Deforestasi di Papua, APM Diduga Merambah Hutan Cagar Alam

0
4294

JAYAPURA, PUSAKA.or.id/SUARAPAPUA.com — Perusahaan perkebunan kelapa sawit PT. Agrinusa Persada Mulia (APM) yang beroperasi di daerah Bupul dan Muting, Kabupaten Merauke, Papua, diduga melakukan perambahan hutan kawasan Cagar Alam (CA) Bupul.

Hal ini disampaikan tokoh masyarakat adat setempat dan pemilik tanah, Bonefasius Basik-basik.

“Perusahaan masuk babat hutan lindung (CA Bupul) dalam wilayah adat kami di daerah bernama Kali Is dan Onggat. Hutan dibuka sudah sejauh dua kilometer,” jelas Bonefasius.

Pasifikus Anggojai, Kepala Kampung Bupul, Distrik Eligobel, Kabupaten Merauke, membenarkan adanya kejadian perambahan hutan yang terjadi semenjak Januari 2018 lalu. Sejauh ini belum ada informasi resmi dari pemerintah maupun Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Papua terhadap kejadian tersebut.

“Kami sendiri Marga Kewamijai sebagai pemilik tanah adat, tidak pernah diinformasikan dan baru mengetahui kejadian tersebut dari warga,” kata Pasifikus.

ads

Bonefasius dan anggota marga pemilik tanah lalu bertindak menegur operator perusahaan PT. APM agar menghentikan kegiatan pembongkaran dan penggusuran hutan tersebut.

“Ketika kami tanyakan mengapa perusahaan membongkar hutan itu, alasan operator perusahaan tidak tahu jika itu hutan lindung dan milik masyarakat,” kata Bonefasius.

Kini warga memasang palang pelarangan pembukaan hutan di lokasi yang baru dibuka. Bonefasius mewakili Marga Kewamijai menjelaskan, kawasan hutan yang dibongkar itu tidak termasuk dalam kesepakatan pemberian hak atas tanah untuk PT. APM yang ditandatangani pada 2013 lalu.

Kejadian pembongkaran hutan tanpa ijin dan persetujuan pemilik tanah Marga Kewamijai juga terjadi pada 2017 lalu. Operator perusahaan beralasan yang sama “salah gusur” dan hanya menjalankan perintah. Padahal, operator perusahaan tahu kalau lokasi tersebut adalah areal perkebunan PT. APM dan tidak pernah berkonsultasi dengan masyarakat adat.

Akibat kesalahan tersebut, Marga Kewamijai memberikan ganjaran denda adat dan menuntut PT. APM memberikan ganti rugi Rp2 Miliar.

Baca Juga:  TETAP BERLAWAN: Catatan Akhir Tahun Yayasan Pusaka Bentala Rakyat 2023

“Perusahaan menawar tuntutan masyarakat dan hanya membayar denda sebesar Rp 91.800.000, pada Desember 2017,” cerita Bonefasius.

Marga kecewa dengan nilai pembayaran denda masih dibawah jumlah yang dituntut masyarakat adat. Kini hutan yang hilang karena salah gusur sudah ditanami kelapa sawit.

Deforestasi dan Pengrusakan Dusun Pangan

Pembongkaran dan penggusuran hutan alam oleh PT. APM terjadi sejak 2017 hingga kini. Dalam peta citra satelit, PT. APM terlihat membongkar dan menggusur hutan alam di sekitar belakang Kampung Bupul, Distrik Eligobel, yang berbatasan dengan Cagar Alam Bupul.

Selain PT. APM, perusahaan kelapa sawit PT. Agriprima Cipta Persada (ACP), juga melakukan penebangan hutan di daerah Muting sejak 2017 hingga kini.

Pembabatan hutan alam ini dimungkinkan dan didukung oleh kebijakan pemerintah pusat. Pertengahan tahun 2017, Badan Koordinasi Penanaman Modal masih menerbitkan ijin prinsip pelepasan kawasan hutan kepada PT. ACP seluas 6.200 hektar. Komitmen pemerintah terkait moratorium sawit masih sekedar jargon politik dibandingkan menjalankannya.

Menurut warga setempat, aksi pembongkaran hutan kedua perusahaan ini telah menghilangkan hutan alam luas dan melanggar hak masyarakat. Misalnya masyarakat menuntut perusahaan tidak boleh membongkar, menggusur dan merusak kawasan dusun sagu, tempat penting sumber pangan masyarakat. Kenyataannya lain. Perusahaan juga menggusur kawasan hutan keramat yang disucikan oleh Suku Marind.

Bagi Suku Marind dan Suku Yeinan yang berdiam di sekitar lokasi perkebunan, kehilangan hutan dan dusun sagu, sama juga membunuh kehidupan masyarakat adat setempat karena tempat-tempat tersebut merupakan sumber hidup, mata pencaharian, makanan, obat-obatan, budaya dan sebagainya.

Tahun 2010, Bupati Merauke, menerbitkan Ijin Lokasi (IL) untuk PT. APM dan PT. ACP, masing-masing areal ijin lokasi PT. APM seluas 40.000 hektar, berlokasi di Distrik Muting dan Eligobel, sebagian besar lokasi dimaksud merupakan kawasan hutan produksi konveris (HPK) seluas 30.000 ha dan areal penggunaan lain (APL) seluas 10.000 ha, sedangkan areal ijin lokasi PT. ACP seluas 33.540 ha, berlokasi di Distrik Muting dan Ulilin, diketahui sebagian besar lokasi adalah kawasan HPK seluas 17.673 ha dan APL seluas 15.867 ha.

Baca Juga:  Demi Lindungi Tanah dan Hutan Adat Marga Woro, Hakim PTTUN Manado Segera Batalkan Putusan PTUN Jayapura

Sebagian besar areal perkebunan kedua perusahaan yang berstatus APL, berada pada kawasan hutan yang telah menjadi kawasan transmigrasi dan objek lahan usaha masyarakat. Menurut ketentuan Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2009 tentang Ketransmigrasian, bahwa kawasan transmigrasi adalah kawasan budidaya yang memiliki fungsi sebagai pemukiman dan tempat usaha masyarakat. (Pasal 1, ayat 4)

Semenjak tahun 2013, PT. ACP membongkar kawasan hutan di areal transmigrasi Muting dan PT. APM melakukan hal yang sama membongkar kawasan hutan di areal transmigrasi Eligobel pada tahun 2015. Tidak ada informasi pengalihan status kawasan transmigrasi tersebut menjadi usaha perkebunan dan milik perusahaan. Masyarakat peserta transmigrasi yang potensial dirugikan juga tidak mengerti dengan status tanah tersebut.

Meramaikan Komitmen Perkebunan Berkelanjutan

Kedua perusahaan PT. APM dan PT. ACP merupakan anak perusahaan AMS (Agro Mandiri Semseta/Ganda Group) yang dimiliki oleh Ganda Sitorus, saudara laki-laki dari Martua Sitorus, salah satu orang terkaya di Indonesia dan pemilik Wilmar Group.

Dari penelurusan didapat informasi status kepemilikan saham dari PT. APM dan PT. ACP ini yakni sebagian besar dimiliki oleh Fullest Holding Ltd sebesar 95% dan PT. Karya Agung Megah Utama (KAMU) sebesar 5%. Pemegang saham dan managemen perusahaan ini masih berhubungan dengan Ganda Sitorus, Mutiara Sitorus (saudara perempuan Martua Sitorus), Andi Indigo (anak dari Ganda Sitorus), dan Jacqueline Sitorus (anak dari Martua Sitorus).

Perusahaan AMS Ganda Group tidak mau ketinggalan dan turut meramaikan keriuhan komitmen perusahaan-perusahaan kelapa sawit untuk pembangunan perkebunan berkelanjutan. Dalam salah satu situs (www.https://job-like.com/company/168/) disebutkan visi perusahaan AMS menjadi salah satu perusahaan terkemuka dengan pengolahan terbaik dan memberikan keuntungan tinggi, dengan misi ramah lingkungan dan berkelanjutan. Misi ideal.

Baca Juga:  Warga Tiom Ollo Duduki Kantor Bupati Lanny Jaya Minta Atasi Bencana Longsor

Bagaimanapun AMS Ganda Group dengan puluhan anak perusahaan mempunyai banyak hutang masa lalu dan hingga kini yang mesti lunas dibayarkan untuk membuktikan pemenuhan misi dan citra tersebut. Kami mencatat beberapa anak perusahaan AMS Ganda Group yang masih mengandung masalah, misalnya konflik lahan, PT. Berkat Sawit Urama (Asiatic Persada) dengan Suku Anak Dalam di Jambi, PT. Jatim Jaya Perkasa yang merambah kawasan hutan di Riau, PT. Agro Alam Nusantara yang menyerobot lahan petani di Kubu Raya, Kalimantan Barat.

Di Merauke, perusahaan belum menyelesaikan konflik yang terjadi. Misalnya, Marga Mahuze Besar di Muting hingga kini masih mempunyai keluhan terhadap tanah dan hutan adat mereka yang dirampas dan tanpa kesepakatan luas anggota masyarakat. Terjadi ketegangan horizontal antara marga yang mengklaim sebagai pemilik tanah melibatkan Suku Marind dan Yeinan. Perusahaan nampaknya belum memiliki mekanisme untuk menangani konflik dan menanggapi keluhan warga.

Tahun 2017, hasil panen buah kelapa sawit dari kebun PT. ACP dibawa ke pabrik minyak kelapa sawit milik PT. Bio Inti Agrindo (BIA) di Distrik Ulilin, Merauke. PT. BIA adalah perusahaan modal asing, sebagian besar sahamnya dimiliki oleh Daewoo International, asal Korea Selatan.

Disebutkan dalam situs www.ptbia.co.id, PT. BIA berkomitmen terhadap lingkungan dan sosial, antara lain mengambil peran kepemimpinan dalam usaha minyak kelapa sawit berkelanjutan, melindungi serta menghormati hak pekerja dan masyarakat setempat.

Apakah komitmen ini juga mencakup dan berlaku pada perusahaan pemasok buah kelapa sawit, seperti PT. APM dan PT. ACP? Idealnya demikian, seluruh mata rantai usaha perusahaan sejalan dengan komitmen perusahaan.

Sumber: Yayasan Pusaka

Artikel sebelumnyaGerakan Oikumene di Tanah Papua Kutuk Dakwah Ustadz Fadlan Garamatan
Artikel berikutnyaKenapa Pejabat dari Tanah Papua Suka ke Jakarta?