Terorisme: Perlu Analisa Out of The Box

0
2692
Oleh:  Yosef Rumaseb)*

Pada umumnya analisa mengenai aksi teror di Indonesia berkutat pada aktor intelektual di dalam negeri. Ada pula yang meluas ke analisa konspirasi internasional yang mengaitkan aksi teroris di Indonesia dengan konspirasi antar negara yang mengklaim dirinya Islam dan beraksi radikal seperti ISIS (the Islamic State of Iraq and Syria), semua pandangan kemudian berhenti pada Islam radikal.

Pertanyaan yang digunakan untuk membuat analisa adalah “siapa untung dan siapa rugi” dari kasus ini? Atas dasar pertanyaan itu, maka muncul beberapa teori dugaan konspirasi.

Ada yang berkesimpulan bahwa aksi teror di Mako Brimob dan peledakan Bom di tiga gereja di Surabaya berkorelasi dengan konsolidasi dukungan nasional bagi penguatan fungsi anti-teror negara baik konsolidasi dukungan terhadap pengesahan landasan yuridis anti-teroris yang lebih luas maupun untuk mendorong peningkatan  alokasi anggaran pengamanan anti teroris.

Ada lagi yang mengaitkan dinamika ini dengan intrik politik dalam masa tahun politik Pemilihan Presiden 2019, baik pro incumbent atau pro kelompok pengusung tagar “2019 Ganti Presiden”. Pro-incumbent dituduh membangun image negatif bahwa konsolidasi kekuatan islam berpotensi buruk menjadi radikal. Sementara pro-tagar “2019 Ganti Presiden” menjadikan aksi teroris sebagai bukti lemahnya pemerintahan pimpinan Presiden Jokowi sambil melupakan bahwa aksi teroris juga menghantam negara super power dunia seperti US dan Rusia maupun negara besar lainnya seperti UK, Franch, Belgium and Germany.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Ada simpulan bahwa aksi teroris itu adalah buah dari ideologisasi agama, Islam radikal vs Islam moderat atau Islam vs Kristen.

ads

Analisa kemudian berputar pada box dengan empat sudut itu (Islam radikal internasional, konsolidasi anti-teror negara, implikasi tahun politik dan ideologisasi agama).

Bagaimana kalau kita membangun analisa “Out of the box”?

Kita berpikir “out of the box”, maka pertanyaan kita kemudian menjadi: siapa yang secara langsung diuntungkan? siapa tidak secara langsung diuntungkan? siapa secara langsung dirugikan? dan siapa tidak secara langsung dirugikan?

Analisa “out of the box” dengan mengembangkan pertanyaan “siapa untung, siapa rugi” menjadi empat pertanyaan berikut diatas akan bisa membantu kita menarik kesimpulan bahwa empat kategori aktor dalam “box analisa” diatas bisa jadi hanyalah pihak yang “diuntungkan secara tidak langsung atau dirugikan secara tidak langsung”. Mereka menerima dampak dan bukan penciptanya.

Baca Juga:  Kura-Kura Digital

Fakta bahwa aksi teror yang dibuat berkorelasi dengan simbol-simbol islam ini justru terjadi jelang bulan paling suci dalam agama islam yaitu bulan Ramadhan sebaiknya menjadi alasan untuk mengaitkan issue ini bukan dengan agama Islam atau dunia Islam. Justru sebaliknya.

Lalu pertanyaannya adalah adakah indikasi lain, yang “out of the box” yang sebaiknya jadi base analisa tentang aktor intelektual aksi teror di Indonesia?

Salah satu fenomena menarik yang kurang diperhatikan adalah bahwa aksi teroris di Mako Brimob maupun peledakan bom di tiga gereja di Surabaya pada 13 Mei 2018 terjadi dalam suasana peringatan HUT ke 70 Republic of Izraeli. Ketika dimana US memutuskan memindahkan kantor Kedubesnya dari Tel-Aviv ke Jerusalem.

Kita telah mengetahui bahwa pasca US President Donald Trump mendeklarasikan rencana itu pada Desember 2017 lalu, Indonesia telah tampil terdepan menggalang dukungan internasional guna memboikot kebijakan Trump. Palestina telah menjadi nafas dalam tiap diplomasi politik Indonesia di dunia.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Dari perspektif perang asimetris, tidak tertutup kemungkinan untuk menganalisa beberapa fenomena aksi teroris di Indonesia pada momentum peringatan HUT Republic of Izraeli yang ke-70 sebagai early warning bahwa Indonesia pun memiliki titik lemah yang bisa digunakan untuk menjadikan Indonesia sebagai target “kooptasi dari dalam” berikut sesudah Syria, Lebanon, Iraq, Mesir, dan beberapa negara Islam lain yang memiliki kekuatan mengancam keamanan Israel dikooptasi.

Saran saya, sebaiknya kita membiasakan diri bergonta-ganti posisi dalam membuat analisa masalah. Bisakah juga berpikir “out of the box” siapa tahu pihak yang dituduh sebagai aktor bukan aktor utama.

Menurut saya, aksi teroris di Indonesia pada suasana perayaan HUT Republik Israel Mei 2018 ini adalah early warning bagi Indonesia untuk mengurus urusan dalam negeri sendiri dan tidak usah ganggu kedaulatan negara lain.

Biak, 14 Mei 2018 
 
)* Penulis adalah anak kampung, tinggal di Biak
Artikel sebelumnyaKristen Evangelis, Israel, dan Papua
Artikel berikutnyaPeringati HUT ke-59 Paroki Roh Kudus Oksibil, 14 Pengurus Kombas Dilantik