Kapitalisasi Konflik Papua: Dari Isu Keamanan Hingga Proyek Kemanusiaan

0
5178

Oleh: Edoardo A. A Mote)*

Wujud nyata dari kerja manusia telah tertelan kedalam logika kapitalisme yang secara otoritatif berhasil meredefinisikan produktivitas dan keuntungan bahkan mampu merevaluasi nilai-nilai kemanusiaan yang secara instrumentalis hanya bermakna jika nilai-nilai tersebut bisa bersanding dengan manfaat kapitalisasi kerja-kerja tersebut.

Komoditas apa yang berpotensi menghasilkan miliaran rupiah selain Emas, Tembaga, minyak Bumi dan Gas alam di Papua? Suatu jenis komoditas yang tidak merusak hutan hujan tropis di Papua dan tidak melanggar HAM? Malahan sebaliknya, komoditas ini justru mengemas harapan dan mimpi orang Papua yang kemudian dipampang di atas etalase moral dan nilai-nilai Kemanusiaan? Komoditas yang bahan mentahnya seakan tidak pernah habis sebab ia sama berlimpahnya dengan emas di Papua. Komoditas yang proses ekstraksinya tidak perlu dilakukan di Jawa sebab Papua sendiri merupakan pabriknya itu sendiri dimana semua elemen masyarakat yang hidup di Papua sebagai tenaga kerjanya. Komoditas manalagi kalau bukan Konflik Politik yang mampu menarik jutaan dolar AS melalui manufakturisasi keamanan dan kerja-kerja sosial di Papua?

Sebelum menjadi komoditas, Konflik merupakan tebaran bahan mentah peristiwa yang hanya bisa ditemukan dengan cara menggali lapisan-lapisan sejarah orang Papua yang dalam dan kelam. Perlu investasi modal besar untuk bisa menerobos masuk hingga ke dalam gua-gua alam bawah sadar orang Papua agar bisa menemukan jutaan memori kepahitan yang telah terendap puluhan tahun akibat represi fisik dan psikologis yang dialami sejak tahun 1960an. Artefak tengkorak manusia dan gumpalan darah berhamburan serta jeritan suara putus asa yang tiada henti dalam gua-gua tersebut menggambarkan getir dan pahitnya batin manusia Papua yang hidup hingga saat ini. Didalam gua dan lorong gelap pekat itulah, bahan mentah konflik orang Papua sebagai jenis tambang berharga bisa ditemukan.

Untuk bisa menariknya keluar ke permukaan dibutuhkan proses eksplorasi dan eksploitasi. Kegiatan ini banyak difasilitasi oleh para Borjuis Kemanusiaan, Kapitalis Oportunis, Media Massa dan Pemerintah sendiri selaku regulator yang mengatur tentang tata cara menambang “bahan mentah” ini dengan baik dan benar. Beberapa kegiatan ini dilakukan secara legal maupun sembunyi-sembunyi. Cara-cara legal sering ditempuh oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) maupun perusahaan yang ingin berinvestasi di suatu tempat untuk membuat pemetaan sosial politik dan budaya masyarakat setempat guna sebagai pijakan referensi dalam pengambilan kebijakan atau pembuatan program kerja bagi LSM. Praktek-praktek tersembunyi juga tidak jarang melibatkan perusahaan yang “menambang” tanpa melewati prosedur yang berlaku. Hal ini sering dilakukan dalam misi tertentu untuk mendapat informasi kunci yang dirasa agak sulit jika harus melalui jalur legal. Kegiatan “tambang” secara sembunyi-sembunyi juga dilakukan oleh media baik nasional maupun internasional dengan kepentingannya masing-masing. Biasanya, agar aktivitas ini berhasil mereka merekrut orang lokal (orang Papua) sebagai penunjuk arah sekaligus penambang “logam mulia” tersebut. Jadilah orang Papua saling mengeksploitasi orang Papua. Sekali lagi, eksploitasi sejarah dan situasi kelam orang Papua yang menyimpan sejuta kepahitan dan air mata terasa tidak merugikan dan menyakitkan sebab dilakukan dengan mengoperasikan mesin moralitas dan ideologi humanis.

ads
Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Setelah dibawa keluar, bahan mentah (sejarah kelam orang Papua) tersebut kemudian dibawa ke pabrik agar bisa diekstraksi untuk meningkatkan nilai barangnya (goods value). Di dalam pabrik ada berbagai elemen yang saling terpaut satu sama lain membentuk sistem kerja mesin untuk memproduksi narasi Konflik sebagai komoditas akhirnya (final goods). Berbagai elemen tersebut antara lain Pemerintah (termasuk Aparatus Keamanannya), Pengusaha (termasuk Investor dan Perusahaan Multinasional) dan Partai Politik selaku kelompok kepentingan (interest group), Tokoh Agama, Adat dan Pemuda selaku representasi Masyarakat (society) serta Organisasi Masyarakat (LSM) dan Media yang bisa memiliki fungsi ganda, baik sebagai kelompok penekan (pressure group) maupun kelompok kepentingan (interest group). Keenam elemen ini saling terhubung satu sama lain dalam memproduksi narasi Konflik di Papua. Oleh karena bahan mentah (raw material) untuk memproduksi narasi Konflik di Papua mudah diakses, keenam elemen ini bisa mengolah Sejarah dan situasi Papua masa kini sesuai selera mereka. Inilah yang menyebabkan adanya beragam cita rasa ketika kita ingin mengecap persoalan Papua. Namun apapun rasanya, yang pasti bahwa Komoditas ini laris manis di pasaran baik di dalam negeri maupun di luar negeri.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Menarik untuk mencermati bagaimana proses kapitalisasi komoditas ini berkembang seperti sebuah kabel spiral. Pertama, sejarah kelam Papua sebagai bahan mentah dieksplorasi dan dieksploitasi. Kedua, ia mengalami proses pabrikasi menjadi sebuah produk komoditi. Selanjutnya, komoditi ini diperdagangkan dengan sejumlah proyek keamanan, pembangunan dan kemanusiaan di Papua. Nilai kapitalnya semakin meningkat setelah melewati fase eksplorasi/eskploitasi, pabrikasi dan transaksi. Sudut pandang ini memberikan gambaran tentang bagaimana militerisasi wilayah Papua. Konflik di Papua menciptakan gejolak sosial dan rasa tidak aman. Situasi ini selanjutnya menciptakan kebutuhan akan adanya garansi Keamanan. Nilai kapital Keamanan dikatrol dan dipertahankan oleh konflik Papua. Inilah sebabnya mengapa konflik di Papua sulit untuk diurai apalagi diselesaikan. Konflik Papua dipelihara untuk menjaga nilai kapitalnya tetap tinggi. Dan tiga sektor yang paling diuntungkan dari tingginya komoditas ini adalah sektor Kemanusiaan, Infrastruktur dan Keamanan. Dari sini kita bisa melihat bagaimana mekanisme kerja pabrik yang memiliki siklus operasi produksi terus berjalan di Papua. Konflik merupakan prasyarat bagi masuknya proyek-proyek kemanusiaan, pembangunan dan keamanan di Papua. Ini sama halnya dengan institusi kesehatan seperti Rumah sakit yang akan terus ada selama ada orang sakit yang datang berobat. Demikian juga pembangunan yang masif berlangsung selama ini didorong secara maksimal untuk “menyelesaikan” konflik di Papua. Sejatinya gerak spiral kapitalisasi beroperasi dalam mekanisme hubungan mutual-paradoxial ini. Kapitalisasi Konflik Papua yang saat ini semakin tinggi mesti dibayar dengan banjiran proyek-proyek pembangunan infratstruktur. Kita bisa melihat contoh lain dari hubungan model ini seperti kepolisian dan kriminal serta kemiskinan dan program-program parokial untuk memberi makan orang miskin.

Narasi yang beredar baik di dalam maupun di luar Papua menunjukkan bagaimana komoditi ini direproduksi dengan nilai tertentu, dalam jumlah massal dan dikemas sesuai selera konsumen berdasarkan geo-diskursusnya. Di Papua ia dikemas dalam bentuk Politik Identitas, di luar Papua ia dikemas dalam bungkusan Kebijakan Afirmasi, anti-kolonialisme dan HAM. Di kalangan elit ia dilabeli separatisme dan isu disintegrasi. Agar bisa terdistribusi secara luas, komoditi ini dibonceng berbagai isme, program dan kebijakan yang beredar baik dari dan ke Papua. Sebagai contoh, bagaimana Sosialisme sebagai sebuah isme mengemas dan mendistribusikan komoditi ini melalui dinding-dinding media sosial seperti Facebook, Twitter dan blog pribadi. Contoh lain adalah menjamurnya berbagai program baik dari lembaga pemerintah maupun lembaga swasta skala internasional yang masuk ke Papua dalam rangka pemberdayaan ekonomi, kesehatan dan pendidikan yang tersebar di beberapa daerah di Papua. Pola-pola distribusi seperti ini mirip kabel spiral (seperti yang telah disebut diatas) yang bersifat viral sehingga semakin luas sirkulasinya, semakin tinggi nilai kapitalnya.

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Sampai pada titik ini, batas tegas antara kerja kemanusiaan dan motivasi untuk perlindungan dan pembangunan masyarakat Papua di satu sisi dengan orientasi profit di sisi lain seakan menjadi kabur. Disaat proyek kemanusiaan, pembangunan dan keamanan dikerjakan, ada unsur nilai lebih (surplus value) yang dihasilkan dari kapitalisasi komoditi konflik Papua. Dengan kata lain, surplus nilai ini tidak hanya berupa materi ekonomi saja, melainkan juga bisa direkapitalisasi menjadi modal sosial-politik, entah itu dalam  bentuk Pamor (sebagai akibat dari publisitas), Gengsi maupun Kedudukan.

Memang isu Papua dengan segala kompleksitas permasalahannya tidak bisa menghindar dari praktek-praktek transaksional sebagai jalan penyelesaiannya. Namun, jika hal itu dilakukan dengan cara-cara memanipulasi psikologis sosial-politik orang Papua untuk menciptakan spiral kapitalisasi konflik Papua supaya dinikmati oleh segelintir orang saja termasuk menimbun modal sosial-politik (yang sering digadai bahkan dijual demi sebuah kedudukan dalam konteks ekonomi dan politik praktis), bukankah hal tersebut merupakan suatu eksploitasi sejarah, identitas dan orang Papua itu sendiri?

)* Penulis adalah Ketua Divisi Data dan Advokasi LSM Perkumpulan Silva Papua Lestari Merauke

Artikel sebelumnyaMari Kita Bekerja: Marxisme Sebagai Pisau Analisa Perjuangan Bangsa Papua  
Artikel berikutnyaSolidaritas HAM Papua: Hentikan Operasi Gabungan di Kabupaten Nduga