Pemekaran Wilayah di Papua, Antara Solusi dan Masalah

0
6255

Oleh: A. Octoviaen Gerald Bidana)*

“Pemekaran wilayah sebagai jawaban akan harapan pembangunan yang memihak, menyeluruh dan yang mencerdaskan masyarakat ataukah sebuah proyek inkonsistensi penyelenggaraan pembangunan pemusnahan manusia dan alam semesta Papua?”

Pendahuluan

Pemekaran wilayah adalah upaya pemerintah dalam membangun masyarakat bangsa Indonesia di berbagai daerah sesuai situasi dan kondisi. Pemekaran tentu membuka peluang kerja bagi masyarakat dalam meningkatkan taraf hidupnya secara lebih baik. Pemekaran mendukung pengelolaan potensi sumber daya alam dan sumber daya manusia secara lebih baik. Pemekaran wilayah juga dimaksudkan agar tercipta pelayanan publik yang seringkali mengalami kendala bisa teratasi secara optimal. Pemekaran tentu didukung oleh pemerintah pusat atas dasar usulan masyarakat di wilayah yang mau dimekarkan, seperti Papua Barat.

Namun, pemerintah pusat sampai pemerintah daerah mesti jelih melihat dan melakukan survey atau kajian lebih mendalam tentang pemekaran wilayah ini. Agar tidak keluar dari apa yang diinginkan, diharapkan masyarakat setempat. Jangan sampai wilayah pemekaran itu justru dijadikan ajang bisnis dan ladang politik praktis bagi segelintir orang saja. Lalu, masyarakat awam pemilik tanah dan kekayaan alam mau diapakan? Perlu diingat, kondisi ini pasti akan meninggalkan sejumlah problematika bagi orang asli Papua. Memang, sangat memprihatinkan!

ads

Pemekaran wilayah di Papua diibaratkan seperti rentetan bayi yang lahir dalam waktu yang sama dan dengan jumlah yang banyak melalui rahim yang satu dan yang sangat kecil. Coba bayangkan, bayi yang lahir pertama belum merangkak kok tiba-tiba lahir bayi berikutnya dari rahim ibu yang satu dan yang sama? Sangat ironis dan aneh bila memperhatikan peristiwa semacam ini terjadi dalam kehidupan masyarakat yang memang belum pernah mengalaminya. Keadaan ini bisa saja masyarakat secara gamblang mengatakan bayi itu pasti cacat secara mental walaupun postur tubuhnya kekar. Sesungguhnya kondisi ini yang dialami masyarakat daerah-daerah pemekaran di Papua. Perlu mendapat perhatian serius oleh pihak berwewenang terhadap pemekaran-pemekaran wilayah di Papua. Perlu ada kajian-kajian secara mendalam oleh para akademisi maupun secara institusi pemerintahan tentang sejumlah potensi wilayah yang hendak dimekarkan. Aspek terpenting yang perlu diperhitungkan dalam hal pemekaran adalah kesiapan sumber daya manusia, yang memang secara akademik sungguh berkualitas, cerdas, terampil. Hal ini penting dalam mendorong perkembangan pembangunan dengan harapan aspek-aspek lain dapat terwujud dengan berjalannya waktu.

Tujuan mulia dari otonomi khusus Papua adalah pemberian kewenangan penuh untuk mengatur dan membangun wilayahnya oleh masyarakat asli Papua sendiri. Setiap aspek pembangunan harus dibangun ala Papua. Adalah membangun pola pendidikan kontekstual, pola pertanian sesuai kondisi dan kebutuhan wilayah, kesehatan secara memadai, politik praktis yang terarah, pembangunan museum-museum budaya dan seni suku-suku di Papua, penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia, dan sebagainya. Dan bukan sebaliknya memperkuat, meningkatkan sistemn orde lama atau orde baru. Sangat aneh, sebagian besar orang tidak memahami baik tujuan otonomi khusus Papua. Kelompok ini selalu dimanfaatkan untuk memecah belah orang Papua, seperti kasus perbedaan gunung-pantai yang meruncing pada pemekaran daerah baru yang adalah kabupaten suku atau keluarga. Fenomena ini harus dipetakan secara ala Papua dan oleh orang Papua sendiri untuk menemukan benang merahnya.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Penyatuan pemahaman belum terjadi sehingga dimana-mana muncul pemimpin baru, entah sudah siap secara ilmu pengetahuan dan mental atau tidak tetap mengkampanyekan terbentuknya wilayah-wilayah administratif baru. Faktor pendorong utama pemekaran wilayah administratif baru hanya karena kepentingan jabatan kelompok tertentu dan lebih jauh ialah kepentingan ekonomi bagi non pribumi. Dengan mengedepankan slogan orang Pupua butuh kesejahteraan. Selanjutnya, faktor tingkat pemahaman dan kematangan mental para pemimpin daerah dan pusat yang sesungguhnya terbentuk melalui pola penyelenggaraan pendidikan.

Fenomena ini harus perlu diseriusi pemerintah pusat dengan mengadakan evaluasi secara kritis dan kredibel untuk revitalisasi seluruh sistem dan kebijakan apa saja untuk tanah Papua selama ini. Kelemahan ini sudah dipahami masyarakat Internasional dan masyarakat Papua. Orang Papua telah menyatakan bahwa pemerintah pusat sudah sangat keliru memahami esensi otonomi khusus Papua dan tidak sanggup mendorong orang Papua mengimplementasikan program pembangunan secara benar dan akuntabel.

Kesungguhan Pemahaman Pengambil Kebijakan Publik di Tanah Papua

“Satu kekayaan yang patut dipahami para pemimpin daerah adalah terdapat lebih dari 250 suku bangsa. Kesekian banyak suku inilah yang memiliki potensi sumber daya alam melimpah seperti kayu, beragam tumbuhan-tumbuhan, berbagai jenis batuan, tanaman palawija dan umbi-umbian, sederet sungai dengan hasilnya, hasil danau dan laut, berbagai jenis ternak, kebudayaan, hewan-hewan lindung (cenderawasih, kuskus pohon, burung mambruk, kangguru, kasuari, kura-kura dll), kayu pinus dan damar, bahan galian (mineral) dan sejumlah potensi lainnya”.

Para pemimpin daerah semestinya memahami realitas kehidupan masyarakat Papua, agar tidak salah dalam perumusan program dan pengambilan kebijakan pembangunan. Pada segi lain, para pemimpin dapat mengendalikan proses pembangunan dengan cara mendorong seluruh jajaran pemerintahan untuk menciptakan good governance secara lebih baik. Dengan prinsip bahwa setiap orang memiliki kemampuan (potensi diri) maka didorong untuk mengembangkan potensi terpendam tersebut yaitu IQ, SQ, dan EQ-nya dalam bekerja.

Pembangunan ke arah positif akan tercapai apabila adanya keterlibatan sungguh dari setiap orang dalam menjalankan tugas dan fungsinya sesuai prosedur dan keahliannya. Untuk itu perlu membangun pemahaman bersama dengan menciptakan ruang-ruang komunikasi produktif yang secara lambat laun membentuk karakter pemimpin yang memihak kepada masyarakatnya.

Oleh karena itu, para pemimpin Papua harus paham atas realitas diri sendiri dan kehidupan masyarakat Papua sejak tahun 1960 sampai tahun 2000. Sadar bahwa Anda lahir dan besar dalam kondisi bagaimana saat itu. Jelas-jelas mereka belum merasakan pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dirasakan oleh jutaan orang di berbagai belahan dunia, termasuk sebagian besar masyarakat Indonesia. Realitas ini sebagai catatan penting dan bagaimana fokus kebijakan diambil untuk pembangunan yang memihak rakyat.

Otonomi khusus berhasil membentuk 32 kabupaten dan 2 kota (tahun 2012) serta diikuti ratusan distrik dan ribuan kampung. Daerah-daerah baru justru meninggalkan setumpuk masalah bagi masyarakat setempat. Seluruh aspek pembangunan tidak terbangun sesuai target-target karena penyediaan dana secara nyata tidak pernah terealisasi walaupun bahasa media selalu terungkap.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Pemahaman esensi otonomi khusus sebagai penyesiaan kesempatan luas bagi orang asli Papua untuk membangun diri melalui bidang pendidikan, ekonomi, sisoal budaya, kesehatan, politik, hak asasi manusia dan sebagainya bukan menjadi jaminan untuk mendorong pemekaran daerah baru akan tetapi perlu penguatan anggaran kepada daerah-daerah yang telah ada sebelum itu.

Otonomi khusus lahir karena perjuangan panjang dengan pengorbanan darah dan jiwa manusia Papua. Maka, diharapkan setiap aspek dapat dibangun secara konsisten, transparan dan berkelanjutan. Agar dapat membangun kesadaran masyarakat dalam mewujudkan pembangunan yang memihak, menyeluruh dan yang mencerdaskan warga bangsa. Namun selama ini belum menunjukkan sentuhan pembangunan masyarakat atau belum nampak perubahan yang signifikan, baik secara personal, kelompok bahkan secara institusional walaupun suadah terjadi banyak daerah baru. Masyarakat asli Papua semakin tidak percaya dengan kebijakan pemerintah.

Dari pemekaran ke pemekaran, semua aspek pembangunan manusia Papua belum dibangun secara maskimal. Padahal kalau dicermati secara baik, jumlah penduduk Papua sangat sedikit dibanding daearh lain. Satu segi yang tidak pernah tersentuh pemerintah ialah pendekatan persuasif sebagai sesama dan bukan menunjukkan kegagahannya karena status dan sebagainya. Dimana kelebihan orang Papua yang harus diangkat dan ditransformasikan dalam pelaksanaan program pembangunan adalah sikap keterbukaannya. Para pengambil kebijakan harus memiliki pengetahuan ini agar tidak melakukan kesalahan lagi untuk selanjutnya. Pada pihak lain, masyarakat Indonesia sudah mengetahui jumlah dana pembangunan otonomi khusus Papua, yang mencapai 30 triliun dalam satu tahun. Muncul sebuah pertanyaan, bagaimana pemakaian anggaran itu dalam mewujudkan segala aspek pembangunan Papua? Apakah dilimpahkan langung kepada pejabat daerah atau masih ada campur tangan pemerintah pusat?

Ada sejumlah pejabat daerah mengaku, jumlah dana yang bunyi mencapai 30 milyar namun selalu tersendat pada aturan dan taktik kerja pemerintah pusat sehingga tidak sepenuhnya dilimphakan ke pemerintah daerah. Tidak tahu dengan pertimbangan apa? Tetapi masyarakat selalu berteriak kepada kami yang ada di birokrasi.

Ini sebuah dilema bagi sebagian besar pejabat orang asli Papua. Sementara itu, ada juga pejabat asli Papua yang selalu dinomorsatukan. Pendekatan seperti ini perlu analisis dan terekspouse pada publik.

Ketersediaan SDM Asli Papua dalam Proses Pembangunan Papua

Berapa banyak orang asli Papua yang siap secara ilmu dan ketrampilan untuk menjadi pemimpin di setiap daerah pemekaran baru? Bagaimana pendapatan asli daerah untuk mendorong kemajuan daerah tersebut? Pertanyaan ini dijawab dengan memanfaatkan 30 triliun/tahun melalui dana otonomi khusus. Ketersediaan kualitas sumber daya manusia Papua kini menjadi dilema bagi proses pembangunan Papua. Proyek terbesar sekaligus menjadi kebutuhan mendasar orang Papua adalah penyelenggaraan pendidikan secara luas.

Dimana hakekat pendidikan adalah “dilaksanakan untuk membebaskan manusia dari berbagai persoalan hidup yang melingkupinya maka pendidikan harus dipahami sebagai tolok ukur perwujudan seluruh aspek kehidupan manusia”. Sebab itu, pendidikan harus terus dilaksanakan secara kontinyu dalam rangka pembebasan manusia dari kebodohan dan kemiskianan yang selalu dijadikan proyek terselubung pemerintah selama ini.

Baca Juga:  Hilirisasi Industri di Indonesia: Untung atau Buntung bagi Papua?

Pandangan pada bagian ini dapat mendorong saya mereposisi pendapat seorang ahli pendidikan dari Brazil (Paulo Freire) tentang pendidikan. Paulo Freire mengatakan bahwa pendidikan sebagai salah satu upaya untuk mengembalikan fungsi manusia menjadi manusia agar terhindar dari berbagai bentuk penindasan, kebodohan sampai kepada ketertinggalan.

Oleh karena manusia sebagai pusat pendidikan, maka manusia harus menjadikan alat pembebasan untuk mengantarkan manusia menjadi makhluk yang bermartabat. Pandangan ini sangat tepat bagi para penyelengara pembangunan di seluruh tanah Papua agar ada kebijakan afirmatif pada sektor pendidikan.

Salah satu kelompok masyarakat Papua yang segera mendapatkan perhatian serius pemerintah daerah adalah mahasiswa. Mahasiswa dari setiap daerah kabupaten/kota yang menyebar di Indonesia perlu diinventarisir baik untuk diberdayakan. Dengan harapan mahasiswa dapat memanfaatkan sejumlah fasilitas belajar, agar menemukan dirinya sebagai manusia yang siap mentrasnfer ilmu pengetahuan kepada sesama di tanah Papua suatu kelak. Mahasiswa telah ada di dunia yang sangat menantang untuk berkembang lebih maju atau harus mundur dan hidup dalam keadaan biasa-biasa.

Habitus baru mahasiswa harus dibangun mulai dari sendiri, perkuliahan dan melalui organisasi. Agar mewujudkan kualitas hidup yang menunjukkan mahasiswa kesungguhan, yang kemudian dapat memberikan kontribusi demi pembangunan Papua dari kampungnya masing-masing. Pola-pola belajar yang harus dimiliki sebagai mahasiswa Papua harus perlu ditingkatkan agar tidak dianggap masih bodoh, miskin dan tertinggal. Dengan memiliki pola-pola belajar yang benar dipastikan lambat laun dapat mengatasi rendahnya kualitas sumber daya manusia Papua yang selama ini selalu dipublikasikan di berbagai media.

Oleh sebab itu, pemerintah daerah perlu melakukan terobosan-terobosan jitu pada sektor pendidikan untuk mempraktekan gagasan-gagsan pendidikan hadap masalah, pendidikan realitas sosial, pendidikan yang memerdekakan yang dikemukakan Freire mulai dari Papua. Dimaksudkan agar terjadi peningkatan kualitas masyarakat. Peningkatan kualitas masyarakat harus menjadi prioritas utama agar tercapai cita-cita meskipun belakangan ini banyak masalah melanda orang Papua yaitu rendahnya mutu dan buruknya pendidikan memperparah gerak langkah generasi muda kini. Peningkatan kualitas sumber daya manusia Papua harus dan pasti melalui pola penyelenggaraan pendidikan ala Papua yaitu menyadarkan setiap orang akan diri dan lingkungannya.

Berbicara tentang sumber daya manusia tidak bisa terlepas dari penyelenggaraan pendidikan. Kesiapan sumber daya manusia lewat pendidikan adalah tanggung jawab seluruh komponen masyarakat, mahasiswa sebagai salah satu kelompok masyarakat ilmiah yang sangat potensial yang harus dokontrol ketat agar output-nya dapat diandalkan di masa depan bangsa Papua. Semoga bermanfaat!!

Artikel ini sebelumnya diterbitkan pada tanggal 9 Maret 2012 di blog westpapua-dogopiaibo.blogspot.com. Artikel ini diterbitkan kembali di situs ini atas permintaan penulis.

)* Penulis adalah direktur of Ngapdon Papua Institute, Kepala departemen LITBANG DPP Lembaga Intelektual Tanah Papua Se-Indonesia dan wakil ketua ICAKAP Propinsi Papua dan Papua Barat

Artikel sebelumnyaDPR PB Diharapkan Sahkan Raperdasus DBH Migas
Artikel berikutnyaBupati Bintuni: Raperdasus DBH Migas Harus Disahkan Jadi Perdasus