Menguras Isi Bak Emosi: Catatan Margi Si Regi Koroway (Bagian 6)

0
10669

)leh: Margi)*

Wamena 6 Juli 2018. Dear Sahabat Koroway, besok adalah hari keenam saya berada di Wamena menunggu waktu berangkat ke Brukmahkot. Hari ini saya merasa lebih “ringan”. Karena selama menunggu di Wamena saya memiliki kesempatan untuk refreshing, menulis, membangun solidaritas bagi Suku Koroway, sekaligus membantu mengatasi masalah kekurangan bahan makanan dari pelajar dan mahasiswa Koroway di Wamena. Saya yakin bahwa inilah maksud TUHAN “menahan” saya di Wamena sebelum melanjutkan perjalanan ke Brukmahkot, tempat saya akan mengabdi sebagai guru.

Waktu-waktu saya di Wamena adalah anugerah TUHAN. Kesempatan untuk berlibur dan menulis Pikiran dan perasaan saya sudah seperti bak penuh air yang harus dikuras, dikosongkan dan dibersihkan agar dapat diisi dengan air baru yang lebih jernih dan sejuk. Dan saya sudah “menguras air dalam bak emosi saya” selama enam hari di Wamena.

Saya terinspirasi dari pengalaman Mantan Presiden Habibie ketika curhat dalam bukunya berjudul “Habibi dan Ainun”

Habibie punya alasan menulis buku laris Habibie & Ainun yang sudah memasuki cetakan ketiga. Dalam wawancaranya dengan wartawan Tempo pada Rabu, 16 Januari 2013, Habibie mengisahkan perjalanan hidupnya bersama mendiang istrinya, Hasri Ainun Habibie Besari, yang meninggal pada 22 Mei 2010 di Munchen, Jerman.

ads
Baca Juga:  Akhir Pekan Bersama “Perempuan Penyembah Malaikat”

“Saya tenggelam dalam kesedihan,” kata Habibie. Presiden ketiga Indonesia ini mengaku depresi dan nyaris gila karena kematian kekasih jiwanya. Hal itu membuatnya syok.

Habibie kemudian konsultasi dengan profesor dokter yang telah menjadi langganan keluarga. Hasil pemeriksaan itu menyatakan hubungan Habibie-Ainun terlalu dekat. “Psikosomatis malignant istilahnya, sehingga tenggelam dalam kesedihan,” Habibie berujar.

Dokter pun memberi empat saran. Pertama, Habibie dirawat di rumah sakit jiwa. Kedua, tetap di rumah tapi ada tim dokter dari Indonesia dan Jerman yang ikut merawat. Ketiga, curhat kepada orang-orang yang dekat dengan Habibie dan Ainun. Keempat, dengan menulis.

“Saya pilih menulis, saya pilih yang keempat,” ujar mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi ini.

Pilihan Habibie tak salah. Ia pelan-pelan dapat menenangkan dirinya seusai menulis buku Habibie & Ainun. Buku ini telah dicetak ke dalam beberapa bahasa, selain Bahasa Indonesia tentunya, yakni seperti Inggris, Arab, dan Jerman. Dan, dengan judul yang sama, buku ini pun difilmkan dan menyedot jutaan penonton.

Baca Juga:  Dari Hasil Jual Daun Singkong Hingga Raih Magister Pendidikan di UKSW

Kisah Pak Habibie ini menginspirasi saya. Tidak sedalam dan separah yang dialami beliau. Namun menyadarkan saya bahwa berpisah atau berjauhan dengan seseorang atau sekelompok orang yang dengannya kita memiliki kedekatan emosional dapat berdampak buruk pada emosi dan kesehatan kita, baik psiko maupun psikis.

Tidak seberat beban yang dipikul Pak Habibie. Tapi dalam tingkatan yang sekarang, saya merasakan kemiripan. Saya sudah merasa dekat dengan Suku Koroway, terutama anak-anak yang ingin saya didik. Saya sudah mempersiapkan diri baik secara fisik maupun mental untuk sesegera mungkin hadir sebagai guru bagi mereka. Tapi perjalanan ke sana tertunda. Sudah hari ke-5 saya tertahan di Wamena dan belum bisa berangkat ke Brukmahkot. Penundaan ini mempengaruhi kondisi psikis dan fisik saya. Gelisah, sulit tidur, selalu membayangkan suara anak-anak Brukmahkot memanggil saya dan bahkan sudah dua kali saya demam tinggi pada hal dokter menyatakan saya sehat. Tapi saya percaya ada missi TUHAN dalam setiap langkah hidup kita.

Terinspirasi dari pengalaman Pak Habibie, saya kemudian membuat akun facebook Margi untuk curhat tentang pikiran dan perasaan saya. Untuk membagi habis “beban” yang saya pikul. Dan di luar dugaan saya, ternyata banyak dukungan yang saya terima yang makin menguatkan saya. Menyehatkan saya. Baik dukungan moril dan materil.

Baca Juga:  Dari Hasil Jual Daun Singkong Hingga Raih Magister Pendidikan di UKSW

Puji TUHAN atas rancangan indah-Nya ini. Sekarang saya sudah jauh lebih segar dan siap memikirkan dengan lebih jernih rencana kerja saya dan secara fisik jauh lebih siap ke Korowai.
Karena itu mulai besok, Catatan Margi Si Regi Koroway akan lebih fokus pada postingan tentang pemikiran kritis saya yang diringkas dari Laporan Observasi saya selama 2 minggu berada di Brukmahkot pada bulan Maret 2018. Selanjutnya, saya akan copy paste cuplikan laporan itu dan posting di sini. Jika saya jadi berangkat besok maka sahabat saya akan melanjutkan postingan tersebut. Namun, sahabat saya tidak akan menjawab inbox yang ditujukan kepada saya.

Terima kasih atas tanggapan Sahabat Korowai sejauh ini. Mohon dukungan doa dari Sahabat Koroway.

Salam,
Margi

 

)* Penulis adalah anak muda Papua yang sedang mengabdikan dirinya untuk pendidikan di Koroway

Artikel sebelumnyaMenjiwai Peran ‘Regi Si Motivator’: Catatan Margi Si Regi Korowai (Bagian 5)
Artikel berikutnyaLeadbeater: Masih Ada Harapan NZ Dukung Hak Menentukan Nasib Sendiri Papua