Warinussy: Pemerintahan Jokowi Abaikan Penyelesaian HAM di Papua

0
2704
Yan Christian Warinussy, direktur eksekutif LP3BH Manokwari, Papua Barat. (Ist/SP)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Direktur Eksekutif Lembaga Penelitian, Pengkajian dan Pengembangan Bantuan Hukum (LP3BH) Manokwari, Yan Christian Warinussy mengatakan, pemerintahan Jokowi abaikan penyelesaian pelanggaran HAM di Papua selama 2017. 

Menurut Warinussy, hal ini disebabkan karena pemerintahan Jokowi masih menunjukkan  wajah buram dan mengkhawatirkan dengan tidak menunjukkan adanya kemauan politik (political will) untuk mendorong proses penyelesaian berbagai kasus pelanggaran HAM yang Berat selama 50 tahun di Tanah Papua.

“Presiden Jokowi dan jajarannya tidak mampu memberikan jaminan hukum dan kepastian bahwa berbagai bentuk tindakan kekerasan aparat negara (TNI dan Polri) terhadap rakyat sipil di Tanah Papua akan berhenti dan atau tidak akan terjadi lagi dalam waktu saat ini maupun masa depan,” tegas Warinussy dalam siaran persi akhir tahun yang diterima suarapapua.com tidak lama ini.

Kata Warinussy, Indikatornya adalah 3 (tiga) kasus yang diduga keras merupakan pelanggaraan HAM yang Berat berkategori kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 huruf b dan pasal 9 UU No. 26/2000 Tentang Pengadilan HAM.

“Ketiga kasus tersebut adalah dugaan pelanggaran HAM yang Berat dalam kasus Wasior-Kabupaten Teluk Wondama-Provinsi Papua Barat tahun 2001, kasus Wamena-Kabupaten Jayawijaya-Provinsi Papua tahun 2003 dan kasus Lapangan Karel Gobay, Enarotali-Kabupaten Paniai-Provinsi Papua tanggal 8 Desember 2014,” ungkap warinussy.

ads

Ia mengatakan, untuk kasus Wasior dan Wamena, meskipun Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) sudah melakukan tugas penyelidikan sesuai amanat Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Namun belum jelas bagaimana kelanjutan proses hukum kedua kasus pelanggaran HAM Berat tersebut dapat diselesaikan oleh negara melalui Kejaksaan Agung dan Pengadilan HAM yang dibentuk sesuai amanat undang undang.

Baca Juga:  Kronologis Tertembaknya Dua Anak Oleh Peluru Aparat di Sugapa, Intan Jaya

Untuk kasus Paniai 2014, kata dia, Tim Ad Hoc Komnas HAM sudah mendengar keterangan sesuai proses hukum dari sejumlah anggota Polri di lokasi kejadian perkara atas akses dari Kapolri.

“Tapi Tim Ad Hoc Komnas HAM sama sekali belum memperoleh akses dari Panglima TNI untuk dapat mendengar keterangan dari para anggota Paskhas TNI AU yang bertugas saat kejadian 8 Desember 2014 di sekitar lapangan Karel Gobay, Enarotali tersebut,” katanya menagih janji Jokowi untuk selesaikan pelanggaran HAM di Papua.

Disebutkan, sepanjang tahun 2017, beberapa kali Presiden Jokowi datang berkunjung ke Tanah Papua, baik di Provinsi Papua maupun Papua Barat, tapi sayang sekali Kepala Negara ini hanya memfokuskan dirinya pada mengutamakan pembangunan kesejahteraan dan infrastruktur belaka tanpa mau sedikitpun menyentuh akar masalah  yang senantiasa menjadi sumber konflik di Tanah Papua.

Lebih lanjut ia menjelaskan, dalam kasus Tembagapura pada Oktober dan November 2017 dimana sedikitpun Presiden Jokowi tidak terlibat dalam mengupayakan penyelesaian secara damai atas kasus yang kemudian disebut sebagai penyanderaan oleh aparat keamanan (TNI dan Polri) sedangkan masyarakat sipil dan TPN OPM menyebutnya bukan penyanderaan tapi penyekapan atau pengisolasian.

Untuk kasus tersebut, pada akhirnya institusi TNI melalui mantan Panglima Jenderal Gatot Nurmantyo memberikan penghargaan bagi para prajuritnya yang terlibat dalam operasi pembebasan sandera, sementara Negara melalui Presiden tidak nampak dalam hal tersebut.

Baca Juga:  Pelaku Penyiksaan Harus Diadili, Desakan Copot Pangdam Cenderawasih Terus Disuarakan

Pembatasan Ruang Demokrasi Masih Berlaku

Untuk ruang demokasi, kata Yan, pembatasan terhadap kebebasan berekspresi dan berpendapat dan berkumpul serta berserikat sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 Undang Undang Dasar 1945 di Tanah Papua sangat meningkat dalam 5 (lima) tahun terakhir ini.

Dimana setiap saat ketika para mahasiswa dan pemuda Papua serta organisasi HAM seperti LP3BH hendak melakukan aksi-aksi damai guna mengenang peristiwa-peristiwa pelanggaran HAM di Tanah Papua.

“Aparat keamanan dari TNI dan Polri, khususnya intelijen sudah melakukan pengintaian dan infiltrasi untuk memantau segenap rencana aksi damai yang secara hukum sudah ditempuh prosedur sesuai amanat Undang Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kebebasan Menyampaikan Pendapat Di Muka Umum,” jelasnya.

Ia menyebutkan, di beberapa kota besar di luar Manokwari seperti di Jayapura Merauke, Wamena, Nabire, Biak dan Sorong serta Fakfak, sepanjang tahun 2017 tercatat lebih dari 300 orang ditangkap dan ditahan serta dimintai keterangan oleh aparat keamanan/penegak hukum dari Polri setelah aksi damainya dibubarkan secara paksa.

Sementara itu, pada tingkat internasional di level Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) baik di Sidang Dewan HAM PBB di Jenewa-Swiss maupun di Sidang Majelis Umum PBB di New York-Amerika Serikat pada bulan September dan Oktober 2017.

“Justru masalah pelanggaran HAM di Tanah Papua berkategori kejahatan genosida (the crime of genocide) dan kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) menjadi isu yang hangat dibahas dan didorong langkah penyelesaiannya dengan melibatkan PBB sebagai fasilitator,” katanya.

Dikatakan, negara-negara dari kawasan Pasifik seperti Vanuatu, Kepulauan Solomon, Tuvalu, Nauru dan St.Vincen and Grenadines dari kawasan Karibia secara bergantian mengangkat isu pelanggaran HAM di Tanah Papua sepanjang lebih dari 50 tahun disertai kekhawatiran mereka terhadap ancaman kepunahan etnis ras Melanesia di atas Bumi Cenderawasih tersebut dalam beberapa tahun mendatang apabila PBB tidak mengambil sikapnya.

Baca Juga:  Konflik Horizontal di Keneyam Masih Berlanjut, Begini Tuntutan IPMNI

Selain itu, Kepulauan Solomon melalui juru bicaranya Barret Salato di depan Sidang Dewan HAM PBB sempat menawarkan proposal agar PBB terlibat dalam memfasilitasi terjadinya dialog konstruktif dalam menyelesaikan pelanggaran HAM di Tanah Papua dengan mempertemukan Pemerintah Indonesia dan Orang Asli Papua (OAP).

“LP3BH melihat bahwa proses penyelesaian persoalan pelanggaran HAM di Tanah Papua sepanjang lebih dari 50 tahun sejak 1962-saat ini tidak bisa lagi diselesaikan melalui mekanisme hukum nasional Indonesia semata, tapi sudah saatnya dipertimbangkan untuk menggunakan mekanisme hukum internasional dengan melibatkan PBB,” tegas Warinussy.

Dengan demikian, LP3BH merasa sangat relevan dan urgen untuk PBB dapat segera mengirimkan Pelapor Khusus (Special Rapporteur) dalam aspek/bidang kejahatan terhadap kemanusiaan (crimes against humanity) serta kebebasan berekspresi dan berpendapat (freedom of expretion and speech) dan kebebasan berkumpul dan berserikat (freedom of assembly and unity) serta anti penyiksaan untuk berkunjung ke Tanah Papua dalam tahun 2018.

Katanya, kunjungan para pelapor khusus PBB ini amat diperlukan dan mendesak dilakukan di tahun 2018 sebagai ajng penting untuk mendorong dilaksanakannya langkah-langkah penyelesaian dugaan pelanggaran HAM yang Berat sepanjang lebih dari 50 tahun di Tanah Papua pada tingkat internasional.

Pewarta: Arnold Belau

Artikel sebelumnyaLP3BH: 2017 Penegakkan Hukum di Papua Barat Berjalan di Tempat
Artikel berikutnyaPapua Nugini Tuan Rumah KTT MSG Bulan Depan