ArtikelSinhanrata yang Berkaki di Bumi Papua

Sinhanrata yang Berkaki di Bumi Papua

Oleh : Yosef Rumaseb)*

Konflik bersenjata di Timika dan berita-berita ttg miras, narkoba, ganja, wabah, pertambangan ilegal, dan lain-lain menarik dikritisi.

Lenis Kogoya,  staf ahli Presiden, kepada Metro TV menjelaskan opininya bahwa konflik kekerasan di Timika merupakan ujud protes dari rasa “diperlakukan tidak adil” oleh penduduk lokal. Artinya, jika asumsi Pak Lenis benar, maka seharusnya pemerintah merespon kondisi di Timika bukan dengan senjata, tetapi dengan dialog untuk memecahkan masalah ketidak-adilan sosial.

***

Pada masa Tanah Papua menjadi Daerah Operasi Militer, korban-korban pelanggaran HAM adalah korban kekerasan aksi militer (human right violence). HAM OAP dilanggar dengan tudingan separatis OPM dan dibunuh, disiksa, dihilangkan atau dibui.

Pasca DOM, ada tudingan bahwa pemerintah melakukan pemusnahan etnik di Tanah Papua secara halus (slow motion genocide) melalui penyebaran berbagai penyakit seperti HIV/AIDS, malnutrisi, berbagai penyakit, wabah kelaparan, pendidikan yang buruk, penciptaan zona pengorbanan rakyat di wilayah investasi, beking terhadap ilegal mining dan ilegal logging, merubah pangan lokal menjadi pangan impor, membiarkan konflik horizontal berdarah adanya penyebaran narkoba dan zat adiktif yang merusak generasi muda (alkohol, aibon komix), dll. Tentu saja tudingan ini dibantah. Tetapi faktanya, hal-hal yang ditudingkan sebagai “slow motion genocide” itu sedang berlangsung. Dan dicurigai ada pembiaraan atau malah pada beberapa kasus dibeking oleh aparat.

Kita percaya pada penjelasan bahwa tidak ada slow motion genocide di Tanah Papua. Karena itu perlu identifikasi faktor penyebab yang bisa menjelaskan biang masalah ini dalam proses menemukan solusi. Sebuah penjelasan yang paling bisa menjelaskan fenomena yang dituding sebagai slow motion genocide itu adalah perang asimetris. Perang asimetris adalah perang tanpa melibatkan kekuatan fisik dan persenjataan militer. Aktor intelektualnya tidak jelas  dan eksekutor di lapangan pun bisa siapa saja.

Skenario perang asimetris bertujuan hancurkan 7 F yaitu Finance (Keuangan) antara lain bentuknya: ciptakan program-program kemiskinan, kuasai aset ekonominya, kuasai kekayaan alamnya. Foods (Pangan): melemahkan ketahanan-pangan. Films (Tayangan): kuasai aset informasinya, hancurkan moral rakyatnya. Fashion (Dandanan): membangun tren mode (pakaian, gaya rambut, dan make-up). Fantasi (Khayalan): menyebarkan narkoba dan miras. Faith (Keyakinan): ciptakan revolusi seks, rusak keluarga, buat aliran-aliran sesat, promosikan sekularisme sebagai ‘agama’ baru, hancurkan militansi rakyat melalui tokohnya. Friction (Perpecahan): ciptakan konflik ideologi, promosikan mulltipartai, kuasai sistem politik dan hukumnya, ciptakan revolusi. Alarm adanya perang asimetris secara sudah diingatkan beberapa tahun lalu oleh Panglima TNI dan buktinya mulai nampak sekarang.

Untuk melawan perang asimetris ini, kemanunggalan TNI – OAP (rakyat) diperlukan. Kemanunggalan TNI – rakyat merupakan buah dari filosofi “sinhanratta” atau “sistem pertahanan rakyat semesta yang melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan diselenggarakan secara total, terpadu, terarah, dan berlanjut untuk menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan segenap bangsa dari segala ancaman.

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

***

Ide harus menginjak bumi, kata Alm. Prof. Dr. Soedjatmoko ketika menjadi Rektor Univ PBB di Tokyo. Artinya, ide harus bisa diwujudnyatakan. Bagaimana filosofi (ide) “sinhanrata” bisa dibuat menginjak Bumi Papua?

Menurut saya, ada tiga opsi untuk membangun kemanunggalan TNI dengan Orang Asli Papua. Apakah hendak meneruskan pola pendekatan yang sedang  berlangsung di Kodam XVII Cenderawasih? Apakah hendak menjadikan pendekatan TNI di Kodam XVIII Kasuari sebagai model? Ataukah menjadikan Visi New Papua sebagai program TNI?

Menarik bahwa pada konteks sosial ekonomi dan politik di Tanah Papua yang riskan perang asimetris itu, institusi TNI menerapkan dua pendekatan dengan dua hasil yang berbeda antara di Provinsi Papua Barat dengan di Provinsi Papua. Di Provinsi Papua Barat  pimpinan TNI menempatkan Orang Asli Papua (OAP) sebagai pimpinan institusi TNI misalnya sebagai Pangdam XVIII Kasuari dan Komandan Kodim Manokwari. Sementara di Provinsi Papua, pimpinan institusi TNI bukan orang Papua. Hasilnya pun beda.

Contoh, Pangdam XVIII Kasuari Mayjen TNI Wayangkau menutup tambang ilegal di Papua Barat tahun 2017. Bandingkan dengan tambang ilegal yang dibiarkan bebas di Provinsi Papua misalnya di wilayah Suku Terasing Korowai sampai tahun 2018.

Penangkapan ribuan botol minuman keras di Manokwari (Papua Barat) oleh Intel Kodam Kasuari yang dimusnahkan. Bandingkan dengan penangkapan penyeludupan minuman keras menggunakan Hercules TNI AU thn 2017 di Wamena – Provinsi Papua oleh intel Polda yang kemudian tidak diberitakan apa tindak lanjutnya. Padahal Provinsi Papua sudah duluan mengumumkan Perda Anti Miras, tetapi penerapannya tersendat.

Pangdam XVIII mengakomodasi kepentingan ekonomi jangka panjang pemilik tanah ulayat lokasi Makodam XVIII Kasuari dengan mengalokasikan kompensasi tanah adat dalam bentuk cash dan in-kind. Kompensasi in-kind berupa pembangunan rumah kos atau ruko di lokasi strategis Makodam XVIII Kasuari bagi pemilik tanah merupakan aset ekonomi yang strategis dan memberi manfaat jangka panjang bagi masyarakat adat pemilik tanah. Bandingkan dengan lokasi sekitar Lapter Manuhua Biak yang sebentar lagi dibangun sebagai Koops-AU yang dipenuhi bangunan ruko tetapi mendapat protes dari masyarakat dan Pemda karena tidak memiliki IMB. Jangankan memberi manfaat untuk masyarakat adat, PAD untuk pemerintah daerah saja pun tidak.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Langkah bijak Pangdam XVIII Kasuari ini mendapatkan apresiasi dari masyarakat luas khususnya OAP. Banyak diskusi di medsos membahas keberhasilan ini sebagai bukti komitmen TNI untuk melindungi OAP sebagai WNI. Pada saat bersamaan diskusi tentang maraknya penjualan alkohol pada hal ada perda anti miras serta pembiaran penambangan ilegal yang merugikan masyarakat adat serta penguasaan aset ekonomi strategis oleh in-migrant di Provinsi Papua juga tidak kalah seru. Diskusi tentang keberhasilan TNI di Provinsi Papua Barat meningkatkan kemanunggalan TNI – OAP sementara diskusi tentang hal serupa di Provinsi Papua sebaliknya.

Ide lain untuk membangun kemanunggalan TNI – OAP adalah dengan menjadikan perjuangan OAP dalam perang asimetris di Tanah Papua menjadi agenda TNI. Ide ini timbul karena melihat respons positif berbagai kalangan OAP terhadap Visi New Papua yang diinisiasi Kapten TNI AD Audy Akwan. Sejauh yang saya ikuti, berbagai diskusi yang melibatkan anggota TNI dengan berbagai kalangan OAP (aktivis, politisi, intelektual, dll)  tentang permasalahan OAP selalu menyulut debat tanpa solusi. Hal ini berbeda, sangat jauh berbeda dengan diskusi mengenai Visi New Papua. Diskusi mengenai Visi New Papua, meski diinisiasi oleh anggota TNI, tetap saja menarik banyak respon positif. Bahkan Kapten TNI AD Akwan membuka satu WA Group untuk membahas Visi New Papua dan diskusi di WA Group ini bisa berlangsung nyaris 24 jam sehari.

Visi New Papua (VNP)  merupakan inisiatif cerdas yang kreatif dan solutif dari Kapten Infantri Audi M. Akwan,  seorang anggota TNI asal Papua yang saat ini bertugas di Rindam IM Banda Acheh. Kapten Akwan mendapatkan ide untuk menginisiasi lahirnya VNP dari pengamatannya terhadap implementasi UU Otsus Acheh yang sangat pro orang asli Acheh. VNP adalah hasil jangka panjang dari program afirmatif untuk pembangunan ekonomi berbasis SDM Papua untuk mengatasi ketidakadilan sosial bagi dan marginalisasi OAP. Termasuk pemberantasan miras, narkoba, aibon/komix, ilegal logging, ilegal mining, penyerobotan peluang ekonomi (proyek/APBD/kontrak), lapangan kerja, beasiswa, jabatan decision makers, dll.

Ada dua kendala dalam merealisasikan visi ini. Kendala pertama adalah kendala psikologis politik. Dalam berbagai diskusi tentang VNP di berbagai WAG tampak masih ada trauma psikologis. Ada ketakutan visi ini dianggap tabu (traumatis) karena bersifat afirmatif terhadap OAP.

Pada hal masalah ketidak-adilan sosial yang antara lain diakibatkan perang asimetris terhadap OAP adalah salah satu masalah yang saat ini jadi isu nasional. Dalam beberapa video Pidato Presiden Jokowi yang sedang viral, misalnya pidato di depan kader Partai Nasdem maupun pidato di depan para tokoh adat, Kepala Negara menyatakan adanya masalah itu dan perlunya langkah percepatan untuk mewujud-nyatakan amanat Pancasila tentang keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia di Tanah Papua. Visi New Papua sejalan dengan komitmen Presiden Jokowi yang bersifat bottom up.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Kendala kedua adalah kendala teknis yakni VNP ini belum selesai. Masih ada banyak ruang untuk penyempurnaan. Baik penyempurnaan konsep maupun cara konsep ini direalisasikan.

Jika pimpinan TNI baik di Kodam XVII Cenderawasih maupun di Kodam XVIII Kasuari berkenan memfasilitasi penyempurnaan konsep Visi New Papua, misalnya melalui workshop, menjadi missi dan program maka kendala psikologis yang menghambat pembahasan visi ini akan teratasi. Dan jika pimpinan TNI di kedua institusi itu mendukung realisasi konsep itu maka kemanunggalan TNI – OAP akan makin baik. Akan sangat besar dampaknya dalam membangun kemanunggalan TNI – OAP jika kedua Pangdam sepakat mengeluarkan perintah untuk melibas miras, melibas narkoba dan zat adiktif lainnya (aibon dan komix), melibas ilegal logging, melibas illegal mining, mendukung masyarakat adat yang menolak investasi yang merugikan rakyat seperti kelapa sawit,  mendukung upaya mendesak investasi besar yang sudah menikmati untung di Tanah Papua (mall, hotel, BUMN, dealer mobil atau motor) untuk mendukung pengembangan kewira-usahaan OAP, membuka ruang dialog TNI – rakyat untuk diskusikan win-win solution pembangunan proyek strategis hankamnas seperti Koops-AU dan pangkalan militer di Biak dll.

***

Saya sedang mengkaji kasus konflik kekerasan bersenjata di Timika dan indikasi perang asimetris di Bumi Papua, apakah itu juga perang konvensional? Haruskah dilawan dengan senjata perang? Ataukah itu perang asimetris yang direspon TNI dengan senjata?

Sudah waktunya perwakilan masyarakat adat Papua (baik tokoh adat, MRP, legislatif, tokoh pemuda, tokoh agama, tokoh perempuan, politisi, intelektual) –terutama Generasi Muda Pemilik Masa Depan Negeri– mempertimbangkan untuk meminta waktu untuk berdiskusi dengan Pimpinan TNI (terutama Panglima TNI) mengenai pilihan terbaik yang hendak dilakukan di Tanah Papua dalam membangun kemanunggalan TNI – OAP.

Apakah hendak meneruskan pola pendekatan yang sedang  berlangsung di Kodam XVII Cenderawasih, apakah hendak menjadikan pendekatan TNI di Kodam XVIII Kasuari sebagai model, ataukah menjadikan Visi New Papua sebagai program TNI?

Bintuni, 19 April 2018

)* Penulis adalah anak kampung, tinggal di Biak.

Terkini

Populer Minggu Ini:

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.