Masyarakat Adat Byak Protes Proyek Pembangunan Stasiun Satelit

0
15661

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Lokasi proyek pembangunan bandar udara (bandara) antariksa di kampung Saukobye, Distrik Biak Utara, Kabupaten Biak Numfor, diprotes masyarakat pemilik ulayat karena selain sejak awal tidak disosialisasikan dengan baik, juga mengingat prediksi munculnya dampak besar di kemudian hari.

Stasiun peluncuran satelit akan dibangun Lembaga Penerbangan dan Antariksa (Lapan) di lokasi sekitar 40 Km dari Pulau Biak. Luas tanah adat untuk proyek ini diperkirakan menggunakan 100 hektare. Lokasinya terletak di sebelah pantai utara Biak, menghadap langsung ke lautan Pasifik.

Berlanjutnya protes dari masyarakat adat terkait lokasi pembangunan bandara antariksa untuk digunakan sebagai tempat peluncuran roket berskala besar, ternyata karena sejak awal tidak disosialisasikan dengan baik. Hal itu diketahui dari laporan masyarakat adat yang masih belum menerima adanya pelepasan tanah adat ke pemerintah dalam hal ini Lapan.

Bidang Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan (KPKC) Sinode GKI di Tanah Papua mengakui adanya protes dari masyarakat adat setelah berkunjung ke Biak, Minggu (15/5/2018) lalu.

Keberatan dan protes dari masyarakat adat terkait pertemuan antara masyarakat adat, empat perwira TNI, perwakilan Polri dan Klasis Biak Utara, dimana pertemuan berlangsung di kampung Andei dalam rangka membicarakan rencana pembangunan tersebut. Selama pertemuan berlangsung, ketua klasis Biak Utara Pdt. Abrauw atas nama suku Saukobye menyatakan keberatannya terhadap proyek pemerintah.

ads

Pdt. Abrauw selaku pemilik hak ulayat atas tanah dari suku Saukobye, menjelaskan bahwa masyarakat adat menuntut agar tanah mereka dikembalikan sebagai warisan leluhur. Sejak terjadi gempa bumi dan tsunami pada tahun 1996 telah memaksa suku Saukobye direlokasi, karena lokasi untuk perumahan dan berkebun berkurang.

Sebenarnya, tegas Abrauw, luas tanah terlalu kecil untuk bangun bandara antariksa. Dalam hal ini menurutnya, pihak Lapan tidak pernah menjelaskan ke masyarakat adat tentang manfaat dan dampak negatif dari bandar antariksa tersebut.

Dikutip dari laporan KPKC Sinode GKI di Tanah Papua tertanggal 15 Agustus 2018, seorang pensiunan militer bernama Lukas Krobo saat pertemuan itu mencoba menyerang Pdt. Abrauw. Aksi ini dicegah oleh Polisi dan masyarakat yang hadir. Perwira TNI meminta masyarakat adat menandatangani surat pelepasan tanah adat mereka untuk kemudian akan dibangun bandar antariksa.

Baca Juga:  KPU Tambrauw Resmi Tutup Pleno Tingkat Kabupaten

Keberatan

Protes dari masyarakat adat didasarkan beberapa fakta dan alasan. Setidaknya ada tiga keberatan terkait rencana pembangunan bandar antariksa di kampung Saukobye.

Pertama, luas tanah yang tersedia (100 Ha) tidak cukup untuk membangun bandar antariksa. Perkiraan oleh tim survey menyatakan luas tanah yang dibutuhkan adalah tujuh kali lipat dari luas tanah yang ada saat ini.

Kedua, hasil survei yang dilakukan Lapan dan China Wall Industry Corporation (CGWIC) menyatakan bahwa khawatir dengan situasi keamanan di lokasi proyek. Tindakan pencegahan umum menyarankan parameter keamanan minimal 5 km dari pemukiman warga. Saat ini, banyak pemukiman warga berjarak kurang dari 1 Km dari lokasi Lapan. Tentu saja masyarakat adat harus dipindahkan atau direlokasi dari tanah leluhur mereka.

Ketiga, pada tanggal 22 Agustus 2002, pemimpin masyarakat adat (kepala suku) menemukan dokumen pelepasan tanah dan sertifikatnya. Dari dokumen ini masyarakat adat mengetahui bahwa di tahun 1980, para kepala suku menyetujui pelepasan tanah hanya 15 Ha. Namun sertifikat tanah yang saat ini menyatakan kepemilikan tanah Lapan seluas 100 Ha.

Terhadap protes tersebut, CNNIndonesia.com edisi Senin (20/8/2018) mengabarkan, pihak Lapan belum memberi respon, bahkan menurut Thomas Jamaluddin, kepala Lapan, pihaknya sejauh ini belum memutuskan lokasi bandar antariksa.

Tekan Masyarakat

Pertemuan pertama antara perwakilan pemerintah, Lapan, militer dan penduduk kampung Andei dan Warbon pada tahun 1980, setelah Lapan melakukan survei. Selama pertemuan, kepala distrik pada saat itu Alimudin Sabe mencoba meyakinkan pemegang hak ulayat untuk memberikan tanah leluhur seluas 100 Ha.

Ketika itu kepala distrik maupun kepala Lapan tidak menjelaskan tujuan proyek dan dampak positif dan negatif yang akan dialami oleh masyarakat sekitar. Kepada pihak Lapan, masyarakat adat pada saat itu meminta harga satu miliar rupiah.

Seargen Kamsi, kepala Korem, menganggap permintaan ganti rugi tanah sebagai upaya untuk menghalang-halangi pembangunan dan menuduh masyarakat sebagai pendukung Organisasi Papua Merdeka (OPM). Sebuah tuduhan yang dapat menyebabkan kekerasan militer, seperti pernah terjadi pada masa Orde Baru dibawah pemerintahan diktator Soeharto.

Baca Juga:  Paus Fransiskus Segera Kunjungi Indonesia, Pemerintah Siap Sambut

Merasa terancam dengan tuduhan tersebut, masyarakat adat dari marga Abrauw dan Rumanderi akhirnya setuju untuk serahkan tanah leluhur mereka demi proyek pembangunan bandar antariksa.

Pertemuan selanjutnya dilaksanakan antara perwakilan pemerintah dan militer. Pada 21 Agustus 2002, diadakan oleh Danrem Biak, dan masyarakat adat diundang. Selama pertemuan, masyarakat adat Warbon, melalui juru bicara meminta penjelasan tentang dampak positif dan negatif dari proyek bandar antariksa.

Masyarakat adat juga menanyakan mengapa pemerintah selalu melibatkan militer dalam urusan negosiasi, hal itu membatasi kebebasan masyarakat dalam mengungkapkan pendapat mereka.

Masyarakat adat Warbon juga menyatakan kepada pemerintah untuk mengembalikan tanah leluhur mereka seluas 100 Ha. Ini karena ketika negosiasi, pemerintah tidak menghargai adat istiadat dan tidak sesuai dengan prinsip bebas, didahulukan, penjelasan dan persetujuan (FPIC).

Tidak itu saja. Pimpinan adat suku Saukobye terus menyatakan klaim mereka selama kunjungan oleh perwakilan Lapan. Pada Sabtu (15/3/2014), penduduk kampung menutup jalan selama kunjungan dari kepala Lapan Biak berlangsung.

Sebelumnya pasukan TNI membersihkan area lokasi dalam rangka mempersiapkan kunjungan Direktur Lapan tanggal 12 Maret 2014. Perwakilan masyarakat adat kembali menyuarakan penolakan yang sama. Mereka berpendapat, pengambilalihan prinsip FPIC tanah adat tidak dihargai.

Masyarakat adat ditekan untuk menjual lokasi tersebut dengan harga yang sangat murah. Tanggal 19 Juli 1980, sekretaris daerah Kabupaten Biak Numfor, Dolf Faidiban memberikan kompensasi sebesar Rp15.000.000.

Para kepala suku meminta pertemuan langsung dengan tua-tua adat, saksi yang pernah menghadiri pertemuan di tahun 1980 dan perwakilan Lapan untuk negosiasi ulang kesepakatan pelepasan tanah adat.

Peluncuran Roket

Dasar hukum untuk pembangunan bandar antariksa ini ditetapkan dalam Pasal 44 – 50 Undang-undang Nomor 21 tahun 2013 tentang Keantariksaan. Rancangan dokumen rencana pendirian fasilitas bandar antariksa disarankan agar master plannya diselesaikan sampai tahun 2017. Studi kelayakan di tahun 2016 mengidentifikasi lokasi yang tepat untuk mendirikan pusat penelitian antariksa dan bandara antariksa sampai tahun 2017. Pemerintah telah merencanakan untuk meluncurkan roket yang membawa satelit ke orbit.

Baca Juga:  Pacific Network on Globalisation Desak Indonesia Izinkan Misi HAM PBB ke West Papua

Lapan telah memiliki Stasiun Peluncuran Roket di Desa Cilautereun, Kecamatan Pamengpeuk, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Stasiun itu hanya difungsikan sebagai pusat uji terbang roket berskala kecil. Sedangkan untuk peluncuran roket berskala besar, kata Thomas, butuh tempat yang lebih aman.

Lautan Pasifik di depan kampung Saukobye. (Doc. KPKC Sinode GKI TP)

Karena itu, kata dia, Biak dipilih sebagai tempat pembangunan bandara antariksa dibanding di Morotai, Maluku Utara. Hal ini berdasarkan hasil pengkajian dari berbagai aspek terkait.

Dipilihnya Biak, imbuh Thomas, opsi paling memungkinkan mengingat tingkat kepadatan penduduk relatif lebih rendah dan berhadapan dengan Samudera Pasifik.

Biak menurutnya sangat tepat lokasi yang aman dari kemungkinan muncul resiko kejatuhan objek antariksa setelah dilakukan peluncuran.

Lapan akui bandara tersebut amat penting bagi Indonesia untuk merespons terus berkembangnya teknologi keantariksaan dunia serta mendorong kemandirian penguasaan iptek dan antariksa nasional.

Hasil Kajian

Biak Numfor meski dianggap strategis dan sesuai kebutuhan syarat geografis sebuah bandara antariksa pertama di Indonesia, hasil studi kelayakan dan kajian menunjukkan bahwa luas lahan sangat kecil.

“Lahannya kecil sekali dan tidak cukup dari apa yang diamanatkan dalam undang-undang. Apalagi di situ masyarakat sudah sangat padat,” kata Husni Nasution, tim kajian Bandara Antariksa Lapan, dilansir tabloidjubi.com edisi Selasa (23/8/2016).

Diakui 100 hektare lahan sudah disiapkan untuk proyek tersebut, namun menurut Husni, lahannya kecil sekali apalagi di situ masyarakat sudah sangat padat.

Proyek rencana pembangunan bandara peluncuran roket dan satelit untuk kepentingan sipil itu diketahui memakan investasi besar dan tentu saja tidak dapat dilakukan sendiri. Menurut Thomas, dilansir dari merdeka.com (9/8/2016), investasi yang dibutuhkan sangat besar dan harus bermitra dengan negara lain. Beberapa investor tertarik melakukan pengembangan, misalnya dari Republik Rakyat Tiongkok, yang mintanya bahkan sekitar 700-an hektare.

Data Lapan, hingga kini baru ada dua bandara antariksa di dunia yang memiliki lokasi strategis. Yaitu bandar antariksa Guyana di Kouruo, Prancis, dan bandara antariksa Alkantara, Brasil. Jika proyek di Biak Utara berhasil, Indonesia akan dicatat sebagai negara ketiga yang meluncurkan satelit dari garis Khatulistiwa.

Pewarta: Mary Monireng

Artikel sebelumnyaHindarkan Pergaulan Bebas, SSB Papua United Hadir di Yahukimo
Artikel berikutnyaPrihatin Kondisi Mahasiswa Meepago, Ini Janji Meki Nawipa