Kesadaran Politik dan Pembentukan Politik Identitas Papua

Sebuah Tinjauan “Kesadaran Kelas” Marxis” dan Teori Psikologi Sosial

0
6179

Oleh: Edoardo A. A Mote)*

  1. Pendahuluan

Sebuah perjuangan politik selalu membutuhkan organisasi sebagai wadah aspirasi politik. Wadah ini nantinya menjadi simbol identitas politik. Identitas politik bisa dibentuk berdasarkan agama, gender, pendidikan maupun etnis. Pembentukan identitas politik sendiri merupakan serangkaian proses politik yang secara tematis diawali dengan bangkitnya kesadaran politik (Politic Awareness) hingga aksi politik (Political Actions).

Kesadaran politik merupakan rahim bagi lahirnya politik identitas. Pembentukan politik identitas Papua merupakan polarisasi kelas-kelas sosial secara vertikal, dimana pemerintah sebagai kelas penguasa dan orang Papua sebagai kelas tertindas. Kelas tertindas ini berupaya untuk memperformasikan dirinya kedalam suatu terma politik identitas. Namun demikian, masih ada berbagai tantangan yang dihadapi. Tulisan ini menggunakan konsep Kesadaran (Consciousness) Marxisme dan Psikologi Sosial untuk menerangkan bagaimana politik identitas terbentuk dan tantangannya dalam konteks Papua di masa sekarang.

  1. Kesadaran Politik

a. Kesadaran Kelas Marxis

Menurut Thomas Collier identitas politik merupakan gejala bangkitnya kesadaran (consciousness) karena adanya perasaan bersama tertindas[1]. Dalam pandangan Marxisme, kesadaran (consciousness) berhubungan dengan kesadaran diri (self-aware) tentang posisinya dalam sejarah secara politik. Kesadaran politik ini bangkit akibat situasi politik-ekonomi yang membuatnya tertindas dalam suatu struktur sosial masyarakat.[2] Marx menggunakan istilah Kesadaran Kelas (Class Consciousness) untuk merujuk pada bangkitnya kesadaran politik oleh kelas sosial yang tertindas secara ekonomi dan politik. Absennya  kesadaran, orang akan cenderung untuk melihat dirinya terisolasi secara individu, ketimbang bekerja secara kolektif, orang akan bekerja secara individu untuk meningkatkan status sosialnya.[3]

ads

Lebih lanjut, adalah George Lukacs dalam tradisi pemikiran Marx yang mengatakan bahwa sentral dari Kesadaran Kelas adalah mengakui bahwa hubungan sosial bukanlah terjadi secara natural atau tidak terhindarkan (yang merefleksikan Kesadaran yang Salah/False Consciousness), melainkan sebagai sebuah konstruksi artifisial terhadap individu dengan kekuasaan untuk mendefinisikan norma kehidupan sosial.[4] Menurutnya, Kesadaran Kelas mesti dilihat sebagai fenomena kolektif (Collective Phenomena) yang lahir untuk mengejar kepentingan kelas tertentu.[5] Perspektif ini menyatakan bahwa untuk memahami kesadaran kelas baik secara psikologi maupun praktikal adalah dengan melihat bagaimana individu-individu menempatkan dirinya didalam proses struktural dan historikal yang berkaitan dengan kelas sosial mereka. Dengan kata lain, kolektivitas kesadaran kelas haruslah merupakan refleksi dari kolektivitas pengalaman bersama.[6]

 b. Psikologi Sosial

Analisa tentang bangkitnya kesadaran politik dihadirkan juga oleh pendekatan psikologi sosial yang memperhatikan gejala psikologi masyarakat akibat situasi ekonomi-politik. Pendekatan ini menakar dua variabel utama untuk melihat potensi bangkitnya kesadaran politik, yakni Variabel Objektif (objective measurement) seperti Pendapatan (income) dan Variabel Subjektif (subjective measurement) seperti pengalaman relatif individu terhadap  struktur ekonomi dimana kelompok-kelompok kelas eksis.[7] Kedua variabel ini memiliki korelasi signifikan dalam membentuk persepsi yang pada akhirnya turut membentuk perbedaan perilaku politik (Political Behaviour) diantara kelas-kelas sosial.

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Model Psikologi Sosialnya Michael Mann mengidentifikasikan empat elemen kesadaran kelas individu, yakni Totalitas Kelas (Class Totality), Oposisi Kelas (Class Opposition), Identitas Kelas (Class Identity) dan Tanpa Kelas (Classless). Dari keempat elemen ini hanya tiga elemen pertama saja yang digunakan untuk menganalisa Kesadaran Kelas. Secara sederhana Class Totality merujuk pada persepsi tentang struktur sosial secara keseluruhan, sementara Class Opposition fokus pada bagaimana relasi intergrup dari berbagai kelas. Class Identity sendiri lebih menekankan pada level personal tentang bagaimana individu menemukan posisi dalam kelas sosial dengan tepat.[8]

Dalam publikasi ilmiahnya, Lucas A. Keefer dkk menggabungkan model Mann dengan model Gurin yang telah lebih dulu terbit. Model analisa Gurin juga mengidentifikasikan empat elemen Kesadaran Kelas, pertama Identifikasi (Identification) dengan kelompok kelas. Kedua Power Discontent atau perasaan bersama atas hilangnya hak-hak. Ketiga Penolakan terhadap Legitimasi (Rejection of Legitimacy) atau sebuah persepsi bersama tentang hirarki yang tidak adil. Terakhir adalah Orientasi Kolektif (Collective Orientation) yang merupakan motivasi bersama untuk menegakkan kembali distribusi sumber daya secara adil.[9]

Penggabungan dari kedua model ini terekstrasi menjadi tiga elemen utama yaitu Structural awareness, Intergroup conflict and boundaries dan Personal identification and experience. Structural awareness merupakan sebuah pengakuan bahwa distribusi sumber daya ekonomi adalah berdasarkan kelompok kelas dan tidak semata atas balas jasa individu. Sementara Intergroup conflict and boundaries mengidentifikasikan bahwa kepentingan antar kelas selalu berseberangan sehingga konflik antar kelas merupakan hal yang tidak bisa dihindari. Personal identification and experience menekankan tentang bagaimana seseorang mengidentifikasikan dirinya kedalam sebuah kelompok sosial.[10]

c. Elaborasi Kesadaran Kelas” Marxis” & Teori Psikologi Sosial

Teori Marxis menekankan pada faktor ekonomi-politik sebagai operator yang membangkitkan kesadaran politik kelas sosial tertentu. Mann sebaliknya melihat persepsi personal pada level struktur, antar-grup dalam relasi kelas dan level individu sebagai faktor dominan yang mempengaruhi kesadaran politik. Meskipun demikian keduanya sepakat bahwa pengalaman kolektif (collective experience) merupakan proyektor utama yang memproduksi keseragaman sikap politik (Political Behaviour) yang nantinya mampu menggerakkan aksi politik bersama (collective political action).

Dengan demikian, intisari dari Kesadaran Kelas terdiri dari : Persepsi terhadap struktur sosial (Awareness) yang mana sadar akan eksistensi grup-grup kelas, Relasi Kelas (Konflik dan Impermeabilitas, mengakui bahwa adanya konflik kepentingan dan ideologi antar kelas) dan Pengalaman personal dengan kelas sosial tertentu (identifikasi dan pengalaman, mengdentifikasikan diri dengan kelompok kelas sosial tertentu).[11]

  1. Tantangan Terhadap Pembentukan Politik Identitas Papua

Dengan menggunakan kedua pendekatan diatas, kita bisa membedah persoalan pembentukan identitas politik Papua. Pertama, ada kesenjangan stratifikasi ekonomi orang Papua yang menentukan kelas sosial mereka. Kesenjangan ini justru semakin terasa sejak OTSUS diberlakukan. Distribusi sumber daya ekonomi yang tidak merata menciptakan gap yang besar antara orang Papua. muncullah fenomena Orang Kaya Baru (OKB) Papua yang sebagian besar merupakan birokrat. Disaat yang sama, jumlah orang Papua yang jatuh ke ambang bawah garis kemiskinan meningkat di era OTSUS. Pengalaman kehidupan ekonomi sehari-hari ini berperan besar dalam membentuk persepsi orang Papua untuk melihat realitas sosial-politiknya. Dengan adanya gap ekonomi, persepsi orang Papua menjadi terbelah sehingga sikap politiknya pun terpecah. Kelas sosial menengah ke atas bertindak lebih pragmatis, sementara kelas sosial menengah ke bawah mengambil sikap lebih radikal untuk menyatakan pandangan politiknya. Disisi lain, pengalaman kolektif orang Papua yang menjadi pupuk utama untuk menumbuhkan kesadaran politik bersama hampir tidak ada. Memang ada upaya untuk merajut cuplikan-cuplikan penindasan yang terjadi di sana-sini dengan kurun waktu yang berbeda kedalam satu narasi besar perjuangan pembebasan. Namun, lagi-lagi usaha tersebut belum menunjukkan hasil signifikan. Ini karena proses rajutannya tidak sesuai dengan desain utama yang diharapkan, yakni Identitas Politik. Pembentukan identitas politik mensyaratkan adanya representasi politik yang proposional. Di era media digital kita bisa cukup memahami bahwa representasi politik orang Papua lebih didominasi oleh kelompok suku tertentu. Dalam komunikasi politik tidak langsung yang diwakili oleh serangkaian tanda (secara semiotik), orang akan beranggapan bahwa panggung perjuangan merupakan ruang eksklusif. Dengan demikian, meskipun orang Papua memiliki kesadaran akan realitas politiknya (Structural awareness/self-consciousness) dan sadar bahwa ada konflik vertikal antara Orang Papua dan Pemerintah (Intergroup conflict and boundaries), ia akan menahan dirinya untuk secara aktif tergabung dalam kelompok sosial yang memperjuangkan pembebasan (Personal identification and experience). Fakta hari ini bahwa sebagian besar orang Papua hanya menjadi Penyorak penggembira di tribun perjuangan.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Dari sini kita mengidentifikasikan adanya dua persoalan utama terkait kesadaran politik. Pertama tidak adanya pengalaman bersama (collective experience) yang menimbulkan perasaan bersama khususnya di generasi Papua masa kini. Pengalaman yang dimaksud adalah pengalaman tertindas oleh kelas sosial lainnya yang nantinya membentuk persepsi bersama dan tindakan politik secara kolektif. Jika kita mengambil posisi sebagai kelas penguasa kita jadi mengerti mengapa kekerasan selalu terjadi secara sporadis serta temporer dan tidak pernah terjadi dalam tekanan yang sama diberbagai tempat di Papua. Selain itu, eskalasi konflik di Papua tidak pernah dibiarkan mencapai titik didihnya. Eskalasi konflik yang terjadi di Merauke berbeda dengan yang terjadi di wilayah pegunungan Papua. Pola kekerasan yang terjadi di kota dengan di kampung juga berbeda. Perbedaan intensitas dan pola kekerasan dimaksudkan agar fragmentasi pengalaman kolektif terus berjalan sehingga akan sangat sulit untuk merajutnya menjadi satu narasi utuh perjuangan politik orang Papua. Dibutuhkan kreatifitas dan inovasi yang cukup untuk menanggulangi persoalan ini. Kita perlu menarasikan kekerasan yang terjadi di Kokas, Fak-fak menjadi kekerasan yang dirasakan secara bersama. Kita juga perlu membagi mimpi secara merata tentang kehidupan dimasa depan yang lebih baik dari hari ini jika kita berjuang bersama-sama.

Baca Juga:  Freeport dan Fakta Kejahatan Kemanusiaan Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 3)

Namun, semua itu bisa tercapai jika kita bisa memperbaiki proporsionalitas representasi politik dari berbagai suku dan agama untuk menghapus kesan eksklusif panggung perjuangan orang Papua. Menjadi kelompok sosial yang terbuka (inklusif) turut membuka jalan bagi emansipasi perjuangan politik agar kelompok dari semua suku merasa memiliki hak sekaligus tanggung jawab untuk mengemban misi perjuangan. Dengan demikian, ketika semua orang Papua merasa telah terwakili diatas panggung perjuangan, kemungkinan besar mereka tidak hanya secara sukarela saja mengidentifikasikan diri mereka kedalam kelompok perjuangan dan sekedar menjadi tim penyorak, tetapi juga mengambil sikap untuk sebuah aksi politik (Political action) nyata.

)* Penulis adalah Ketua Divisi Data dan Advokasi LSM Perkumpulan Silva Papua Lestari Merauke

           

Referensi :

  • Collier-Thomas, edited by Bettye; Franklin, V.P. (2001). Sisters in the struggle African American women in the civil rights-black power movement ([Online-Ausg.]. ed.). New York: New York University Press. Hal. 39.
  • Fantasia, R. (1995). From class consciousness to culture, action, and social organization. Annual Review of Sociology, 21, 269-287
  •  Lucas A. Keefer, Chris Goode, Laura Van Berke :Toward a Psychological Study of Class Consciousness: Development and Validation of a Social Psychological Model, https://jspp.psychopen.eu/article/view/492/html
  • Mann, M. (1973). Consciousness and action among the western working class. London, United Kingdom: Macmillan.
  • Marshall, G. (1983). Some remarks on the study of working-class consciousness. Politics & Society, 12, 263-301
  • https://www.marxists.org/glossary/terms/c/o.htm
  • [1] Collier-Thomas, edited by Bettye; Franklin, V.P. (2001). Sisters in the struggle African American women in the civil rights-black power movement ([Online-Ausg.]. ed.). New York: New York University Press. Hal. 39.
  • [2] https://www.marxists.org/glossary/terms/c/o.htm
  • [3] Lucas A. Keefer, Chris Goode, Laura Van Berke :Toward a Psychological Study of Class Consciousness: Development and Validation of a Social Psychological Model, https://jspp.psychopen.eu/article/view/492/html
  • [4] Lukács, G. (1971). History and class consciousness (R. Livingstone, Trans.). Cambridge, MA, USA: The MIT Press. (Original work published 1923)
  • [5] Fantasia, R. (1995). From class consciousness to culture, action, and social organization. Annual Review of Sociology, 21, 269-287
  • [6] Marshall, G. (1983). Some remarks on the study of working-class consciousness. Politics & Society, 12, 263-301
  • [7] Ibid.Hal.254
  • [8] Mann, M. (1973). Consciousness and action among the western working class. London, United Kingdom: Macmillan.
  • [9] Lucas A. Keefer, Chris Goode, Laura Van Berke :Toward a Psychological Study of Class Consciousness: Development and Validation of a Social Psychological Model, https://jspp.psychopen.eu/article/view/492/html, hal. 257
  • [10] Ibid. hal. 258-260
  • [11] Ibid. hal. 261
Artikel sebelumnyaGubernur Mandacan Bicara Soal Komsumsi Pangan
Artikel berikutnyaMusa Kamudi: Pemekaran Kampung dan Distrik Tetap Mengacu pada UU