NYT: RI Pakai Hukum Kolonial Bungkam Aktivis Papua

0
14502

JAKARTA, SUARAPAPUA.com – Dalam wawancara dengan The New York Times, Yanto Awerkion mengatakan ia mengerti bahwa ia akan membuat marah pemerintah Indonesia karena menyelenggarakan pertemuan yang membahas petisi untuk referendum kemerdekaan Papua. Tetapi ia tetap melakukannya karena ia meyakini itu adalah haknya sebagai warga negara.

“Saya menggunakan hak saya untuk kebebasan berbicara,” Awerkion, yang adalah salah satu pengurus senior Komite Nasional Papua Barat (KNPB), sebuah organisasi pro-kemerdekaan Papua.

Ia ditangkap dan kemudian dipenjara atas tuduhan pengkhianatan kepada negara. Untuk ketiga kalinya yang menghadapi dakwaan di pengadilan karena keyakinan politiknya.

The New York Times (NYT) menilai pemerintah Indonesia tidak melihat ini sebagai masalah kebebasan bicara. Polisi menangkapnya di Timika, bulan Mei tahun lalu atas tuduhan mencoba menggulingkan negara. Dia dipenjara selama 10 bulan.

Dalam persidangannya bulan Maret lalu, Awerkion, 28, dinyatakan bersalah melakukan pengkhianatan dengan memakai hukum zaman kolonial Belanda.

ads

Awerkion telah dibebaskan belum lama ini setelah ia menjalani masa tahanannya.

“Selama persidangan, tidak ada bukti saya terlibat dalam pengkhianatan,” katanya dalam sebuah wawancara telepon setelah pembebasannya. “Dan saya tidak (berkhianat). Sebagai generasi muda, saya harus berjuang melawan ketidakadilan,” kata dia.

Baca Juga:  Lima Wartawan Bocor Alus Raih Penghargaan Oktovianus Pogau

Bila dibandingkan dengan terdakwa lain yang menghadapi dakwaan serupa, hukuman Awerkion tergolong ringan. Setidaknya tiga orang Papua lainnya yang dianggap sebagai tahanan politik oleh kelompok-kelompok hak asasi manusia, sedang menjalani hukuman penjara yang lama karena mempromosikan kemerdekaan dan lepas dari Indonesia atau mengangkat bendera OPM di depan umum. Puluhan orang lain yang mendukung perjuangan mereka telah dipenjara dalam beberapa tahun terakhir.

Kelompok-kelompok hak asasi manusia telah melaporkan daftar panjang pelanggaran HAm di Papua, atas nama memerangi gerakan separatis bersenjata. Pelanggaran itu termasuk penangkapan sewenang-wenang, pembunuhan di luar hukum, korupsi resmi, pemilihan lokal yang dicurangi, dan personel polisi dan militer yang menggunakan taktik kasar.

“Mereka menggunakan hukum kolonial untuk menangkap orang-orang di Indonesia yang modern dan demokratis,” kata Calum Hyslop, seorang Australia yang merupakan pengamat politik Papua. “Mereka gagal memahami perbedaan antara kebebasan berbicara dan tindakan nyata separatisme bersenjata.”

Selama beberapa dekade, catatan hak asasi manusia pemerintah telah mengundang kritik luas. Aktivis pro-kemerdekaan telah disiksa, dibunuh atau hilang, tanpa penangkapan atau penuntutan.

Laporan Departemen Luar Negeri Amerika Serikat yang baru-baru ini dirilis di Indonesia mengatakan tentang Papua: “Kurangnya penyelidikan transparan terus menghambat akuntabilitas dalam sejumlah kasus masa lalu yang melibatkan pasukan keamanan.”

Baca Juga:  Pilot Philip Mehrtens Akan Dibebaskan TPNPB Setelah Disandera Setahun

NYT juga menilai bahwa pembangunan di wilayah ini semakin memprihatinkan. Provinsi Papua adalah rumah bagi salah satu operasi penambangan emas dan tembaga terbesar di dunia, yang dijalankan oleh unit Indonesia dari raksasa pertambangan Amerika, Freeport-McMoRan, dan sebuah pabrik gas alam besar di Provinsi Papua Barat, yang dijalankan oleh unit lokal BP.

Namun, beberapa data demografi di kawasan itu sebanding dengan Afrika sub-Sahara, menurut para analis, dengan kesenjangan mengkhawatirkan antara orang Papua yang tinggal di daerah pesisir dan mereka yang tinggal di dataran tinggi terpencil, kebanyakan hanya dapat diakses dengan pesawat terbang.

Sebagian besar orang Papua hidup di daerah pedesaan, dan tingkat kemiskinan tertinggi di Indonesia, sekitar 41 persen, dibandingkan dengan hanya 5 persen di daerah perkotaan. Orang Papua memiliki tingkat buta huruf tertinggi di Indonesia, dengan sekitar 25 persen anak-anak tidak bersekolah, dan wilayah ini memiliki tingkat kematian bayi, anak, dan ibu yang tertinggi di Indonesia, sementara memiliki tingkat vaksinasi anak dasar terendah.

“Ketika datang ke pertanyaan yang lebih luas tentang hak asasi manusia di Papua, pelanggaran nyata berkaitan dengan kurangnya layanan di pedesaan,” kata Bobby Anderson, seorang peneliti dari School of Oriental and African Studies di University of London. “Hal-hal seperti kurangnya perawatan kesehatan, kurangnya pendidikan, dengan guru tidak hadir di sekolah.”

Baca Juga:  LME Digugat Ke Pengadilan Tinggi Inggris Karena Memperdagangkan 'Logam Kotor' Dari Grasberg

“Indonesia memiliki kebijakan terperinci untuk mengekstraksi mineral, tetapi mereka tidak memiliki kebijakan nyata untuk rakyat Papua,” kata dia. “Sepertinya mereka (Orang Papua) bukan warga negara.”

The New York Times menulis, setelah menjabat pada tahun 2014, Presiden Joko Widodo menjanjikan kesepakatan baru untuk provinsi Papua dan Papua Barat, membebaskan beberapa tahanan politik dan menjanjikan program ekonomi yang ambisius. Namun, pemerintahnya sendiri terus memberlakukan pembatasan terhadap wartawan asing yang berkunjung ke sana.

Wilayah Papua terus bermasalah. The Institute for Policy Analysis of Conflict, sebuah organisasi penelitian yang berbasis di Jakarta, sambil mengingatkan bahwa Jokowi telah memberi perhatian lebih pada wilayah tersebut daripada pendahulunya, mengatakan dalam sebuah laporan Oktober, “Konflik di sana – di antara suku, antara penduduk asli Papua dan pendatang, antara kelompok pro-kemerdekaan dan negara – tetap tinggi. “

Pewarta: Wim Geissler

SUMBERThe New York Times
Artikel sebelumnyaAustralia Kembalikan Tengkorak Leluhur Orang Papua kepada Pemerintah RI
Artikel berikutnyaMendila: Transportasi di Yahukimo Harus Bersinergi