Gereja dan Orang Papua

0
8072

Oleh: Pdt. Hanz Wanma)*

Menyongsong HUT GKI di Tanah Papua yang ke 62 (26 Oktober 1956-26 Oktober 2018) yang bertepatan dengan Raker Am II yang berlangsung di Sarmi (7-10 Oktober 2018), seperti yang biasa disampaikan bahwa pada bulan Februari adalah bulan Pekabaran Injil, bulan Maret adalah bulan pendidikan dan bulan Oktober adalah bulan GKI, karena gereja ini berdiri tanggal 26 Oktober 1956.

Tetapi juga kita ada diantara 62 tahun GKI dan 163 tahun Injil di Tanah Papua, kemudian kita juga ada di 501 tahun dari reformasi 31 Oktober 1517 ke 31 Oktober 2018.

Dengan demikian, saya melihat GKI pada bulan Oktober ini, bulan dimana kita mengevaluasi perjalanan dan pekerjaan dari gereja ini selama 62 tahun, tetapi juga sidang-sidang sinode yang sudah berlangsung 17 kali.

Kita perlu sadari bahwa perjalanan ini sangat panjang, maka menurut saya perlu ada evaluasi menyeluruh. Tetapi juga pada bulan Oktober ini, semua umat GKI di Tanah Papua mengucap syukur, baik itu di tingkat jemaat, klasis dan sinode, juga para pelayan. Termasuk bagi seluruh warga jemaat yang ada di atas tanah ini dari 257 suku.

ads

Pasti kita akan bertanya kepada Tuhan, sebenarnya Tuhan kasih gereja ini untuk siapa? Mengapa?

Karena sejak 1855 hingga 1955 dan 1956 baru gereja ini berdiri, berarti satu abad. Jadi, maksudnya gereja ini Tuhan kasih untuk siapa?

Kemudian, saya sebagai warga GKI harus buat apa? Sebab saya sebagai pendeta GKI, saya mau melihat bahwa kita sedikit keluar dari aturan dan tatanan, baik dari Firman Tuhan dan tata gereja yang ada.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Berikut, saya melihat gereja GKI di Tanah Papua mengalami sedikit perubahan dan perkembangan bersama-sama dengan situasi politik, baik di Indonesia maupun di dunia.

Contoh, GKI ketika berdiri tahun 1956 hingga hari ini telah mengalami perubahan nama, seperti di tahun 1956-1962 menggunakan nama Gereja Kristen Injili di Netherlands New Guinea, 1962-1971 ganti nama Gereja Kristen Injili di Irian Barat, 1972 berubah menjadi Gereja Kristen di Irian Jaya, dan tahun 2000 hingga Tuhan Allah datang sebagai Gereja Kristen Injili di Tanah Papua.

Kemudian penempatan “Di” diantara GKI dan Tanah Papua diberi huruf besar, karena bernilai antropologis yang berkaitan dengan kehidupan manusia Papua, artinya Tuhan memberikan salib ini untuk menjangkau orang Papua dimana saja berada, khususnya di pelosok-pelosok Tanah Papua, tetapi sebenarnya apa yang terjadi dengan GKI?

Dalam Raker Sarmi, tentu membicarakan semua yang bernafas hingga yang tidak bernafas di Tanah Papua, terutama soal bagaimana pelayanan ini berjalan. Tetapi apakah pelayanan kita sudah menyentuh warga jemaat atau tidak?

Saya mengatakan demikian karena belum melihat arsitek, dimana kita kalau hendak membangun rumah, harus memiliki arsitek yang bisa menggambar. Artinya kami pendeta banyak, yang berjumlah 1000 lebih, tetapi kami belum begitu berkualitas, dalam arti kami sebagai seorang pendeta belum ada di tempat dan pekerjaan yang tepat untuk umat Tuhan.

Baca Juga:  Hilirisasi Industri di Indonesia: Untung atau Buntung bagi Papua?

Artinya, kita pendeta harus belajar antropologi untuk orang Papua, belajar pertanian, belajar hukum tata gereja (setelah Pdt. Kundrat meninggal, GKI sudah tidak ada lagi orang hukum), sosial, misi, liturgi kontekstual, sejarah, ekonomi dan lain sebagainya.

Ini harus dipelajari khusus, supaya apa yang mau hendak dibangun, bisa dilakukan karena sudah memiliki semua ini, terutama bagi orang yang mendiami tanah subur nan gersang ini.

Pengkotbah 1 telah mengisyaratkan, ‘apa yang sekarang ada ini, dulu sudah ada’. Sama seperti pendiri gereja GKI sudah meletakkannya dan sudah memikirkannya.

Jadi intinya adalah pada Hut 62 GKI ini, mari kita kembali ke misi penginjilan yang sebenarnya bagi orang Papua dan mengevaluasi semua kinerja dan pekerjaan.

Tata gereja dan pedoman gereja ini sangat penting, tetapi juga sangat penting melihat keadilan bagi umat di tanah ini. Kita juga jangan hanya selalu bicara kasih, tetapi saat ini waktunya kita juga bicara keadilan, sehingga warga jemaat tertolong.

Gereja hadir untuk orang Papua yang mendiami Tanah Papua. Pendiri gereja ini telah mewasiatkan dan meninggalkan hal yang baik dengan tidak meninggalkan wasiat jabatan bagi anak cucu, mereka hanya bekerja saja tanpa berpikir semua itu. Ini harus dipertahankan!

Seperti Bapak I.S. Kijne katakan, ‘di tanah ini anda boleh memegang kemudi, tetapi bukan anda yang mendatangkan angin arus dan gelombang, Ia Tuhan sendiri yang mendatangkan angin arus dan gelombang itu, supaya kapal itu meluncur dan mendapati daratan-daratan yang belum ditemukan ini’.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

“Barang siapa bekerja di tanah ini dengan iman dan dengar-dengaran, dia akan berjalan di tanda heran yang satu ke tanda heran yang lain.”

Kita juga merenungkan kata-kata dari Bapak Kijne mengenai GKI di Tanah Papua. Yang pertama Kijne menulisnya di Seruling Mas nomor 2.6. “Kukasih engkau tanah yang dengan buahmu, membayar kerajinan dan pekerjaanmu”.

Artinya, Kijne tahu jika bekerja di GKI Di Tanah Papua, dia akan masuk surga, karena waktu itu beliau ditawar kerja di 4 tempat jajahan Belanda, Suriname, Afrika Barat, Srilangka dan Hindia Belanda, tetapi beliau menolak dan dia ingin hanya mau bekerja di Tanah Papua, karena ia berpikir dan yakin jika bekerja di Tanah Papua pasti masuk surga.

Ia juga menulis nyanyian Rohani, 126:3, “orang ingin hal yang baru, lalu pulang menyesal merindukan perubahan, tak tercapai yang kekal”.

Perubahan apa yang kita hendak capai di gereja ini? Sekarang tinggal yang masih kurang kita baku tambah, dengan demikian, semua jabatan yang ada dalam itu adalah bersifat melayani, bersifat persekutuan, sebab GKI di Tanah Papua saya mengibaratkannya sebagai pelangi. Karena saya belum pernah melihat satu anak Papua yang menjadi ketua majelis, penatua atau syamas di gereja-gereja di Indonesia, tetapi GKI di Tanah Papua ada dari segala suku bangsa.

Selamat merayakan HUT GKI Di Tanah Papua yang ke-62 tahun.

Tuhan Yesus memberkati kita sekalian. Amin!


)* Penulis adalah Pendeta GKI di GKI Di Tanah Papua.

Artikel sebelumnyaPertikaian di Yahukimo Diselesaikan Dengan Cara Adat dan Kekeluargaan
Artikel berikutnyaMaximus Tipagau: Kami Butuh Regulasi Perlindungan Cartenz