ArtikelOpiniBelajar dari Asmat: Perspektif Ilmu Gizi untuk Masalah Kesehatan di Wilayah Endemik...

Belajar dari Asmat: Perspektif Ilmu Gizi untuk Masalah Kesehatan di Wilayah Endemik Malaria

Oleh: Lestari Octavia)* dan Tim Pengabdian Masyarakat Ilmu Gizi FK UI ke Asmat

Awal tahun 2018, media massa dipenuhi dengan berita campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat yang berujung kejadian luar biasa (KLB) pada 15 Januari 2018. KLB yang menelan korban 72 anak-anak. Penulis berkesempatan mengunjungi ibukota Kabupaten Asmat bergabung bersama Tim Peduli UI di distrik Agats dan Kolf braza pada 16-22 Februari 2018. Kemudian di bulan Juli-Agustus 2018 telah dilakukan lanjutan program pengabdian masyarakat untuk penanganan gizi buruk dan anemia.

Etiologi status gizi balita

Dalam ilmu gizi, triangle status gizi dipengaruhi tidak hanya oleh asupan, tapi juga penyakit dan pengasuhan. Untuk menilai status gizi anak, pengukuran dimensi tubuh dilakukan untuk mengelompokkan anak menggunakan standar WHO/NCHS, dikenal dengan istilah pengukuran anthropometri. Kunjungan Februari lalu, dilakukan pegukuran anthropometri dan pemeriksaan haemoglobin (Hb) pada 30 balita di Kampung Suruw dan Aswetsy, Distrik Agats.

Subyek yang berhasil dikumpulkan sebenarnya bukan jumlah yang memadai untuk dilakukan rapid assessment, namun alokasi waktu dan tenaga yang terbatas membuat tim tidak dapat meluaskan target. Dari data yang diperoleh untuk pemeriksaan anthropometri menunjukkan lebih dari 50% di bawah kurva standar untuk tiga indikator, wasting (berat badan untuk kelompok umur), stunting (tinggi badan untuk kelompok umur), dan underweight (berat badan untuk tinggi badan). Hal menggembirakan, terdapat subyek pengukuran yang pernah dirawat untuk KLB gizi buruk dan ketika tim kembali berkunjung, subjek sudah menunjukkan kenaikan berat badan.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Khusus untuk data Hb yang menjadi indikator anemia, kondisi geografis, topografi Papua menyebabkan endemik malaria jenis falcifarum. Malaria jenis ini penyebab 50% kasus anemia parah pada anak, seperti kejadian di Kenya. Anemia sendiri merupakan tahapan paling berat pada kekurangan zat gizi besi yang dikenal dengan istilah anemia kekurangan zat besi, padahal besi sangat diperlukan dalam berbagai proses metabolisme tubuh. Kejadian kekurangan zat besi pada tingkat ekstrim dapat menyebabkan kematian.

Dari data pemeriksaan lapangan, berdasakan standar WHO, ditemukan lebih dari 90% anak yang menderita anemia dengan berbagai kategori ringan, sedang bahkan parah. Selain anemia, kondisi ini diperburuk dengan kejadian campak. Campak adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus, yang dapat diperburuk oleh kondisi gizi buruk. Kondisi kompleks gizi buruk-campak yang dapat berakibat fatal karena menganggu respirasi, komplikasi neurologis, dan diare. Pada kasus KLB di Asmat, penyebab kematian yang utama adalah campak (66 anak-anak) dan gizi buruk (8 anak-anak), sehingga vaksinasi campak menjadi salah satu program ujung tombak di Asmat yang dibantu TNI.

Langkah Pencegahan Ulangan KLB

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Pemerintah pusat maupun daerah tentu tidak ingin ulangan KLB terjadi. Universitas Indonesia sebagai institusi pendidikan tinggi dan bagian dari tri darma perguruan tinggi, beberapa hal coba dirumuskan:

  1. Edukasi

Edukasi berkelanjutan merupakan keharusan yang mencakup kesehatan semasa kehamilan, menekan angka paritas (jarak antar kehamilan), pemberian ASI (Air Susu Ibu) eksklusif dan makanan pendamping, pemenuhan vaksinasi, pengolahan bahan makanan untuk pemenuhan zat gizi bagi kelompok rawan (ibu hamil-balita), dan sanitasi-higienitas. Materi ini penting untuk disampaikan dan diafirmasi berulang kali karena hal penting dalam 1000 hari pertama kehidupan (HPK), sejak kehamilan hingga anak usia dua tahun. Meningkatan pengetahuan tenaga kesehatan sejak dari tingkat dinas hingga tenaga kader lapangan mutlak dilakukan. Kerja yang memang tidak sederhana namun harus dilakukan sebagai upaya untuk menghindari kejadian ulangan.

  1. Peningkatan layanan kesehatan

Kejadian KLB awal 2018 menciptakan sinergi antar lembaga negara sebagai usaha menekan meluasnya wilayah dan target. RSUD Agats yang menjadi pusat penanganan menunjukkan kesiapan menjadi rujukan. Namun, karena bentang alam yang berat sehingga distrik yang jauh dari Agats memerlukan ekstra waktu, tenaga dan biaya untuk dicapai. Kabupaten Asmat memiliki 23 distrik, namun hanya 16 distrik yang memiliki puskesmas dan 7 puskesmas yang memiliki dokter. Jumlah yang tidak memadai untuk mencakup kawasan yang sangat luas dan medan yang berat.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Tenaga dokter spesialis juga sangat terbatas sehingga perlu diformula program yang dapat menyediakan tenaga spesialis secara periodik untuk membantu tenaga kesehatan di Kabupaten Asmat.

  1. Menekan angka prevalensi anemia dan penyakit infeksi.

Walau  penyebab  anemia multifaktor,  malaria  menjadi  penyebab  utama anemia  pada  daerah endemik. Penanganan malaria menjadi penting untuk dilakukan untuk menurunkan prevalensi anemia, diantaranya dengan pemberian antimalarial atau dengan glycoprotein haptoglobin (Hp) yang digunakan untuk mengeluarkan bahan beracaun.

Pemberian vaksin campak juga menjadi keharusan karena Indonesia memang belum terbebas dari kejadian wabah penyakit menular. Untuk kejadian di Asmat, vaksinasi lengkap diberikan kepada anak-anak dari usia 0-15 tahun. Pencabutan KLB campak  sesuai dengan aturan PERMENKES

1501 tahun 2010 tentang Jenis Penyakit Menular Tertentu yang dapat menimbulkan Wabah dan Upaya Penanggulangan. Usaha multisektor dan dimensi ini tentu tidak akan selesai dalam satu-dua bulan, perlu kerja keras, terus menerus mulai dari perencanaan, pelaksanaan, penelitian, evaluasi yang komprehensif untuk menangani kompleksitas masalah kesehatan di Kabupaten Asmat dan wilayah lain yang memiliki kasus serupa.

)* Penulis adalah kandidat Doktor Ilmu Gizi FK UI, anggota Tim Peduli UI ke Asmat – Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat (DRPM) UI, anggota Pengabdian Masyarakat Departemen Ilmu Gizi FK UI ke Asmat

Terkini

Populer Minggu Ini:

Ribuan Data Pencaker Diserahkan, Pemprov PBD Pastikan Kuota OAP 80 Persen

0
“Jadi tidak semua Gubernur bisa menjawab semua itu, karena punya otonomi masing-masing. Kabupaten/Kota punya otonomi begitu juga dengan provinsi juga punya otonomi. Saya hanya bertanggung jawab untuk formasi yang ada di provinsi. Maka ini yang harus dibicarakan supaya apa yang disampaikan ini bisa menjadi perhatian kita untuk kita tindaklanjuti. Dan pastinya dalam Rakor Forkopimda kemarin kita juga sudah bicarakan dan sepakat tentang isu penerimaan ASN ini,” ujarnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.