BeritaRIP Trijntje Huistra: Tetap Cinta Papua Sampai Tuhan Memanggil

RIP Trijntje Huistra: Tetap Cinta Papua Sampai Tuhan Memanggil

MENAAM, SUARAPAPUA.com – Pernah mengabdikan hidupnya selama 40 tahun di Papua, Suster Trijntje Huistra meninggal dunia pada 1 September lalu. Sejak kecil perempuan Belanda itu sudah jatuh cinta pada Papua dan tetap sampai Tuhan memanggilnya. Pemakamannya di Belanda diiringi nyanyian orang-orang Papua.

Trijntje Huistra lahir di Zelhem, Belanda, pada 23 Februari 1938. Di masa kecilnya, ia mendapat kartu ucapan selamat ulang tahun yang menggugah hatinya. Kartu itu bergambar seorang berkulit putih dan seorang berkulit hitam. Gambar itu membangkitkan rasa ingin tahu gadis kecil itu.

Ketika berumur sembilan tahun, ayahnya ditempatkan sebagai pendeta di Menaam, Belanda. Saat itulah keluarga mereka pindah ke kota itu. Ia menempuh pendidikan dasar di Meenam. Adik bungsunya juga lahir di kota itu.

Sekolah lanjutan ia jalani di sebuah sekolah berasrama pada institut pendidikan misi di Oegstgeest. Di sana ia membaca cerita tentang Papua. Ia ingin sekali ke sana.

“Selesaikan dulu sekolahmu,” demikian ayahnya, menanggapi permintaan putrinya.

Keinginannya terwujud. Pada tahun 1960 ia berangkat ke Serui, Papua, untuk mengajar. Lembaga misi mengirimnya ke sana dan menurut sahabatnya, Hindrik van der Meer, ia sangat gembira dengan penugasan itu.

Kata Hindrik, Trijntje selalu ingin membantu orang Papua dengan Injil sebagai panduan.

Di Serui ia mengajar Bahasa Belanda, disamping mata pelajaran lainnya.

Baca Juga:  Pilot Philip Mehrtens Akan Dibebaskan TPNPB Setelah Disandera Setahun

Pada tahun 1963, ketika Belanda mengalihkan administrasi Papua kepada Indonesia di bawah pengawasan PBB, ia secara tergesa-gesa terpaksa kembali ke Belanda bersama guru-guru lainnya, termasuk Hindrik. Mereka tidak dimungkinkan lagi memberi pelajaran. Rakyat Papua mendapat represi hebat kala itu.

Orang-orang Papua menahannya agar tidak pergi. Tetapi keadaan tidak memungkinkan.

Di Belanda, ia mengikuti pelatihan sebagai perawat dan bidan selama lima tahun. Di dalam hatinya tersimpan keinginan akan kemnbali lagi ke Papua.

Kesempatan itu datang pada 1969. Ia ke Papua dikirim oleh Council of the Mission of the Dutch Reformed Church. Ia ditempatkan di Angguruk, di lembah Yalimo. Di sana ia bekerja di bawah bimbingan dokter Wim Vriend dan membuka pelatihan perawat.

Ia berkeliling ke desa-desa untuk mengunjungi bayi dan ibu mereka. Ia memeriksa para ibu hamil, menimbang bayi dan memberikan penyuluhan tentang kesehatan.

Sambil membantu merawat kesehatan mereka, ia belajar dan berkomunikasi dengan bahasa Indonesia dan bahasa Yali. Dengan penampilannya yang apa adanya, penuh humor, dan sikap terbuka, ia berhasil memperoleh kepercayaan orang Papua.

Enny hadir dalam kehidupannya pada tahun 1970-an. Bayi itu berasal dari Lembah Yalimo. Enny lahir sebagai satu dari dua bayi kembar. Menurut tradisi, salah seorang dari bayi kembar harus disingkirkan karena khawatir makanan tak akan cukup.

Baca Juga:  KPU Papua Terpaksa Ambil Alih Pleno Tingkat Kota Jayapura

Trijntje memutuskan merawat salah satu bayi itu. “Ia menyelamatkan Enny,” kata salah seorang sahabatnya, Beitske van der Meer. Ia membesarkan Enny di Belanda dan Indonesia. Enny yang lulusan sekolah medis itu saat ini melakukan penelitian tentang penyakit malaria Papua.

Pada tahun 1983 Trijntje pindah ke Lembah Baliem di mana dia terlibat dalam pendidikan perempuan di Polimo. Ditugaskan oleh Vereinte Evangelische Mission (VEM) dari Wuppertal, ia mendirikan sebuah pusat pelatihan perempuan. Anak-anak gadis Papua dapat bersekolah dengan aman di sana.

Bersama rekan-rekannya, dia menjalankan kursus baca-tulis untuk wanita sehingga mereka bisa membaca Alkitab sendiri. “Saya masih mendengar Trijntje memberi tahu saya betapa pentingnya bagi para wanita bahwa mereka dapat sepenuhnya berpartisipasi dalam kebaktian dan pertemuan gereja dengan cara ini,” kata Mirjam Boswijk dari Kerk di Actie.

Ketika dia pensiun pada 2002, Trijntje kembali ke Leeuwarden. Dia bermukim di rumah peninggalan orang tuanya. Dia terlibat dalam kehidupan gereja. “Dia selalu memikirkan semua orang,” kata Jan-Jaap Stegeman.

Ia juga selalu memikirkan Papua. Dia sudah menganggap dirinya sebagai orang Papua. Dia sudah terbiasa dengan kehidupan di Papua setelah bermukim di sana selama 40 tahun. “Bagaimana caranya berpakaian, bagaimana berperilaku, telah banyak berubah,” kata saudara perempuannya, Corrie.

Pada Hari Solidaritas Tahunan Papua, ia menjadi tuan rumah dan menyambut setiap orang secara pribadi. “Dia juga memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Papua setelah dia pensiun,” kata Mirjam Boswijk.

Baca Juga:  KPU Yahukimo Gelar Acara Pelepasan Logistik untuk Didistribusikan Ke 51 Distrik

“Hampir setiap hari ia bertukar kabar dengan sahabatnya, Marijke yang masih tinggal di Papua,” lanjut Mirjam.

“Trijntje tahu segalanya. Saya secara teratur mengunjungi Papua sejak 2007 dan dia selalu saya kabari. Kemudian dia mengirimi saya surat untuk dorongan semangat.”

Beberapa tahun lalu ia memperoleh katup jantung baru. Operasi itu berjalan baik.Tapi dia merasa cemas musim panas lalu. Tiga katup jantung bocor dan dokter tidak berani melakukan operasi. “Trinjntje senang membicarakannya, meskipun dia tahu itu tidak berjalan dengan baik,” tutur Corrie.

Pada 1 September 2018 Trijntje meninggal. Upacara pemakaman berlangsung pada 7 September di gereja di Menaam; di gereja di mana ayahnya melayani ketika masih muda.

“Ibadah pemakaman dimulai setengah jam lebih lambat dari yang direncanakan, karena antrean belasungkawa bertahan lebih dari satu jam,” kata Stegeman. “Itu menunjukkan betapa intensifnya dia terlibat dengan orang-orang.”

Orang Papua sudah menganggap Trijntje sebagai anggota keluarga mereka. Selama pemakamannya di Menaam, sekelompok orang Papua bernyanyi karena mereka tidak dapat mengungkapkan dengan kata-kata apa yang ada di dalam hati mereka.

Pewarta: Redaksi
Diterjemahkan dan disadur dari: Friesch Dagblad, Leewuarder Courant

 

Terkini

Populer Minggu Ini:

Presiden Jokowi Segera Perintahkan Panglima TNI Proses Prajurit Penyiksa Warga Sipil...

0
Direktur LBH Papua, dalam siaran persnya, Senin (25/3/2024), menyatakan, ditemukan fakta pelanggaran ketentuan bahwa tidak seorang pun boleh ditahan, dipaksa, dikucilkan, atau diasingkan secara sewenang-wenang. Hal itu diatur dalam pasal 34 Undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.