialog konstruktif antara pemerintah Indonesia dengan Orang Asli Papua (OAP) untuk menyelesaikan akar persoalan pelanggaran HAM di Tanah Papua.

Bahkan diserukannya agar PBB segera mengirimkan Pelapor Khusus (Special Rapporteur) nya untuk bidang hak rakyat pribumi dan untuk bidang eksekusi ekstra-judicial mengunjungi Tanah Papua.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Sementara itu, baik pemimpin negara Solomon Island yang diwakili Perdama Menteri Menaseh Sogavare maupun Vanuatu, Tonga dan Tuvalu serta St.Vincent Grenadines sama-sama selain mengangkat isu pelanggaran HAM tersebut.

Mereka juga mendesak PBB melalui Majelis Umumnya di New York-Amerika Serikat, untuk mempertimbangkan pemberian hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua (OAP) atas dasar penghapusan kolonialisme di dunia dan pertimbangan terjadinya pelanggaran HAM yang berkesinambungan dan bisa berefek pada kepunahan salah satu etnis Melanesia terbesar di kawasan Pasifik.

Pertanyaannya adalah bagaimana mungkin para pemimpin negara-negara Pasifik dan Karibia tersebut bisa memperoleh data-data akurat ? dan kemudian mereka bisa membuat pernyataan dengan landasan argumen yang kuat, guna mendesak PBB kepada tawaran mereka mengenai situasi HAM di Tanah Papua tersebut?

Sebagai seorang Advokat dan Pembela Hak Asasi Manusia di Tanah Papua, saya melihat bahwa peranan organisasi koalisi perjuangan rakyat Papua bernama United Liberation Movement for West Papua/ULMWP atau Persatuan Gerakan Pembebasan untuk Papua Barat sangat urgen dan signifikan pada soal tersebut.

Kenapa demikian? Karena sejak diterima sebagai bagian dalam keanggotaan organisasi persaudaraan negara-negara sub etnis Melanesia (Melanesia Spearhead Group/MSG).

ULMWP di bawah pimpinan Octovianus “Octo” Mote selaku Sekretaris Jenderal (Sekjen) nya telah memainkan peran amat penting dalam membangun dialog konstruktif guna mendapat dukungan berbagai negara di kawasan Pasifik, Karibia, Afrika dan dunia internasional pada umumnya.

Ini kerja yang luar biasa dalam menarik simpati dunia atas dugaan terjadinya pelanggaran hak asasi manusia yang sangat sistematis dan struktural  yang diduga keras dilakukan oleh negara Indonesia terhadap rakyat asli Papua atau Orang Asli Papua (OAP) sepanjang lebih dari 50 tahun sejak 1963 dan tanpa adanya penyelesaian secara hukum nasional Indonesia.

Hasilnya di luar dugaan dan jauh lebih meningkat dari tahun 2016 yang lalu, dimana pada forum PBB yang sama, 7 (tujuh) pemimpin negara pasifik, yaitu Vanuatu, Solomon Island, Tuvalu, Tonga, Kepulauan Palau, Marshall Island dan Samoa Amerika mengangkat isu dugaan pelanggaran HAM yang Berat di Tanah Papua tersebut.

Baca Juga:  23 Tahun Otsus, Orang Asli Papua Termarginalkan

Pada tahun 2017 ini, keempat pemimpin negara Pasifik tersebut (Solomon Island, Vanuatu, Tonga dan Tuvalu) serta St.Vincent and Grenadines bukan saja mengangkat kembali laporan dan seruan mengenai soal pelanggaran HAM di Tanah Papua saja.

Malahan mereka (keempat pemimpin negara Pasifik dan Karibia) tersebut justru juga mendeak PBB untuk mempertimbangkan perubahan atas keputusan mengenai tanggung-jawab dan mandat dari Komisi Dekolonisasi di bawah otoritas Majelis Umum PBB. Yaitu untuk memberi perhatian pada pemberian hak menentuklan nasib sendiri bagi rakyat asli Papua.

Di pihak lain, Pemerintah Indonesia memberikan respon/tanggapan atas pernyataan para pemimpin negara Pasifik dan Karibia tersebut secara sangat “prematur” dan cenderung memalukan dan tidak faktual serta terkesan penuh kebohongan di depan forum internasional tersebut.

Melalui diplomat muda dan cantik bernama Ainun Nuran, pemerintah Indonesia menyatakan bahwa mereka telah membangun jalan sepanjang 4.325 kilometer di Tanah Papua ?

Entah dimana letak jalan tersebut? jalan tersebut melintas dari kota mana ke kota mana? atau dari Provinsi mana ke Provinsi mana? apakah ada menimbulkan dampak penting atau tidak bagi kehidupan sosial-budaya dan ekonomi OAP ?

Kemudian juga dikatakan bahwa pemerintah Indonesia juga sudah membangun 30 pelabuhan baru? dan 7 (tujuh) bandar udara baru di Tanah Papua? Tidak tahu benar atau tidak? Lalu dimana letak pelabuhan dan bandara-bandara dimaksud? Tidak ada penjelasan resmi dari pemerintah Indonesia kepada rakyat asli Papua.

Juga dikatakan ada 2,8 juta penduduk asli Papua telah mendapat akses pelayanan kesehatan gratis? Kalau benar demikian, kenapa ada kasus busung lapar di Kabupaten Nduga, di daerah Koroway-Merauke, dan penyakit “aneh” pada warga suku Mairasi di Kampung Kensi-Distrik Arguni Atas-Kabupaten Kaimana-Provinsi Papua Barat belum lama ini?

Juga kenapa sampai angka kematian bayi dan ibu di Tanah Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat) masih tinggi dan penyebaran HIV/AIDS sangat luas dan meningkat di Bumi Cenderawasih saat ini?

Bahkan status penyakit malaria, tuberkolosis (TBC)  sebagai penyebab kematian warga asli Papua masih sangat tinggi dan penyakit  kaki gajah serta frambusia masih sangat tinggi di Tanah Papua ?

Baca Juga:  Hilirisasi Industri di Indonesia: Untung atau Buntung bagi Papua?

Tanggapan dari Pemerintah Indonesia melalui dua “juru bicaranya” yaitu Nara Massista Rahmatia (2016) dan Ainun Nuran (2017) ini sangat tidak up to date, tidak memiliki argumentasi hukum yang bisa dipertanggung-jawabkan serta tidak faktual karena tidak berbasis data yang benar.

Sehingga ini akan makin “memperkuat” perjuangan rakyat Papua (OAP) dalam menuntut penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang sudah terjadi sepanjang 50 tahun lebih di Tanah Papua akibat kekejaman negara Indonesia melalui aparat keamanannya dan tanpa penyelesaian secara hukum yang bermartabat.

Oleh sebab itu, sebagai Peraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM “John Humphrey Freedom Award” Tahun 2005 dari Canada, saya ingin menghimbau agar Pemerintah Indoensia di bawah Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sudah saatnya mempertimbangkan untuk berdialog dengan rakyat Papua melalui ULMWP.

Di pihak lain, kiranya saudara Sekjen ULMWP dan sesama petinggi dan anggota serta pemimpin organisasi perjuangan rakyat Papua yang berkoalisi di dalam ULMWP sendiri perlu memahami dengan baik prosedur dan mekanisme hukum internasional yang mengatur tentang proses politik untuk memenuhi tuntutan hak menentukan nasib sendiri (rights to self determination) yang berlaku universal di Majelis Umum PBB.

Sehingga tidak ada kesan dan pandangan yang cenderung skeptis dalam “memaksakan” segala proses menuju kepada sebuah tujuan akhir dari langkah politik ULMWP secara parsial dan bersifat by pass hanya karena ego pribadi para anggota di dalam ULMWP sendiri.

Saya berpandangan bahwa tawaran pemerintah Solomon Island tentang dialog konstruktif untuk menyelesaikan pelanggaran HAM di Tanah Papua di bawah pengawasan dan mediasi PBB boleh jadi akan menjadi opsi yang kelak dipertimbangkan oleh Majelis Umum-nya.

Persoalannya tidak bisa dilihat dan dipaksakan oleh Indonesia maupun rakyat Papua melalui ULMWP dengan kemauannya sendiri-sendiri, tetap jelas akan dan harus mematuhi segenap prinsip dan standar hukum internasional yang berlaku secara universal.

 

)* Penulis adalah Direktur Eksekutif LP3BH Manokwari/Advokat dan Pembela HAM di Tanah Papua. Peraih Penghargaan Internasional di Bidang HAM ” John Humphrey Freedom Award” Tahun 2005 dari Canada.  Mantan Wartawan SKH Cenderawasih Pos Jayapura-Papua .-

Artikel sebelumnya Gerakan HAM Nusantara Dideklarasikan di Kota Injil
Artikel berikutnyaPerumahan Sosial Permanen di Yahukimo akan Dibangun 2018