Kematian Anak Papua Meningkat, Pater Neles: Tanggungjawab Bersama!

0
4464

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — “Masalah kematian anak-anak di Tanah Papua mesti diseriusi oleh semua pihak.”

Harapan ini dikemukakan Pater Neles Tebai, ketua Sekolah Tinggi Filsafat Teologi “Fajar Timur” Abepura, Jayapura, menyusul tersiarnya beberapa waktu lalu kabar kematian 61 anak Papua di kabupaten Asmat akibat serangan campak dan gizi buruk.

Sebenarnya tidak hanya kali ini. Menurut dia, kematian banyak anak Papua juga terjadi pada tahun 2017. Sejak April hingga Juli 2017, sebanyak 50 balita di Distrik Tigi Barat, Kabupaten Deiyai, meninggal dunia.

Sesudah itu, sejak Juli hingga Oktober 20176, sebanyak 35 anak Papua meninggal di kampung Yigi, Distrik Inikgal, Kabupaten Nduga. Dan, pada tahun-tahun sebelumnya pun terjadi kematian anak Papua dalam jumlah yang banyak.

Pater Neles dalam artikelnya mengulas, kasus-kasus kesehatan itu memperlihatkan bahwa anak-anak Papua sangat rentan terhadap penyakit. Sehingga kematian dalam jumlah yang besar dapat saja terjadi pada orang Papua kapan saja di semua kabupaten di Provinsi Papua dan Papua Barat. Maka, masalah kematian anak Papua tidak boleh dipandang remeh.

ads

Selama ini, lanjut Pater Neles, pemerintah selalu dipandang sebagai satu-satunya institusi yang bertanggungjawab atas urusan kesehatan di Tanah Papua. Tentunya, pemerintah pusat, provinsi, dan kabupaten, dapat mengambil langkah tertentu.

Baca Juga:  Presiden Jokowi Segera Perintahkan Panglima TNI Proses Prajurit Penyiksa Warga Sipil Papua

“Tetapi, melimpahkan semua urusan kesehatan hanya pada pemerintah sama dengan melepaskan tanggungjawab dari pemangku kepentingan yang lain,” tulis Pater Neles.

Benar bahwa selama ini kekurangan dokter umum, dokter spesialis, mantri, Puskesmas yang jauh dari penduduk Papua, Puskesmas yang tidak ada perawatnya, Puskesmas yang tidak tersedia obat-obat yang dibutuhkan pasien, biaya transportasi yang mahal, terisolirnya kampung yang didiami orang Papua, dan rendahnya kesadaran oran Papua di kampung dalam hal hidup sehat, lingkungan kehidupannya yang kotor, dan lain-lain.

Menurut Tebai, berbagai alasan itu biasa dijadikan sebagai faktor-faktor penyebab bila terjadi kasus kesehatan yang besar yang menarik perhatian dari banyak pihak seperti masalah kesehatan sekarang di kabuparten Asmat.

“Orang Papua tidak boleh terus menerus mengulangi alasan-alasan ini. Orang Papua sudah harus pikir dan terlibat dalam upaya penanggulangan masalah kesehatan dan memajukan hidup sehat,” ujarnya sembari mengajak orang Papua mesti temukan solusi-solusi alternatif yang tepat-guna, sehingga tidak tergantung pada dokter, mantri, perawat, atau pihak-pihak lain dan orang Papua mesti memperlihatkan kemampuannya untuk memelihara kesehatannya sendiri, biarpun tidak ada dokter dan mantri.

Baca Juga:  PWI Pusat Awali Pra UKW, 30 Wartawan di Papua Tengah Siap Mengikuti UKW

Koordinator Jaringan Damai Papua (JDP) ini berharap, penanganan masalah kesehatan dan promosi hidup sehat di Tanah Papua mesti dipandang sebagai tanggungjawab dari setiap dan semua pemangku kepentingan, termasuk orang Papua.

Pemerintah bukan satu-satunya pemangku kepentingan di sektor kesehatan, melainkan salah satu dari antara pemangku kepentingan yang lain, antara lain pihak swasta seperti perusahaan-perusahaan yang mengeksploitasi kekayaan alam Papua, ada lembaga keagamaan, lembaga gereja, lembaga adat, dan kelompok-kelompok seperti kelompok perempuan dan pemuda.

“Semua pemangku kepentingan ini dapat memberikan kontribusi yang khas dalam menangani masalah kesehatan dan mempromosikan hidup sehat di antara orang asli Papua. Bahkan setiap pribadi mesti bertanggungjawab atas perkembangan kesehatannya,” ungkap Pater Neles.

Ia menyarankan, semua pemangku kepentingan mesti dilibatkan dalam mengurus kesehatan di Papua. Perlu dipertemukan secara bersama dalam pertemuan, dan dilibatkan dalam diskusi yang membahas tentang sektor kesehatan dan mencarikan secara bersama solusi-solusi yang dapat dilaksanakan.

“Dan tentunya, setiap pemangku kepentingan mempunyai peran yang berbeda, sehingga tugasnya dapat dibagi antara semua pemangku kepentingan sesuai peranan mereka masing-masing. Dengan demikian, mereka semua secara bersama berpartisipasi dalam mengurus kesehatan masyarakat di Tanag Papua,” tandasnya.

Baca Juga:  Asosiasi Wartawan Papua Taruh Fondasi di Pra Raker Pertama

Untuk mempertemukan semua pemangku kepentingan yang membahas sektor kesehatan, diharapkan dialog sektoral perlu dilaksanakan di setiap kabupaten. Dalam dialog sektoral, semua pemangku kepentingan yang berkompeten dan berpengalaman dalam urusan kesehatan diundang sebagai peserta dialog.

“Dialog tentang sektor kesehatan melibatkan pemerintah, pihak swasta, dan masyarakat. Para pesertanya diundang bukan untuk saling menuduh, menuding, dan mempersalahkan satu sama lain, melainkan untuk secara bersama mengidentifikasi dan menganalisa masalah serta menertapkan solusi secara bersama. Dengan melibatkan semua pemangku kepentingan, urusan kesehatan akan menjadi keprihatian dan tanggungjawab bersama dari semua pemangku kepentingan,” bebernya.

Wabah campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat awalnya diungkapkan Uskup Keuskupan Agats, Mgr. Aloysius Murwito. Sesuai laporan saat itu wabah terjadi sejak empat bulan telah merenggut puluhan orang.

Uskup Murwito mengakui kondisi kesehatan masyarakat di sana memang masih rendah kualitasnya, terutama terkait dedikasi petugas di lapangan.

Kata Uskup, pihak Keuskupan Agats telah melakukan pelayanan pendidikan dan kesehatan di sana sejak tahun 1950-an.

 

REDAKSI

Artikel sebelumnyaEkspansi Kelapa Sawit di Papua Ancam Eksistensi Masyarakat Adat
Artikel berikutnyaHarapan dan Tantangan Pembangunan di Dogiyai: Selesaikan Tapal Batas Antar Kabupaten (Bagian 4)