ArtikelMonoloyalitas Pemerintahan di Paniai

Monoloyalitas Pemerintahan di Paniai

Oleh: Mikael Tekege

Persoalan dalam berjalannya roda pemerintahan di Indonesia masih hangat dibicarakan hingga kini, karena sejak era reformasi masih dapat dijumpai penyimpangan dalam bentuk atau gaya yang baru. Konteks ini terjadi hampir seluruh Indonesia, terutama di Papua pada umumnya dan lebih khusus di Kabupaten Paniai. Penyimpangan membuat masyarakat kian menjauh dari pemerintah daerah (Pemda). Kepercayaan masyarakat terhadap Pemda mengalami degradasi. Dalam konteks tersebut, tentu sangatlah sulit untuk menjalankan kebijakan pembangunan di daerah.

Penyimpangan yang dimaksud dapat dijelaskan secara singkat dalam pembahasan berikut. Namun, untuk memperjelas melihat penyimpangan tersebut, maka penulis merasa penting untuk menguraikan secara singkat mengenai seruan reformasi, juga tujuan pemberlakuan desentralisasi dan otonomi daerah serta Otonomi Khusus bagi Papua.

Seruan Reformasi

Setelah Soeharto berhasil dilengserkan dari jabatannya sebagai presiden pada tahun 1998, Indonesia memasuki era reformasi untuk memperbaiki setiap sektor kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Menurut Taufik Abdullah (1999:48) dalam buku berjudul “Refleksi Agenda Reformasi”, ada tiga dimensi yang perlu diperbaiki, yakni: Pertama, perbaikan terhadap semua penyimpangan yang terjadi. KKN dan pelanggaran HAM yang bermacam-macam corak itu termasuk dalam dimensi pertama ini. Kedua, penghapusan segala faktor, baik yang berupa hukum serta kelembagaan, maupun sistem politik, yang telah memungkinkan penyimpangan itu terjadi. Dan ketiga, peletakan dasar baru dari kehidupan kenegaraan.

Sebagai upaya lebih lanjut dari ketiga dimensi tadi, Indonesia telah memberlakukan desentralisasi dan otonomi seluas-luasnya di seluruh daerah Nusantara melalui Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan prakarsa masyarakat, dengan tujuan mendekatkan masyarakat pada pemerintah, mempermudah efektifitas pelayanan publik, membina kehidupan berdemokrasi di aras lokal, dan sebagainya.

Berdasarkan beberapa pertimbangan, baik dari aspek sosio-kultur, ekonomi dan politik, maka beberapa provinsi diberlakukan otonomi khusus, seperti Daerah Khusus Ibukota (DKI) Jakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Aceh dan Papua. Status Otonomi Khusus bagi Papua melalui UU Nomor 21 Tahun 2001 telah mengamanatkan: Pertama, kebijakan dan aksi keberpihakan (affirmative policy and action) terhadap orang asli Papua. Kedua, kebijakan dan aksi perlindungan (protective policy and action) terhadap orang asli Papua. Ketiga, kebijkan dan aksi pemberdayaan (empowermental policy and action) terhadap orang asli Papua.

Bagaimana implementasinya? Jujur saja bahwa dalam implementasinya masih jauh dari harapan dan tujuan reformasi serta pemberlakuan otonomi daerah dan atau otonomi khusus.

Tak kurang dengan pendapat Taufik Abdullah (1999:48) bahwa seruan reformasi bukan saja memberi kesan seakan-akan menjadikan masalah “gawat darurat” kurang penting, malah seperti dulu juga telah pula mulai menaburkan benih “dendam sejarah”. Sementara itu, suara dari kalangan DPR dan TNI memberi kesan seakan-akan hanya tertarik pada faktor-faktor yang memungkinkan segala penyimpangan itu terjadi.

Di Papua, terlebih khusus di Kabupaten Paniai, dalam memaknai amanat Otsus tersebut memberikan cerita yang berbeda. Perbedaan itu terletak pada manajemen birokrasi itu sendiri yang sangat membingungkan sekaligus membosankan, bahkan menjauhkan masyarakat dari keberadaan pemerintah itu sendiri.

Bisa disaksikan bagaimana sistem pemerintahan dijalankan di sana. Hal ini terjadi karena pemerintahan yang ada di daerah ini telah membentuk monoloyalitas pemerintahan hingga tercipta peluang terjadinya penyimpangan yang tentu mengorbankan kepentingan masyarakat. Terjadinya penyimpangan dalam birokrasi di Paniai dapat terlihat jelas dengan kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh pemerintah di daerah ini.

Masalah pelayanan publik semua instansi di kabupaten Paniai masih sangat jauh dari harapan. Pelayanan yang diberikan kepada masyarakat selalu disertai dengan istilah, seperti: Tunggu Bos, Uang Administrasi plus Tanda Tangan, Ini Masa Otsus, dan sebagainya. Sementara di kalangan pemerintah saling melayani antara Bawahan dan Atasan, sedangkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) sebagai mitra kerja Pemda sangat mandul.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Konteks tersebut dapat dijelaskan secara singkat pada bagian berikut ini.

Istilah “Tunggu Bos”

Istilah “Tunggu Bos” sudah tidak asing dalam berjalannya roda pemerintahan di Kabupaten Paniai. Istilah ini diungkapkan ketika masyarakat membutuhkan pelayanan, misalnya mengurus surat-surat, seperti Kartu Tanda Penduduk (KTP), Kartu Keluarga, Akta Kelahiran, dan sejenisnya selalu dikatakan Tunggu Bos. Pertanyaan kemudian adalah bosnya ke mana? Bukankah bos itu harus ada di kantor?

Kalau bos ada urusan dinas keluar daerah, seharusnya memberikan kepercayaan kepada bawahan supaya masyarakat yang membutuhkan pelayanan dari pemerintah mudah dapat terlayani dengan baik. Akibatnya bawahan tidak memiliki pekerjaan di kantor, sehingga kerjaan mereka hanya hitung togel (toto gelap) di ruang kerja, bercerita bahkan tidak masuk kantor. Hal ini terjadi mungkin karena tidak ada kepercayaan antara atasan dan bawahan, sehingga kepentingan pelayanan publik dikorbankan dengan istilah Tunggu Bos. Contoh dampak, surat yang seharusnya bisa jadi dalam sehari harus memakan waktu satu minggu bahkan dua atau tiga minggu.

Seharusnya pelayanan pemerintah kepada masyarakat dapat didahulukan sebagaimana tujuan kehadiran pemerintah di tengah kehidupan masyarakat. Persoalan yang ada dalam instansi atau dinas antara atasan dan bawahan tidak boleh mempengaruhi kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, persoalan apa pun yang mengganggu pelayanan masyarakat harus dapat dicarikan solusinya.

Karena konteks ini secara tidak langsung pemerintah menjauhkan diri dari keberadaan masyarakat. Akibat dari pelayanan publik yang ambiguitas ini membentuk pemahaman masyarakat yang sangat keliru bahwa keberadaan pemerintah hanya mempersulit kepentingan masyarakat. Seperti kalimat yang biasa diungkapkan oleh kebanyakan masyarakat di Paniai sebagai ungkapan kekecewaan mereka bahwa “Tanpa Pemerintah, Kitong Bisa Hidup”.

Ungkapan seperti itu memberikan gambaran kepada kita bahwa masyarakat sudah tidak peduli bahkan menganggap pemerintah sudah tidak ada. Akhirnya aspirasi untuk menuntut hak masyarakat yang menjadi kewajiban bagi pemerintah yang harus dipenuhi dibiarkan begitu saja.

Jangankan masyarakat awam, orang terpelajar terutama mahasiswa saja tidak menjalankan fungsinya sebagai agent of social control. Begitu juga DPRD yang memiliki tugas secara legal formal untuk mengontrol berjalannya roda pemerintahan saja tidak dijalankan dengan baik, bahkan selalu tutup mulut.

Akhirnya semua menjadi serba bebas, sehingga bisa mengatur berjalannya roda pemerintahan secara sewenang-wenang. Aturan hukum yang berlaku untuk mengatur berjalannya dinamika pemerintahan hanya sebagai formalitas yang tidak didukung oleh implementasi yang baik. Konteks ini telah membudaya dalam berjalannya roda pemerintahan di Paniai.

Istilah “Uang Administrasi”

Ketika masyarakat mengurus surat-surat di perkantoran, selalu diminta uang untuk biaya administrasi. Uang untuk biaya administrasi ini bisa dapat dimaklumi ketika biayanya masih bisa dijangkau oleh masyarakat, karena surat-surat seperti itu kebanyakan diurus oleh masyarakat.

Di Kabupaten Paniai, biaya administrasi paling kecil Rp50.000, sehingga kebanyakan masyarakat mengeluh dan mempertanyakan biaya administrasi yang mahal itu. Para petugas pemerintah (pegawai) selalu menjawab istilah “Ini Masa Otsus”, sehingga bebas menentukan berapa besar biaya administrasi. Akhirnya, masyarakat menganggap benar dan rela membayar karena memang membutuhkan surat-surat tersebut hingga terbiasa.

Dalam situasi tersebut, tidak ada orang yang berani mempertanyakan demi menegakan aturan yang berlaku dalam sistem pemerintahan, terutama sektor pelayanan publik. Karena telah lama terbiasa dengan situasi seperti itu, sehingga butuh waktu yang cukup lama untuk membongkar segala penyimpangan yang terjadi ini. Sebab dalam hal melakukan penyimpangan ini, didasarkan pada dinasti birokrasi yang dibangun, sehingga saling menutupi kesalahan atau penyimpangan yang terjadi dalam pemerintahan itu sendiri.

Tidak ada tempat bagi masyarakat untuk mengadu. DPRD yang dianggap bisa mendengar keluhan masyarakat dan mengontrol berjalannya roda pemerintahan sudah tidak punya gigi, sehingga semua serba bebas. Akhirnya kebanyakan orang terbawa arus dengan situasi tersebut.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Istilah  “Ini Masa Otsus”

Istilah “Ini Masa Otsus” sering diungkapkan oleh pemerintah daerah Paniai. Istilah ini diungkapkan ketika berhadapan dengan orang yang tahu tentang tugas pelayanan pemerintah seperti hanya mengurus KTP atau surat lainnya harus dibilang tunggu bos, minta uang administrasi, uang pengetikan, uang tanda tangan dan sebagainya.

Ini seharusnya tugas dan kewajiban pemerintah secara legal formal yang menjadi hak masyarakat yang harus dipenuhi, tetapi perlu tunggu bos, bayar uang ini, uang itu dan sebagainya. Akhirnya istilah “Ini Masa Otsus” menjadi argumen yang tidak bisa dibantah oleh siapapun dan atas nama apapun.

Seperti juga kasus pengangkatan kepala kampung yang seharusnya dipilih oleh masyarakat di kampung yang bersangkutan sesuai dengan amanat  UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa dan juga yang disebutkan pada Pasal 40 PP 43/2014 tentang Pemilihan Kepala Desa. Tetapi menjadi haknya Bupati untuk mengangkat sejumlah kepala kampung. Tidak ada yang berkomentar, cukup hanya dengan istilah “Ini Masa Otsus”.

Sekalipun orang terpelajar mengetahui sekelumit penyimpangan yang berkaitan dengan pelayanan pemerintah dengan beberapa istilah yang tidak masuk akal ini dalam berjalannya roda pemerintahan, tetapi karena telah terbiasa dengan sikap berdiam diri, sehingga membiarkan begitu saja. Bahkan ada yang terbawa arus dengan situasi yang ada.

Sementara dari dalam birokrasi tidak ada yang terpanggil dan tergerak hatinya untuk membongkar segala penyimpangan yang terjadi dalam birokrasi tersebut karena takut dicopot jabatannya. Bisa jadi juga karena birokrasi dibangun itu bersifat dinasti (nepotisme), sehingga saling menutupi segala penyimpingan demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.

Istilah “Ini Masa Otsus” ini membingungkan Penulis juga tidak mengerti. Pemda mengartikan Otsus itu seperti apa? Apakah Pemda mengerti dan memahami isi dan amanat Otsus atau tidak?

Berangkat dari kedua pertanyaan di atas ini bahwa istilah “Ini Masa Otsus” diungkapkan kepada masyarakat untuk menipu mereka berarti sangat tidak mendidik dan membodohi masyarakat. Tetapi, kalau diungkapkan kepada orang terpelajar yang mengerti dan memahami isi dan amanat Otsus, maka sangat lucu bercampur sedih. Lucu karena ungkapan seperti itu secara tidak langsung menunjukan sebuah bentuk kebodohan. Dan sedih karena kapasitas pemerintah yang hanya mampu untuk membohongi masyarakat yang memang pengetahuannya terbatas, sehingga dianggap benar. Padahal ungkapan seperti itu telah mengorbankan masyarakat yang memiliki hak untuk dilayani yang menjadi kewajiban bagi pemerintah daerah.

Monoloyalitas Pemerintahan

Berangkat dari uraian singkat pada beberapa istilah tadi, telah memberikan gambaran kepada kita bahwa pelayanan pemerintah kepada masyarakat tidak berjalan secara optimal hingga membentuk monoloyalitas pemerintahan. Monoloyalitas pemerintahan adalah setia pada satu orang atau penguasa. Atau dengan kata lain, bawahan layani atasan. Maunya atasan harus dilayani oleh bawahan, sementara bawahan ada yang sangat loyal melayani atasan. Dan ada juga melayani atasan karena takut gajinya dipotong dan atau jabatannya dicopot.

Pelayanan yang tumpul ke bawah dan tajam ke atas ini telah dan sedang membunuh karakter bawahan karena diperbudak berdasarkan otoritas, sehingga mereka bekerja selalu berpatokan pada kekuasaan dan kekayaan. Bukan berpatokan pada tugas pelayanannya.

Jabatan kepala bidang dan seksi tidak ada gunanya di Kabupaten Paniai. Apalagi staf biasa, karena mereka tidak diberikan kepercayaan untuk menjalankan tugas di kantor, terutama pelayanan publik.

Keberadaan bawahan ini hanya sebagai manusia robot yang digerakkan oleh atasannya. Karena itulah yang membuat bawahan kadang tidak masuk kantor. Mereka yang datang di kantor pun karena tidak ada kerjaan, hitung Togel di ruang kerja, duduk berkelompok lalu bercerita dan pulang setelah satu jam di kantor. Di sinilah berlakunya istilah tunggu bos sebagaimana diuraikan di atas.

Dalam konteks tersebut, masyarakat semakin menjauh dari pemerintah, sementara pemerintah tidak merasa memiliki tugas dan tanggungjawab sedikit pun untuk melayani masyarakat, membina kehidupan demokrasi lokal dan sebagainya, sehingga bisa diatur sekehendak hatinya berdasarkan istilah “Ini Masa Otsus”.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Segala penyimpangan yang terjadi itu, sekalipun diketahui oleh masyarakat, namun tidak dipersoalkan bahkan legislatif yang mengawasi dan mengontrol berjalannya roda pemerintahan selalu tutup mulut karena kapasitasnya terbatas. Masyarakat semakin bingung dan bertanya: yang mengontrol dan yang dikontrol siapa? Akhirnya semua kalangan pun terbawa arus dengan situasi tersebut hingga terbiasa.

DPRD Mandul

DPRD merupakan pemegang kekuasaan legislatif (pembuat UU, Perda atau legislasi) dan posisinya terpisah dari eksekutif. DPRD menjalankan paran dan fungsi kontrol kepada pemerintah atas pelaksanaan UU/Perda, bahkan bisa menjatuhkan pimpinan daerah (impeachment atau mosi tidak percaya).

Bisa terjadi masalah atau persoalan dalam roda pemerintahan, jika parlemen tidak menjalankan fungsinya dalam rangka check and balances (keseimbangan). Oleh karena itu, agar roda pemerintahan dapat berjalan dengan baik, maka fungsi DPRD terutama kontrol roda pmerintah daerah emda harus dapat dimaknai secara baik.

Begitu pun dengan DPRD Kabupaten Paniai, harus mengemban fungsi sebagaimana diuraikan sebelumnya. Namun, realitasnya, kata DPRD ini terdengar hanya pada saat kampanye politik bersama sejuta janji manis demi merebut dukungan suara dari masyarakat. Setelah pemilihan dan menduduki kursi legislatif, DPRD hilang jejak (makan di mana, tidur di mana dan tinggal di mana), apalagi menjalankan tugas dan fungsinya, terutama fungsi kontrol kepada pemerintah.

Tidak berjalannya fungsi kontrol kepada pemerintah, penulis melihat dari dua sisi yang berbeda. Pertama, karena DPRD tidak memiliki kapasitas dalam menjalankan fungsinya; kedua, DPRD karakter uang, sehingga fungsi kontrol dimatikan dengan Uang Tutup Mulut.

Konteks ini memberikan gambaran kepada kita bahwa DPRD dan pemerintah saling menguntungkan, sehingga masyarakat menjadi korban dengan beberapa istilah bodoh sebagaimana diuraikan di atas.

Namun, kesalahan bagi masyarakat dalam hal tidak berjalannya fungsi DPRD ini adalah tidak selektif dalam memilih wakil mereka. Karena perilaku memilih masyarakat juga ikut menentukan terbentuknya parlemen yang berkualitas dalam menjalankan fungsinya. Tetapi di sisi lain, masyarakat juga telah dibiasakan dengan praktik money politic (politik uang) dari elit politik lokal, sehingga sulit bagi masyarakat untuk memilih DPRD yang berkualitas. Dalam konteks tersebut pemahaman dan pendidikan politik bagi masyarakat sangat diharapkan agar kedepan masyarakat tidak salah memilih wakil mereka.

Kesimpulan dan Refleksi

Berangkat dari berbagai penyimpangan dalam berjalannya roda pemerintahan di Kabupaten Paniai, sebagaimana diuraikan secara singkat diatas ini dapat ditarik kesimpulan bahwa pemerintah dan DPRD saling menguntungkan, sementara masyarakat dikorbankan.

Segala penyimpangan terus terjadi begitu saja hingga akhirnya masyarakat pun terbiasa dengan situasi tersebut. Dalam konteks ini tidak ada orang yang berani membongkar segala penyimpangan tersebut.

Situasi ini masih sangat jauh dari tujuan kehadiran pemerintah, seruan reformasi dan juga tujuan pemberlakuan desentralisasi, otonomi daerah serta Otsus bagi Papua. Masa Otsus itu oleh pemerintah daerah Paniai dimaknai sebagai kesempatan untuk melakukan penyimpangan secara sewenang-wenang. Seharusnya, itu tidak boleh terjadi!

Melihat kenyataan yang ada, akankah kita merubah situasi ini? Beranikah kita membongkar segala bentuk penyimpangan itu? Kalau mau berubah dan berani, kapan kita memiliki keberanian dan melakukan perubahan ke arah yang lebih baik? Atau kita membiarkan begitu saja dan menanti datangnya perubahan dari Tuhan?

Setidaknya beberapa pertanyaan ini menjadi bahan refleksi buat kita bersama, terutama bagi masyarakat di daerah mana pun yang turut korban dalam segala penyimpangan yang terjadi dalam berjalannya roda pemerintahan. Sebagai masyarakat yang dikorbankan, perlu mendiskusikan segala penyimpangan tersebut untuk membangun pemahaman bersama agar kedepan bisa mengontrol kepada pemerintah demi terciptanya perubahan ke arah yang lebih baik.

)* Penulis adalah aktivis, salah satu penulis buku “Anomali Negara, Kawin Paksa Burung Garuda dengan Cenderawasih”

Terkini

Populer Minggu Ini:

Kepala Suku Abun Menyampaikan Maaf Atas Pernyataannya yang Menyinggung Intelektual Abun

0
“Kepala suku jangan membunuh karakter orang Abun yang akan maju bertarung di Pilkada 2024. Kepala suku harus minta maaf,” kata Lewi dalam acara Rapat Dengar Pendapat itu.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.