TPNPB Makodap III Timika: Kami Tidak Akan Berhenti Berjuang Sampai Papua Merdeka

0
11122
Pertambangan terbuka Freeport Indonesia di Tembagapura. (IST - SP)
adv
loading...

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com— Hendrikus Wamang, komandan Operasi Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) Makodap III Timika mengaskan pihaknya tidak akan berhenti berjuang sampai Papua merdeka dan berdaulat di atas tanah Papua.

Hendrikus Wamang menegaskan Belanda, Amerika, Indonesia dan PBB harus melihat persoalan Papua dengan baik dan harus segera diselesaikan. Karena awal terjadinya persoalan berkepanjangan di tanah papua adalah karena ulah dari kepentingan ekonomi dan politik negara-negara tersebut.

Ia mengakui jika penyerangan-penyerangan yang selama ini terjadi di areal pertambangan Freeport dan sepanjang jalan Freeport dilakukan pihaknya. Aksi-aksi gerilya yang dilakukan tersebut adalah untuk mendesak agar Freeport segera ditutup.

“Kemarin memang kami melakukan penembakan di mile 61 pada pukul 10.40. Intinya sesuai dengan SPO kami akan tetap melakukan penyerangan di sekitar areal Freeport dan sepanjang jalan freeport. Jadi memang freeport ini akar masalah. Saya pikir itu semua orang sudah tahu,” jelasnya kepada suarapapua.com pada Rabu (6/6/2018).

Kata dia, walaupun dengan keterbatasan, pihaknya TPN akan tetap berjuang secara gerilya untuk merebut kembali kemerdekaan papua yang pernah dirampas oleh negara Indonesia untuk melepaskan papua dari penjajahan bangsa indonesia.

ads

“Artinya papua harus terlepas dari indonesia. Inti dari pada pertempuran yang selama ini kami lakukan adalah mengarah ke situ (berjuang untuk melepaskan papua dari penjajahan indonesia).   Pertempuran dan penyerangan yang kami lakukan ini tidak bisa kami hentikan. Walaupun kami sadar bahwa kami tidak punya kekuatan yang canggih, kami memiliki keterbatasan,” ungkapnya.

Ia berpendapat, pihaknya tidak akan mundur selangkah pun selama Freeport masih beroperasi di atas bumi amungsa dan selama tidak ada upaya untuk menyelesaikan persoalan Papua.

“Kami tidak akan mundur dan tetap melawan indonesia, walaupun TNI/Polri mau kirim ribuan pasukan dan menggunakan alat tempur ringan, berat dan canggih. Pernyataan kami sudah jelas bahwa TPN melakukan penyerangan di areal freeport ini tidak bisa berhenti. Kami akan tetap melawan dengan keterbatasan terhadap kepentingan empat aktor itu,” terang Wamang.

Baca Juga:  PTFI Bina Pengusaha Muda Papua Melalui Papuan Bridge Program

Sehingga, kata dia, Amerika, Belanda, Indonesia dan PBB jangan hanya berfikir untuk menguras kami punya kekayaan dan memusnahkan kami orang papua. Tetapi dia harus berfikir untuk selamatkan bangsa yang sedang dimusnahkan secara perlahan dan sistematis ini.

“Kami tidak akan berhenti. Tetap akan berlanjut, sehingga harus ada tanggapan. Artinya empat oknum itu harus punya tanggapan terhadap orang papua punya perjuangan. Perjuangan ini bukan TPN punya yang sedang berjuang, ada diplomasi yang sedang bergerak, ada organ-organ di dalam kota yang sedang bergerak maupun sayap militer juga berjalan. Sehingga kami harus menyeimbangkan. Jangan ada perang syaraf saja tetapi perang fisik juga harus jalan. Dua-duanya harus seimbang,” tambah Wamang.

Freeport Harus Ditutup dan Harus Ada Intervensi Internasional

Hendrik Wamang juga mengatakan, dirinya sebagai komandan Operasi Makodap III Timika akan tetap melawan sampai Freeport ditutup dan masalah kedaulatan atas papua harus dikembalikan.

“Intervensi yang kami maksudkan adalah intervensi dari PBB. Karena ada empat aktor utama yang korbankan papua untuk kepentingan ekonomi mereka. Empat aktor itu adalah PBB, Amerika, Belanda dan Indonesia. Itu tujuan utama kami,” jelas Wamang.

Ia mempertanyakan, kenapa kita selalu mengatakan bahwa harus ada intervensi internasional? Karena keempat aktor tersebut adalah aktor utama sehingga intervensi dari dewan keamanan PBB harus ada.

Sebab Freeport ada karena keterlibatan PBB. PBB itu juga salah satu dalangnya. Tahun 1969 dia (PBB) melakukan agenda referendum di papua itu agenda PBB, utusannya adalah Ortizan. Tetapi kenapa sampai di indonesia itu tidak melakukan referendum tetapi melakukan pepera. Apakah indonesia itu anggota badan internasional seperti dewan keamanan PBB?

“Ini pertanyaan besar sekali. Di sini terjadi penipuan besar. Seharusnya itu adakan referendum tetapi kenapa jadinya pepera. Utusan PBB sudah ada dengan membawa agenda referendum kok jadinya pepera. Ini kan PBB menyetujui keinginan indonesia bukan menyetujui keinginan orang papua dengan agenda PBB,” terangnya.

Baca Juga:  KPU Deiyai Tuntaskan Rekapitulasi Suara Pemilu 2024 Tingkat Kabupaten

Kata dia, ini sudah jelas sekali sebuah penipuan. Intinya bahwa ada keterlibatan oknum-oknum PBB pada saat itu untuk bekerja sama dengan pihak Amerika untuk bisa mengelola Freeport, pertambangan emas terbesar di dunia ini.

“Jadi tuntutan ini sudah jelas. Maka empat oknum pelaku sejarah itu harus turun tangan. Amerika, Indonesia, PBB dan Belanda harus turun tangan selesaikan persoalan ini. Karena mereka adalah pelaku sejarah dan akar persoalan yang mengorbankan papua demi kepentingan ekonomi politik mereka. Freeport ini kan pertambangan emas terbesar  nomor satu di dunia, nomor dua di Afrika Selatan dan nomor tiga di Kalifornia. Kami tahu itu,” ujar Wamang.

Ada Pihak Ketiga Bentukan Aparat untuk Merusak Nama Baik TPN

Wamang mengaku ada pihak ke tiga yang sengaja dibentuk untuk merusak citra baik dan perjuangan TPNPB. Ia mencontohkan, selama ini aparat Indonesia menuduh bahwa TPNPB melakukan pemerkosaan dan penyanderaan. Katanya, itu omong kosong dan tidak benar adanya.

“Yang selalu bikin begitu Itu pihak ke tiga. Pihak ke tiga ini memang dibentuk oleh aparat militer indonesia untuk merusak nama baik TPN di nasional dan internasional. Misalnya waktu di Banti kami dituduh perkosa perempuan, terakhir kami dituduh perkosa guru di Arwanop. Itu tidak benar itu pihak ketiga yang bermain,” ungkapnya menegaskan.

Ia menjelaskan, waktu peristiwa terjadi di Arwanop pihaknya tidak tinggal dia. Ia berupaya untuk mengamankan tetapi tidak berhasil.

“Di Arwanop itu saya sempat mau masuk mengamankan. Tetapi ternyata pintu masuk arwanop itu hanya satu saja. Waktu kami mau masuk pihak TNI sudah ada di belakang kami jadi kami memilih untuk undur. Jadi di arwanop itu saya punya masyarakat. Ada saya punya keluarga juga di sana semua. Sa pu kaka laki-laki sempat mau amankan pelaku yang bikin kekacauan itu. Tetapi tidak bisa karena mereka juga dipersenjatai oleh pihak militer indonesia,” jelasnya.

Baca Juga:  Gawat! Di Mimika, 2.500 Ekor Babi Mati Terserang Virus ASF

Wamang menegaskan, bahwa pihaknya berjuang untuk pembebasan nasional dan mendesak agar Freeport ditutup, bukan berjuang untuk melakukan aksi-aksi murahan.

“Kami tidak berjuang untuk isu-isu murahan. Intinya itu upaya yang mereka lakukan untuk merusak nama baik kami TPN. Pelakunya bukan TPN. Tapi itu pihak ke tiga buatan militer Indonesia. Tuduhan-tuduhan yang dialamatkan kepada kami itu tidak benar. Kami akan berjuang sampai Papua merdeka dan Freeport angkat kaki dari tanah Papua,” tegasnya.

Dikutip dari tirto.id, Papua—atau kerap disebut Papua Barat—adalah juga satu-satunya provinsi di Indonesia yang paling tertutup bagi kalangan pengamat kemanusiaan dan wartawan internasional. Sejak 1960-an, pemerintah Indonesia menguasai kawasan ini lewat Jajak Pendapat yang dianggap rakyat Papua berlangsung curang. Aktivitas politik damai orang Papua dibatasi, bahkan dihadapi oleh kekuatan bersenjata berlebihan oleh aparat keamanan Indonesia. Puluhan orang Papua dipenjara karena dituduh “makar”.

Presiden Joko Widodo pernah berjanji pada 2015 bahwa pemerintahannya membuka akses luas bagi wartawan ke Papua, bersamaan dengan langkahnya membebaskan tahanan politik Filep Karma di Penjara Abepura, Jayapura. Namun, hingga kini, mekanisme kebebasan pers yang independen di Papua masih dibatas-batasi. Ini termasuk ketika wartawan ingin mendapatkan sumber-sumber kredibel di lokasi kejadian.

Imbasnya, kebanyakan informasi dari Papua, terlebih bila menyangkut peristiwa kekerasan atau penembakan, hanya mengandalkan sumber resmi dari kepolisian atau militer Indonesia.

Menurut catatan Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), ada 16 penembakan di Papua sejak Agustus 2016. Sebagian besar pengusutan kasus ini belum memenuhi rasa keadilan.

Pewarta: Arnold Belau

Artikel sebelumnyaTPN PB Makodap III Timika: Kami yang Tembak Bus di Mile 61
Artikel berikutnyaFoto: Segera Bentuk Pengadilan HAM untuk Kasus Wasior Berdarah