Leadbeater: Masih Ada Harapan NZ Dukung Hak Menentukan Nasib Sendiri Papua

0
4253

WELLINGTON, SUARAPAPUA.com – Lewat buku terbarunya yang diluncurkan pekan lalu, See No Evil: New Zealand’s Betrayal of the People of West Papua (Otago University Press), Maire Leadbeater mengungkapkan keyakinannya akan adanya secercah harapan, bahwa pada akhirnya Selandia Baru (New Zealand/NZ) akan mengubah kebijakan luar negeri ke arah dukungan bagi penentuan nasib sendiri rakyat Papua.

Hal itu ia sampaikan dalam sebuah tulisan yang merupakan ringkasan dari isi bukunya di media thespinoff.co.nz, sebuah situs berita online Selandia Baru yang mengklaim menjangkau 100.000 pembaca setiap hari.

“Sangat umum mendengar orang berkomentar bahwa Selandia Baru tidak suka berbicara tentang hak asasi manusia di Papua karena masalah perdagangan. Indonesia adalah mitra dagang yang berharga, tetapi itu bukan seluruh cerita,” tulis Leadbeater.

Ia mengatakan bahwa kebijakan luar negeri Selandia Baru dirumuskan dengan berkonsultasi dengan negara-negara sekutunya. Namun, ada juga kalanya Selandia Baru mengambil posisi sendiri bahkan melawan arus.

Dalam isu Papua, Leadbeater menganggap ada harapan Selandia Baru suatu waktu akan mengambil langkah independen, yang tidak tergantung pada sikap sekutu-sekutunya.

ads

Ia memberi contoh soal Timor Leste. “Banyak orang berpikir bahwa pemerintah Selandia Baru tidak akan pernah mengubah arah dan mendukung penentuan nasib sendiri  Timor Timur (sekarang Timor Leste) – tetapi itu benar-benar terjadi. Itu harus terjadi untuk Papua,” kata aktivis yang pro-penentuan nasib sendiri Papua yang bermukim di Selandia Baru itu.

Baca Juga:  Peringati Hari Pers Nasional, Pegiat Literasi dan Jurnalis PBD Gelar Deklarasi Pemilu Damai

Dikatakannya bahwa kebijakan luar negeri Selandia Badiru yang penting selama ini dibuat atas konsultasi dengan sekutu-sekutunya. Para diplomat Selandia Baru terus bertukar informasi, analisis dan laporan dengan rekan-rekan mereka di Washington, London, Canberra dan Ottawa.

Beberapa pembicaraan semacam ini, kata dia, terungkap dalam dokumentasi yang sudah dibuka dan tidak rahasia. Tetapi itu baru sekadar puncak dari gunung es.

“Kita adalah bangsa yang memiliki kebiasaan yang terbentuk ketika terikat erat kepada Inggris sebagai ‘ibu.’ Perang Dunia Kedua dan munculnya pengaruh global Amerika Serikat memodifikasi pola itu tetapi tidak mengubahnya,” kata dia.

Pakta anti-komunis di masa perang dingin seperti ANZUS dan SEATO saat ini memang tidak ada lagi. Namun, kata dia, jejaknya masih tetap ada dalam pengaturan yang luas untuk kerja sama pertahanan, latihan militer dan dalam penyebarannya ke panggung konflik.
Lebih jauh, Selandia Baru adalah anggota dari Perjanjian UKUSA yang rahasia, yang dikenal sebagai Five Eyes, bersama Kanada, Australia, Inggris dan Amerika Serikat. UKUSA adalah jaringan pengumpulan informasi intelijen terkemuka di dunia, telah ada sejak tahun 1946.

Baca Juga:  Hujan di Sorong, Ruas Jalan dan Pemukiman Warga Tergenang Air

Meskipun adanya kaitan dan ketergantungan dengan sekutu-sekutunya, Selandia Baru juga telah melawan arus dalam berbagai isu penting. Sebagai contoh dalam soal senjata nuklir: Selandia Baru telah memberlakukan undang-undang bebas nuklir dan bersikeras melarang kunjungan semua kapal bertenaga nuklir atau senjata nuklir.

“Selandia Baru adalah satu-satunya anggota aliansi negara Barat yang mengambil sikap tegas, yang menentang kebijakan Amerika Serikat yang mengambil posisi “tidak mengkonfirmasi namun juga tidak menolak,” kata aktivis antinuklir itu.

Leadbeater mengatakan pada tahun 1997 Selandia Baru juga memainkan peran penting dalam membantu menjembatani perdamaian antara pihak-pihak yang bertikai dalam konflik yang berkepanjangan di Bougainville, Papua Nugini.

Berdasarkan hal ini, Leadbeater mengatakan ada secercah harapan bahwa Selandia Baru bisa saja bergerak secara independen dari sekutunya dan memberikan beberapa dukungan untuk penentuan nasib sendiri Papua.

Hal ini pernah terjadi berupa inisiatif jangka pendek yang disponsori oleh Perdana Menteri Walter Nash pada pada tahun 1960, dan Menteri Luar Negeri Phil Goff membuat tawaran mediasi sementara di awal tahun 2000-an.

“Orang Papua masih terus berusaha meningkatkan kemungkinan bahwa Selandia Baru dapat berfungsi sebagai mediator dalam dialog dengan pemerintah Indonesia,” tulis Leadbeater.

Harapan yang dilontarkan oleh Leadbeater pada kenyataannya masih menjadi tanda tanya besar. Sikap pemerintah NZ yang seakan-akan menutup mata dan telinga terhadap pelanggaran HAM di Papua bukan lagi rahasia. Ia sudah menjadi sorotan intens berbagai media, termasuk oleh Barbara Dreaver, koresponden News Pacific.

Baca Juga:  Masalah Politik Mendominasi Kunjungan Menteri Prancis Gérald Darmanin di Kaledonia Baru

Dalam liputannya 13 Juni lalu, reporter yang telah meliput kisah pejuang kemerdekaan Papua bertahun-tahun itu menunjukkan dugaan bahwa hubungan dekat Selandia Baru dan Indonesia, terutama dalam perdagangan, menjadi salah satu faktor penyebab keengganan NZ bersuara kritis terhadap isu Papua.

Sementara itu, Kementerian Luar Negeri Selandia Baru tahun lalu dalam penjelasannya kepada sejumlah anggota parlemen yang mempertanyakan arah kebijakan LN negara itu, mengatakan bahwa isu penentuan nasib sendiri Papua masih sulit diangkat di Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

Direktur Divisi Asia Selatan dan Asia Tenggara Kemenlu Selandia Baru, Stephen Harris mengatakan, upaya sejumlah aktivis pro-kemerdekaan Papua menjadikan Papua masuk ke dalam Komite Dekolonisasi PBB terkendala karena langkah itu harus membutuhkan adanya resolusi di Sidang Umum PBB.

“Persoalannya adalah pada saat ini tidak ada jalur membawanya kembali isu itu ke Komite Dekolonisasi (C24) jika hal itu ditolak oleh C24. Indonesia yang merupakan anggota C24 tidak akan setuju,” kata dia, seperti diberitakan oleh radionz.co.nz.

Pewarta: Wim Geissler

Artikel sebelumnyaMenguras Isi Bak Emosi: Catatan Margi Si Regi Koroway (Bagian 6)
Artikel berikutnyaTPN PB KODAP III Ndugama Mengaku Bertanggungjawab Atas Penembakan di Kenyam