Ekspansi Kelapa Sawit di Papua Ancam Eksistensi Masyarakat Adat

0
4917

Oleh: Sawit Watch, Walhi Papua dan Jubi Papua

PRODUKTIVITAS minyak sawit Indonesia relatif rendah. Peningkatan produksi CPO disebabkan oleh ekspansi yang terus meningkat, dari sekitar 6,5 juta hektar di 2006 menjadi 13,5juta  hektar pada tahun 2013 (Sawit Watch, 2013). Dengan ini, Indonesia mencatatkan dirinya sebagai negara yang memiliki luasan perkebunan sawit sekaligus penghasil minyak sawit terbesar di dunia.

Pada tahun 2013 menghasilkan lebih dari 26 juta ton minyak sawit mentah (CPO) (Dirjenbun, 2013). Dari jumlah ini, enam juta digunakan untuk kebutuhan dalam negeri, dan sisanya diekspor ke China, India, Uni Eropa, dan Amerika Serikat. Dari angka ini, sektor perkebunan sawit telah memberikan kontribusi yang cukup besar bagi devisa dan pendapatan negara. Tercatat pada tahun 2017 sektor ini berkontribusi lebih dari 18 Milyar USD atau setara dengan sektor Migas yang dalam periode yang sama ini juga menghasilkan sekitar 18 Miliar USD.

Di tingkat kebijakan, pemerintah masih memberikan peluang untuk melakukan ekspansi secara besar-besaran, seperti Peraturan Menteri nomor 26 tahun 2007 tentang pedoman perizinan usaha perkebunan (memperluas luasan izin dari 20.000 ha sampai 100.000 ha per perusahaan dalam satu provinsi untuk minyak sawit perkebunan) serta Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 14 tahun 2009 tentang pedoman penggunaan lahan gambut untuk budidaya kelapa sawit yang memungkinkan konversi lahan gambut semua hingga 3 meter untuk perkebunan kelapa sawit.

Tak hanya itu, sejak tahun lalu (2016) DPR RI telah menginisiasi draft RUU Perkelapasawitan yang akan semakin memberikan angin segar melalui berbagai insentif baik fiskal maupun non fiskal pada industri sawit untuk terus melakukan perluasan investasinya.

ads

Di sektor keuangan, kami mencatat beberapa lembaga keuangan dan perbankan telah siap untuk memberikan kredit untuk sektor perkebunan sawit ini, baik untuk sektor hulu maupun hilirisasi produk minyak kelapa sawit.

Dorongan besar ini terutama dipicu oleh peningkatan permintaan minyak nabati dunia, dimana sawit merupakan salah satu sumber minyak nabati yang paling ekonomis, baik dari segi produksi maupun pengolahannya. Selain itu, lebih dari 100 produk turunan bisa dihasilkan yang tidak hanya bagi kebutuhan pangan saja, namun kosmetik, pembersih, sampai dengan bahan bakar nabati. Maka tidak mengherankan jika posisi minyak sawit sangat sulit digantikan oleh sektor agro komoditas penghasil minyak nabati lainnya.

Euforia minyak sawit ini tidaklah dirasakan oleh semua pihak, dimana masyarakat adat dan masyarakat lokal tidak selalu menjadi pihak yang diuntungkan dalam sistem industri sawit ini. Posisi mereka terbilang cukup rentan, dimana benefit yang mungkin mereka dapatkan sangat minim dan lebih sebagai penerima trickle down effect atau tetesan kecil dari keuntungan besar dari sistem industri ini.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Wilayah Indonesia Timur, merupakan salah satu wilayah yang saat ini banyak menerima investasi sawit. Papua merupakan salah satu wilayah yang sampai sekarang ekspansi perkebunan kelapa sawit terus berkembang. Luasnya hutan Papua dan tingginya nilai keanekaragaman hayati membuat wilayah ini sebagai Rimba Tropis Utama. Hutan yang ada di Papua telah menjadi penyedia utama kehidupan bagi sedikitnya 1187 suku asli yang mendiaminya. Terbagi antara 312 suku asli di New Guinea bagian Barat (West Papua) dan 875 suku di Papua New Guinea (PNG).

Sayangnya, keberadaan hutan tropis di pulau ini terus menyusut seiring proses degradasi dan laju kerusakan hutan (deforestasi) yang terjadi dari waktu ke waktu. Data Pemerintah RI menyebutkan, pada 2005-2009 luas hutan Papua berkisar 42,22 juta hektar. Berselang tiga tahun kemudian (2011) mengalami degradasi hingga tersisa 30,07 juta hektar. Dengan rata-rata deforestasi di Papua berkisar 143.680 hektar per tahun. Sedangkan laju deforestasi di Provinsi Papua Barat per tahun rata-rata sebesar  293 ribu hektar atau 25 persen.

Hilangnya tutupan hutan di Papua, seiring dengan ekspansi perkebunan sawit yang ada di wilayah Papua. Data Pemerintah Provinsi Papua, menyebutkan bahwa luas perkebunan sawit di Papua saat ini adalah 958.094,2 ha (belum termasuk Papua Barat). Dari luasan ini dikuasai oleh 79 perusahaan perkebunan sawit yang tersebar di berbagai daerah seperti Merauke, Jayapura, Boven Digoel, Keerom, Sarmi, Waropen, Yahukimo, Nabire, Mimika dan Mappi. Dan luasan terbesar terdapat di Kabupaten Merauke dan Kabupaten Boven Digoel. Luasan perkebunan sawit ini akan terus bertambah mengingat ada keterbatasan lahan di wilayah lain seperti Sumatera dan Kalimantan, selain itu ada kebijakan yang akan memperluas perkebunan sawit di Papua mencapai 5 juta ha. Jika hal ini benar-benar terealisasi maka bukan tidak mungkin hutan dan segala keberagaman yang ada didalamnya akan hilang.

Situasi ini menimbulkan dilema besar, dimana di satu sisi Papua benar-benar membutuhkan rencana pembangunan dan investasi yang diharapkan mampu mengangkat penghidupan orang Papua agar dapat lebih meningkat dan sejahtera dengan bekerja di perkebunan sawit, baik sebagai buruh maupun sebagai petani plasma. Di sisi lain, ada kekhawatiran besar bahwa orang asli Papua hanya akan menjadi penonton karena tidak mampu untuk berpartisipasi dan terlibat dalam sektor industri ini.

Kekhawatiran tersebut terutama karena situasi ini akan memicu lompatan budaya yang sangat cepat, sehingga orang asli Papua tidak akan mampu untuk berakselerasi dan akan tertinggal jauh. Faktor utama adalah ketergantungan orang asli Papua terhadap alam dan hutan sebagai sumber penghidupan utama mereka.

Berbagai ungkapan orang Papua terhadap hutan dapat menunjukkan eratnya pola relasi ini, seperti alam dan hutan adalah ibu, alam dan hutan adalah gudang atau lumbung, yang mampu melindungi dan memenuhi kebutuhan orang Papua.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Hilangnya hutan dan alam beserta seluruh keanekaragaman hayatinya akibat perubahan fungsi atau konversi menjadi perkebunan sawit merupakan ancaman dan akan memicu terjadinya kerentanan yang luar biasa bagi orang asli Papua. Hilangnya hutan dan rawa dimana orang Papua biasa mendapatkan sagu sebagai sumber pangan (karbohidrat) utama, berburu untuk mendapatkan hewan buruan sebagai sumber protein utama, berbagai hasil hutan seperti rotan, kayu, nibung, dan lain sebagainya untuk kebutuhan sandang dan papan, serta sumber obat-obatan alam, akan secara signifikan menggerus kesejahteraan dan kualitas hidup orang asli Papua.

Jika dilihat secara lebih mendalam, ada beberapa faktor yang memicu dan menjadi faktor penyebab utama mengapa perkebunan sawit di Papua terus terjadi.

Pertama, minimnya pengetahuan orang asli Papua terhadap dampak dan konsekuensi dari pembangunan perkebunan sawit di tanah mereka, terutama terhadap status legal atas tanah adat mereka yang akan menjadi tanah negara setelah dibebani hak guna usaha.

Kedua, tidak adanya proses konsultasi serta pemberian informasi yang cukup baik dari investor (perusahaan) sebagai pemohon izin, maupun dari pemerintah sebagai regulator terhadap masyarakat adat atau orang asli Papua sebagai pemilik tanah adat.

Ketiga, manipulasi proses konsultasi dan sosialisasi serta kehadiran aparat keamanan yang seringkali diikuti dengan tindakan intimidasi terhadap masyarakat adat atau orang asli Papua merupakan situasi yang jamak terjadi.

Berbagai konflik yang terjadi antara orang asli Papua dengan perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi di Tanah Papua merupakan potret yang mengkonfirmasi hal diatas. Konflik tersebut tidak hanya terjadi belakangan ini, tetapi sudah sejak awal perkebunan sawit masuk, yaitu sejak periode 1982 saat PT Perkebunan Nusantara II masuk ke Manokwari dan Arso di Papua pada tahun 1992 yang tidak kunjung terselesaikan sampai kedua perusahaan ini dinyatakan bangkrut dan harus melelang aset-asetnya tahun ini.

Konflik tersebut meluas, saat Group Sinar Mas juga masuk dan beroperasi di Kabupaten Jayapura, Group Korindo di Kabupaten Merauke (yang sekarang menjadi bagian Kabupaten Boven Digoel), serta berbagai perusahaan sawit lain yang menyusul kemudian, seperti Group Menara di Kabupaten Boven Digoel, group perusahaan di Kabupaten Merauke, Group Rajawali di Kabupaten Keerom, Group Good Hope di Kabupaten Nabire, dan lain sebagainya.

Tuntutan Perbaikan Sistem Produksi dan Investasi Sawit

Menguatnya kesadaran publik, terutama di negara maju yang menjadi pasar dan konsumen dari produk minyak sawit yang dihasilkan, telah mendorong lahirnya berbagai inisiatif dari berbagai pihak untuk bersama-sama memperbaiki sistem produksi minyak sawit dalam seluruh rantai pasoknya. Salah satunya adalah Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) pada tahun 2004, dimana saat ini sudah memiliki lebih dari 3000 anggota serta pengakuan secara global sebagai sistem sertifikasi minyak sawit yang kredibel.

Baca Juga:  TETAP BERLAWAN: Catatan Akhir Tahun Yayasan Pusaka Bentala Rakyat 2023

Beberapa lembaga keuangan yang berinvestasi di sektor sawit, seperti International Finance Coorporation (IFC) anak bank dunia untuk pembiayaan sektor swasta, Rabbo Bank, HSBC, serta banyak bank dan lembaga keuangan lain seperti dana pensiun di beberapa negara maju lainnya telah menetapkan standar dan jaring pengaman untuk memastikan bahwa investasi yang mereka tanamkan tidak akan memberikan dampak buruk, baik terhadap lingkungan maupun terhadap masyarakat, terutama berkontribusi terhadap terjadinya pelanggaran HAM.

Lebih jauh, Perserikatan Bangsa Bangsa pada tahun 2011 telah mengesahkan Prinsip dan Panduan untuk HAM dan Bisnis yang menjadi panduan utama bagi Aktor Negara dan Sektor Privat untuk mengakui, mencegah, dan memberikan pemulihan terhadap pelanggaran HAM yang terjadi akibat aktivitas investasi dan bisnis.

Perkuat Peran Negara

Lahirnya berbagai inisiatif dari banyak pihak untuk memperbaiki investasi dan industri sawit ini seharusnya direspon positif oleh pemerintah sebagai aktor utama yang paling berkepentingan dalam menciptakan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat. Bahwa mendorong laju pertumbuhan dan investasi sebagai salah satu indikator stabilitas ekonomi dan pembangunan yang berjalan dengan baik memang penting, namun hal yang jauh lebih penting adalah menyiapkan masyarakat sebagai penerima dampak untuk dapat terlibat dan menerima manfaat dari proses pembangunan tersebut dalam jangka panjang dan berkelanjutan.

Ada beberapa tugas dan pekerjaan rumah besar bagi pemerintah, terutama dalam konteks Papua.

Pertama, segera melakukan inventarisasi, pemetaan, dan tata batas wilayah, baik administratif maupun adat di tanah Papua sebagai prioritas utama. Hal ini juga menjadi salah satu mandat dari putusan Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor 35/PUU-X/2012 dimana hutan adat bukanlah atau tidak lagi menjadi bagian dari kawasan hutan yang selalu merujuk pada entitas negara sebagai pemiliknya. Di sisi lain, proses ini juga akan menjamin keamanan dan kepastian investasi, serta meminimalisir terjadinya tumpang tindih antara izin konsesi dengan tanah adat.

Kedua, segera melakukan proses monitoring dan evaluasi izin dan konsesi perusahaan sawit yang sudah beroperasi selama ini untuk memastikan bahwa operasi perusahaan ini telah dilakukan telah sesuai dengan tata aturan serta standar yang berlaku.

Ketiga, mendorong pemerintah segera membentuk kelembagaan penyelesaian konflik tenurial (lahan) yang bersinergi dengan kelembagaan adat, untuk mengakomodir dan mengakselerasi proses penyelesaian konflik yang terjadi selama ini.

Keempat, tidak lagi mengeluarkan ijin dalam bentuk apa pun kepada perusahaan perkebunan kelapa sawit.

Narahubung:
Maryo Saputra (Sawit Watch) 085228066649
Aish Rumbekwan (Walhi Papua) 081344524394
Victor Mambor (Jubi Papua) 08114800982

Artikel sebelumnyaRakornas Asosiasi Studi Wanita Gender dan Anak akan Diadakan di Unhas
Artikel berikutnyaKematian Anak Papua Meningkat, Pater Neles: Tanggungjawab Bersama!