Euforia Piala Dunia, Tari Patola dan Visi Cagub Papua 2018

0
88

Oleh: Yosef Rumaseb)*

Dalam bahasa Byak, ada filosofi yang sangat populer ini “wos yama ryarirya imboi kabores ya imbran pdef”. Maknanya adalah sambil berdebat, pekerjaan mendayung perahu perjuangan tak boleh berhenti.

Pada konteks Provinsi Papua, ada tiga topik perdebatan yang saat ini menjadi eforia. Pertama, debat tentang Piala Dunia. Kedua, debat tentang ditampilkannya Tari Patola pada event Festival Danau Sentani. Ketiga, kampanye dalam Pilgub.

Pembahasan tentang Piala Dunia bersifat spekulatif dan nyaris tidak memiliki hubungan apa pun dengan masa depan tanah dan bangsa Papua. Jadi sifatnya hura hura mengikuti trend global. Perdebatan tentang fenomena Tari Patola penting bagi masa depan adat dan generasi datang, tapi akhirnya tidak jelas siapa yang bertanggung jawab menampung dan menindak-lanjuti berbagai aspirasi yang berkembang. Pembahasan tentang Pemilihan Gubernur Papua mestinya jauh lebih substansial karena menentukan nasib pembangunan Papua pada lima tahun ke depan, termasuk pembangunan di bidang olah raga termasuk sepak bola dan pembangunan serta pelestarian adat dan seni yang diperdebatkan terkait Tari Patola.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Pada konteks itu, berlaku makna filosofi yang saya kutip di atas …. berdebat ya berdebat, tapi perhatian pada perjuangan hal yang esensial sebaiknya jangan berhenti.

ads

Pemikiran ini mengantarkan saya pada beberapa pertanyaan.

Apakah para paslon cagub memiliki konsern pada euforia warga yang kelak akan mereka pimpin, baik dalam euforia Piala Dunia maupun euforia pro kontra terhadap Tari Patola? Apakah mereka bisa berempati dengan suasana kebatinan rakyatnya pada dua eforia itu? Adakah dan seperti apakah program mereka dalam pembangunan aspek olahraga bola kaki dan program pembangunan dan pelestarian kearifan lokal di bidang adat dan seni?

Pertanyaan ini kemudian mengantar saya ke dua permenungan.

Permenungan pertama tentang kerinduan agar para paslon melebur dalam eforia Piala Dunia bersama eforia warga. Bisakah mereka tampil menggunakan kostum salah satu tim favorit mereka dan nobar? Saya ambil contoh di Provinsi Papua Barat, Gubernur tampil di medsos dengan kostum Timnas Brazil dan Wagub menyatakan dukungan pada Timnas Argentina. Media, nitizen dan warga pun menyambut

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Permenungan kedua, apa ada jejak sejarah terkait komitmen dan program kedua paslon di bidang pembangunan adat dan olah raga?

Pada bidang adat (kebudayaan) saya mencatat komitmen Pak Enembe ketika dia didaulat sebagai Bapak Budaya Papua (mungkin saya salah) pada Desember 2017. Predikat ini menunjukkan penghargaan terhadap konsern beliau terhadap pembangunan di bidang kebudayaan terutama adat.

Namun demikian, kisruh perdebatan tentang Tari Patola yang kontroversial di Festival Danau Sentani menciderai citra itu karena terjadi di FDS yang merupakan even kebudayaan Tabi pada saat Bupati Jayapura menjadi Ketua Timses paslon Lukmen. Perdebatan tentang nilai adat dan dampak moral Tari Patola membuat tanda tanya dan patut diklarifikasi.

Sementara di kubu Josua, seluruh Papua mengetahui bahwa HMS (cawagub Paslon Josua) adalah mantan Bupati Jayapura sebagai penggagas even FDS sebagai even promosi budaya Tabi dan promosi pariwisata. Beliau juga seorang guru dan doktor bidang pendidikan. Warga Papua kemudian akan melayangkan harapan padanya untuk membangun adat, membangun seni dan membangun moral generasi mendatang Papua dengan track record meyakinkan ini.

Baca Juga:  MRP dan DPRP Fraksi Otsus se-Tanah Papua Minta Jokowi Terbitkan Perppu Hak Politik OAP

Untuk pembangunan olahraga sepak bola, kita tahu semua bahwa Persipura di Jaman Petahana Enembe meraih prestasi juara beberapa kali. Kita juga tahu bahwa Persiwa di bawah Bupati Wetipo meraih prestasi dalam blantika sepakbola nasional. Lebih menonjol dari prestasi sepak bola kabupaten lain (selain Serui).

JWW juga menorehkan konsern dan prestasi khusus di bidang ini ketika dia mengadakan Turnamen JWW Cup bagi mahasiswa di Tanah Papua beberapa tahun lalu.

Dengan track record ini, bisakah mereka secara psikologis membaur dengan eforia kegembiraan rakyatnya dalam demam Paiala Dunia sambil menjelaskan program yang mereka tawarkan di bidang ini?

Wos ya ma ryarirya imboi kabores ya imbran pdef. Perdebatan bolehlah terus berjalan, tapi dayung perjuangan haruslah terus dikayuh.

Semoga

Manokwari 21 Juni 2018

)* Penulis adalah anak kampung. Tinggal di Biak

Artikel sebelumnyaDari Cenderawasih Kembali ke Mambruk: Budaya Antagonisme Politik di Indonesia (Antropologi Politik Bagian IV)
Artikel berikutnyaUskup Timika Lakukan Peletakan Batu Pertama Pembangunan Pastoran di Damabagata