Setelah 33 Hari Peluru Polisi di dalam Tubuhnya, Gerri Goo Meninggal

0
2253

DOGIYAI, SUARAPAPUA.com — Selama 33 hari peluru tetap di tubuhnya hingga dia meninggal pada 9 Mei 2018. Dia adalah Gerri Goo, korban tembak di tempat yang dilakukan oknum polisi dari Polsek Moanemani kabupaten Dogiyai pada Jumat (6/4/2018) pukul 20:00 WIT.

Seperti diberitakan suarapapua.com, Gerri Goo ditembak di beberapa bagian tubuhnya menggunakan peluru tajam oleh aparat gabungan polisi dan Brimob pada malam itu. Satu peluru di punggung belakang atas, satu peluru mengenai paha dan peluru yang terakhir mengenai tangannya. Peluru yang mengenai punggung belakang atas tidak tembus, ia bersarang di tubuh Goo selama 33 hari, hingga ajal tiba.

Tindakan medis tak mampu menolongnya. Tim medis hanya mampu mengobati luka tembakan di paha, tangan, dan punggung belakang yang tergores akibat diseret. Saat Goo rebah karena ditembak di atas jembatan kali Mauwa, tubuhnya diseret oknum aparat gabungan. Jadilah luka goresan di sekujur punggung belakangnya itu.

Baca Juga:  Seorang Fotografer Asal Rusia Ditangkap Apkam di Paniai

Menurut kronologis yang dikeluarkan keluarga korban, Goo telah mendapatkan perawatan medis pertama pukul 22:00 WIT dari Rumah Sakit Moanemani, Dogiyai. Ia lalu dirujuk ke RSUD Nabire. (Baca juga: Kronologis Penembakan Tim Gabungan terhadap Pemuda Dogiyai)

“Jam 22:00 WIT Gerri Goo dibawa ke Puskesmas Moanemani dan ditangani dokter umum. Menurut dokter, peluru kena pembulu darah dekat paru-paru, dan peluru harus segera dikeluarkan,” begitu tulis para pelapor dari keluarga korban, sebagaimana diterima suarapapua.com pada Kamis (10/5/2018) sore.

ads
Baca Juga:  Tak Patuhi Aturan, 38 Anggota PPD di Intan Jaya Diberhentikan Sementara

Korban di ruang ICU RSUD Nabire selama dua minggu. “Dari Jayapura juga Gerri Goo dirujuk ke Jakarta, namun tidak tertolong,” lanjut keluarga korban melalui kronologis tertulis ini.

Sebelumnya, pada 11 April 2018, rakyat dan mahasiswa di luar Papua dalam Front Persatuan Rakyat dan Mahasiswa Anti Militerisme (FPRMAM) berdemonstrasi damai di beberapa kota di luar Papua: Semarang, Jakarta, Bogor, Yogyakarta, Malang, Surabaya, Gorontalo dan Denpasar Bali.

Saat itu, Ketua Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Dogiyai seluruh Jawa-Bali, Yohanes Tigi, kepada suarapapua.com menjelaskan, tindakan premanisme seperti itu adalah bentuk pelanggaran HAM. Apalagi dilakukan oleh oknum dari lembaga kepolisian yang tugasnya justru menjaga dan mengayomi rakyat.

Baca Juga:  Kepala Suku Abun Menyampaikan Maaf Atas Pernyataannya yang Menyinggung Intelektual Abun

“Peristiwa penembakan yang terjadi di Dogiyai pada 6 April merupakan pelanggaran HAM. Polisi itu tugasnya mengayomi, melindungi rakyat. Tindakan menembak rakyat tanpa melalui prosedur penangkapan, interogasi dan penyelidikan adalah tindakan premanisme,” urai Tigi kala itu.

Mahasiswa juga telah mengadukan peristiwa penembakan tersebut kepada Komnas HAM RI untuk diusut, namun hingga kini belum ada respon. (Baca juga: Kutuk Penembakan 2 Warga Dogiyai, Mahasiswa Demo di 6 Kota)

Sementara itu, Gerri Goo dikabarkan telah meninggal dari Goodide, kampungnya. Keluarga korban yang telah mulai berjuang sejak dari Puskesmas Moanemani hingga Jakarta selama 33 hari itu mengaku masih menanti keadilan.

Pewarta: Bastian Tebai

Artikel sebelumnyaGunakan Smartphone sebagai Sarana Memperlancar Kinerja dalam Berorganisasi
Artikel berikutnyaSetelah Jet Tempurnya Mendarat di Biak, Rusia Utus Kapal Perang ke PNG