Potensi Deforestasi di Papua Barat Meningkat

0
3027

JAYAPURA, PUSAKA/SUARAPAPUA.com— Bertepetan dengan konfrensi Tenurial yang dibuka presiden Joko Widodo, Koalisi Masyarakat Sipil untuk Keadilan Ruang Hidup Adat dan Perlindungan Hutan di Papua Barat, menyerukan perlunya perlindungan hutan dan ruang hidup masyarakat adat di tanah Papua.

Koalisi mendesak agar pemerintah segera memastikan RTRWP Papua Barat 2013-2033 mengakomodasikan ruang hidup masyarakat adat dan melindungi kawasan hutan dari ancaman investasi.

RTRWP Papua Barat 2013-2033 masih berpotensi memicu deforestasi dan degradasi sebesar 65 % pada kawasan hutan Papua Barat. Pola ruang pada RTRWP yang ada menunjukkan fungsi lindung hutan hanya tersisa 3,3 juta ha dan sisanya 6,4 juta untuk fungsi budidaya, diperuntukkan bagi pembangunan infrastruktur dan ekstraksi sumberdaya alam.

Nikolas Djemris Imunuplatia, Koordinator Koalisi mengatakan, RTRWP Papua Barat masih berpotensi terjadinya perubahan fungsi dan peruntukan kawasan hutan untuk mengakomodasi kepentingan ekonomi dan korporasi, sebagaimana terjadi dalam rencana ekstraksi usaha pertambangan Gunung Botak di Manokwari Selatan.

Selain itu, Djemris juga mengungkapkan, dalam proses dan setiap tahapan pembahasan substansi RTRWP PB dilakukan dengan minim partisipasi masyarakat secara luas dan mengabaikan hak-hak masyarakat adat Papua. Ketidakadilan dan pengabaian hak-hak masyarakat adat akan berpotensi memicu dan memperluas konflik di tanah Papua.

ads
Baca Juga:  Hujan di Sorong, Ruas Jalan dan Pemukiman Warga Tergenang Air

Hal ini sangat bertentangan dengan konstitusi, peraturan perundang-undangan menyangkut partisipasi masyarakat dan menyimpang dari nilai-nilai kebijakan khusus otonomi Papua. Implikasinya selain merosotnya jumlah luas hutan, saat ini timbul ketegangan, keresahan di dalam masyarakat Papua sendiri.

“Tentunya hal tersebut mencederai komitmen pemerintah pusat maupun daerah untuk membangun Papua yang lebih sejahtera. Pemerintah harus memastikan bahwa paradigma pembangunan papua harus lebih mengakomodir hak-hak adat dalam upaya perlindungan hutan”, ungkap Djemris.

Dalam revisi RTRWP tersebut, luasan kawasan gambut di Provinsi Papua Barat lebih mutlak diperuntukkan untuk kawasan budidaya (83,5%) dibandingkan kawasan lindung yang hanya diperuntukkan (16,5%).

Anes Akwan, Koordinator Pantau Gambut Papua mengatakan sangat mengkhawatirkan jika degradasi jumlah lahan gambut Papua Barat terus terjadi akan berakibat pada rusaknya lingkungan serta kebakaran lahan masif mengingat karakteristik gambut yang rentan. Dalam implementasi yang diperlukan terkait isu lahan gambut di Papua yaitu bukan merestorasi namun memberikan perlindungan serta pengakuan hak masyarakat Papua khususnya masyarakat adat dalam pengelolaan dan pemanfaatan lahan gambut..

Baca Juga:  Pembangunan RS UPT Vertikal Papua Korbankan Hak Warga Konya Selamat dari Bahaya Banjir, Sampah dan Penggusuran Paksa

“Revisi RTRWP Papua Barat mengancam kerusakan gambut Papua. Ancaman besar itu berasal dari perusahaan-perusahaan yang mendapat izin eksploitasi seiring diberlakukannya Revisi RTRWP Papua Barat tahun 2015 yang lalu. Dalam peta sebaran izin perusahaan di Papua, baik pengusahaan hutan alam, maupun pertambangan dan perkebunan, berada di atas gambut,” jelasnya.

Lebih lanjut ia mengungkapkan, “Setidaknya terdapat 155 perusahaan yang beroperasi di Papua dan mengkapling lahan 25,5 juta ha di lahan gambut, dikhawatirkan dengan adaya adanya aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam yang berlangsung secara eksploitatif dan lemahnya penegakan hukum membuat ekosistim terancam rusak” ungkap Anes.

Terkait Program penyerahan hutan adat atau pun Perhutanan Sosial, Direktur Yayasan Paradisea Esau Yaung, mengatakan masih sangat minim dirasakan masyarakat Papua hal ini bisa terlihat pada saat Presiden Joko Widodo memberikan surat pengakuan dan pemberian hak pengelolaan hutan adat kepada sembilan masyarakat hukum adat di Istana Negara kemarin (25/10/2017).

Baca Juga:  Warga Tiom Ollo Duduki Kantor Bupati Lanny Jaya Minta Atasi Bencana Longsor

“Tidak ada satu centi pun pengakuan tanah atau hutan adat yang diserahkan untuk masyarakat adat Papua. Kedepan dibutuhkan kemauan politik baik dari pemerintah pusat maupun daerah untuk mengakui dan menghormati hak-hak masyarakat adat Papua atas hutan adat di Papua” ungkap Esau.

Lebih dari itu, kata dia, setiap perencanaan pembangunan baik pemerintah pusat maupun daerah dibutuhkan pemahaman dan partisipasi masyarakat Papua agar mereka dapat memahami program pembangunan yang akan dilaksanakan di daerahnya.

Pemahaman ini akan mempermudah mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam sukseskan program dan mengawasi pelaksanaannya. Adalah tanggung jawab semua pihak baik pemerintah, NGO ataupun swasta untuk memahami masalah dan kebutuhan masyarakat Papua dengan baik agar kedepan setiap program pembangunan menjadi tepat guna dan tepat sasaran bagi masyarakat Papua.

Sumber: Pusaka.or.id

Artikel sebelumnyaWarga Jemaat PosPel Ora Et Labora Kunjungi PosPel Hansambe Danau Love
Artikel berikutnyaSoal  Proyek Pelabuhan Serui, Putusan PTUN Jayapura Harus Fair dan Profesional