Koalisi Masyarakat Sipil Desak Jokowi Tuntaskan Pelanggaran HAM Berat

0
13134

JAKARTA, SUARAPAPUA.Com — Presiden Indonesia Joko Widodo (Jokowi) dinilai masih memiliki utang janji dalam Nawacita yang dikumandangkannya tahun 2014 dulu, yakni soal penuntasan pelanggaran-pelanggaran HAM yang berat di Indonesia.

Koalisi masyarakat sipil yang di dalamnya ada IKOHI, Indonesia Legal Roundtable (ILR), KontraS, LBH Jakarta, LBH Masyarakat, Lembaga Kreatifitas Kemanusiaan (LKK), Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) membuat pernyataan bersama mendesak agar Jokowi menyelesaikan utang janji itu sebelum masa jabatannya berakhir.

Melalui rilis persnya, koalisi masyarakat sipil menjelaskan, janji Jokowi dalan Nawacita itu sudah mulai ada titik terang kala Jokowi mengundang korban dan keluarga korban ke istana pada tanggal 31 Mei 2018.

Namun, belum sehari dari pertemuan tersebut, Jaksa Agung, Prasetyo, mengatakan beberapa hal ke media terkait pertemuan tersebut. Prasetyo antara lain menyebutkan bahwa pihaknya masih sulit mencari bukti kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang telah terjadi di masa lalu, saksi, pelaku dan korban.Ā Jaksa Agung Prasetyo juga menjelaskan kala itu kepada awak media bahwa setelah diteliti, hasil penyelidikan Komnas HAM yang dijadikan dasar pengaduan pelanggaran-pelanggaran HAM yang berat tersebut hanya berupa asumsi dan opini.

Baca Juga:  Sidang Dugaan Korupsi Gereja Kingmi Mile 32 Timika Berlanjut, Nasib EO?

“Pernyataan Jaksa Agung tersebut memiliki kesalahan mendasar berdasarkan sistem hukum dan peradilan baik pidana maupun pelanggaran HAM yang berat,” jelas koalisi masyarakat sipil menanggapinya melalui pernyataan tertulis yang ditandatangani tanggal 03 Juni 2018 di Jakarta.

ads

Melalui rilis persnya, koalisi menjelaskan, Pasal 1 ayat 5 UU 26 Tahun 2000, pasal 20 ayat (1) UU 26 Tahun 2000, pasal 21 ayat (1) UU 26 Tahun 2000, pasal 10 UU 26 Tahun 2000 dan pasal 2 ayat (1) KUHAP memiliki arti, pertama, Komnas HAM bertanggung jawab hingga mencari, menemukan ada tidaknya peristiwa yang diduga sebagai pelanggaran HAM melalui bukti permulaan yang cukup (menurut putusan MK adalah 2 alat bukti). Kedua, Menemukan tersangka adalah bagian dari penyidikan. Ketiga, penyidik adalah Jaksa Agung sehingga yang memiliki kewajiban menemukan pelakunya adalah Jaksa Agung.

“Oleh karena itu bolak balik berkas antara penyidik (Jaksa Agung) dengan penyelidik (Komnas HAM) sebagaimana dinyatakan dalam pasal 20 UU 26/2000 hanyalah sebatas bukti permulaan yang cukup telah terjadi peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat, dan bukan adanya bukti mengenai pelakunya. Ketentuan ini juga sesuai dengan pasal 2 ayat (1) KUHAP yang menjelaskan, penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya,” tulis koalisi.

Baca Juga:  Vince Tebay, Perempuan Mee Pertama Raih Gelar Profesor

Lanjut koalisi, apabila Jaksa Agung terlalu sibuk untuk menjalankan kewajiban hukumnya, sesungguhnya pasal 19 ayat 1g UU 26 Tahun 2000 dan pasal 5 ayat 1b KUHAP mengatur penyelidik dapat melakukan beberapa tindakan atas perintah penyidik. Apabila Jaksa Agung merasa tidak mampu menjalankan kewajiban hukumnya, urai koalisi, Pasal 21 ayat (3) UU 26/200 juga memberikan kemungkinan mengangkat penyidik ad hoc yang terdiri atas unsur pemerintah dan atau masyarakat.

“Artinya Jaksa Agung dapat mengangkat Komnas HAM sebagai penyidik ad-hoc bahkan masyarakat korban,” tegas koalisi.

Koalisi menilai, pernyataan Jaksa Agung hanya menunjukkan 2 kemungkinan.

“Jaksa Agung tidak mengerti hukum yang berlaku atau Jaksa Agung paham hukum tetapi sengaja mencari-cari alasan agar tidak menjalankan kewajiban hukumnya yang bersumber dari undang-undang dan arah kebijakan Presiden,” lanjut koalisi menulis dua kemungkinan yang dimaksud.

Baca Juga:  Berlakukan Operasi Habema, ULMWP: Militerisme di Papua Barat Bukan Solusi

Koalisi bahkan menuntut Jaksa Agung yang dinilai tidak mengerti hukum atau sengaja mengabaikan hukum itu patut dicopot jabatannya.

“Copot, ganti dengan yang lebih memiliki kapasitas atau tanggung jawab, serta searah dengan kebijakan Presiden yaitu menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM sebagaimana tertuang dalam Nawacita. Tidak digantinya Jaksa Agung atau pejabat negara lainnya yang semacam ini akan membuat pincang pemerintahan dan kebijakan presiden,” tutup koalisi.

Rakyat Papua sendiri telah mengalami berbagai bentuk perlakuan yang melanggar hak asasi oleh aparat negara Indonesia baik sipil maupun militer dari berbagai kesatuan di berbagai kesempatan. Bentuk-bentuk pelanggaran HAM juga banyak, mulai dari ungkapan-ungkapan rasial terhadap orang Papua yang keriting dan berkulit cokelat dari rumpun Melanesia di Pasifik Selatan hingga tembak mati dengan pelakunya justru naik pangkat karena dipromosikan bukan dibawa ke pengadilan.

Baca beberapa laporannya di sini: Pelanggaran HAM di Papua.

Pewarta: Bastian Tebai

Artikel sebelumnyaIndonesia Abaikan Sisi Negatif Perusahaan Sawit, Ratusan NGO Bikin Surat Protes
Artikel berikutnyaAustralia Kembalikan Tengkorak Leluhur Orang Papua kepada Pemerintah RI