ArtikelMembaca Indonesia di Papua

Membaca Indonesia di Papua

Oleh: Mikael Tekege)*

Indonesia telah dan sedang membuat banyak catatan di Tanah Papua dengan melegalkan segala cara demi mempertahankan hegemoninya.

Indonesia hadir di tengah masyarakat Papua dalam berbagai bentuk wajah, menggunakan topeng untuk menyembunyikan keaslian wajahnya. Kadang hadir menggunakan topeng pembangunan, kesejahteraan, demokrasi digunakan pula sebagai topengnya hingga keamanan dan isu Hak Asasi Manusia (HAM). Namun, realitas menunjukkan keaslian wajah Indonesia yang sebenarnya. Indonesia hadir di tengah masyarakat Papua sebagai kolonialis, kapitalis dan militeris yang sebenarnya.

Tulisan ini merupakan sebagian kecil dari sejumlah catatan Indonesia di Papua berdasarkan laporan pembacaan situasi sosial politik di Papua oleh militer yang sempat dibocorkan. Laporan berjudul “Anatomi Separatis Papua”, pada halaman 4 terdapat beberapa persoalan pokok yang dianggap menghambat kepentingan memperkuat hegemoni negara di Tanah Papua. Kini negara sedang berusaha membongkar hambatan tersebut melalui berbagai macam cara, terutama melalui program-program berkedok pembangunan dan kesejahteraan yang dilegitimasi melalui berbagai macam kebijakan.

Ada lima persoalan pokok dirumuskan melalui laporan tersebut yang dapat dianalisis secara singkat sebagai berikut:

Pertama, Ideologi: Masyarakat Papua dianggap mudah terpengaruh dengan Ide Separatis karena kurang wawasan kebangsaan, khususnya di daerah pedalaman.

Persoalan ideologi bukanlah barang asing bagi masyarakat Papua. Sejak terjadinya “kawin paksa” antara Indonesia dan Papua telah melahirkan sang bayi yang bernama nasionalisme Papua Merdeka. Penderitaan dan pengorbanan yang dirasakan dan dihadapi oleh masyarakat Papua selama ini merupakan bagian dari merawat dan memelihara nasionalisme tersebut. Namun negara berusaha membendung atau menangkal dengan isu pembangunan dan kesejahteraan, tetapi tidak pernah diselesaikan satu pun.

Untuk mengobrak-abrik ideologi yang telah tertanam dalam hati sanubari orang Papua, tidak heran jika saat ini negara telah dan sedang menjalankan program Sarjana Mendidik di Daerah Terdepan, Terluar dan Tertinggal (SM3T) dan Gerakan Indonesia Mengajar dengan cara mengirim tenaga-tenaga pendidik yang katanya profesional di daerah pedalaman Papua yang dianggap kurang wawasan kebangsaan tersebut. Pemerintah bahkan masyarakat menerima program ini. Di pedalaman Papua sangat membutuhkan tenaga-tenaga pengajar, karena tenaga-tenaga yang ada telah pindah panggung (dari panggung pendidikan ke panggung politik/birokrasi) akibat pemekaran daerah otonomi baru (DOB) tanpa memperhatikan persiapan Sumber Daya Manusia (SDM).

Pemekaran daerah merupakan bagian dari strategi negara untuk menghancurkan pendidikan di pedalaman Papua. Para siswa-siswi korban dari kepentingan ini. Kekosongan guru kemudian dimanfaatkan oleh negara melalui program Indonesia Mengajar atau dengan kata lain, Indonesia gali lubang kemudian ditutup kembali.

Program ini akan sangat berbahaya bagi masyarakat Papua pada beberapa tahun mendatang. Generasi muda Papua akan bertumbuh dalam dua ideologi yang berbeda (Ideologi Indonesia dan Ideologi Papua Merdeka). Program ini bagian dari politik devide et impera ala Indonesia di Papua sebagai dendam sejarah secara perlahan.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Kedua, Politik: Otsus timbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Papua, terutama bagi kelompok separatis; Pilkada masih sisakan polemik; SKB 5 Menteri timbulkan gejolak bahkan mengarah tuntutan merdeka.

Otonomi Khusus (Otsus) sebenarnya telah gagal sejak hadirnya pemekaran Provinsi Papua Barat berdasarkan Inpres Nomor 1 Tahun 2003 sebagai perintah untuk menghidupkan Provinsi Irian Jaya Barat (Papua Barat), walaupun bertentangan dengan pasal 76 UU Nomor 21 Tahun 2001. Namun negara berusaha mempertahankannya.

Sejak saat itu, banyak DOB dimekarkan di mana-mana. Berbagai persoalan termekar bersama mekarnya daerah. Institusi militer dan polisi pun dimekarkan demi menjaga hegemoni negara. Orang Papua disibukkan dengan aktivitas politik lima tahunan dan urusan birokrasi yang bertele-tele.

Orang Papua semakin terpetak-petak ke dalam daerah pemekaran masing-masing. Gengsi antar daerah, antar suku dan marga mulai muncul berebut kuasa secara egois hingga mengancam relasi sosial yang harmonis, bahkan persatuan dalam perjuangan politik menuju self determination pun semakin hancur.

Perampasan hak ulayat atas tanah mulai muncul akibat kehadiran perusahan atas nama pembangunan; banyak orang Papua terjangkit virus paling mematikan manusia (AIDS) akibat koneksi bisnis lokal (PSK) yang dijalankan oleh militer dan polisi. Pembunuhan, pemenjaraan dan pembungkaman ruang demokrasi terus terjadi dimana-mana di seluruh Tanah Papua.

Para pimpinan politik dan birokrasi daerah terkesan diduduki oleh orang-orang titipan Jakarta hingga kebijakan pembangunan daerah dikendalikan oleh Jakarta sekehendak hatinya demi mempertahankan hegemoninya. Dalam kondisi demikian, politik adu domba pun terus dilancarkan secara rutin dan sistematis, pembodohan struktural dengan cara menghancurkan pendidikan akibat tenaga pengajar yang berpindah panggung (dari panggung pendidikan ke panggung politik) yang kemudian ditutupi dengan program gerakan Indonesia Mengajar, guru kontrak dan sebagainya.

Pemekaran pada level terkecil pun kini mengancam relasi sosial dengan hadirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Pemekaran Desa terjadi di mana-mana menciptakan peluang hadirnya distrik dan pada gilirannya terpenuhi syarat hadirnya pemekaran kabupatan bahkan provinsi. Semua hal ini dilakukan demi mempertahankan hegemoninya dengan menggunakan topeng pembangunan dan kesejahteraan.

Ketiga, Ekonomi: Tuntutan hak ulayat atas tanah yang tidak rasional dan terbatasnya sarana transportasi hambat pertumbuhan ekonomi, khususnya di wilayah pedalaman.

Untuk mengatasi persoalan hak ulayat tanah, negara telah membentuk lembaga berkedok adat, yakni: Lembaga Masyarakat Adat (LMA). Lembaga ini sebagai tandingan atas Dewan Adat yang dibentuk oleh masyarakat adat Papua. LMA kini diketuai oleh Lenis Kogoya terstruktur hingga sampai di tingkat distrik setiap kabupaten/kota di Papua. Semua tenaga yang kerja dalam LMA ini digaji oleh negara.

LMA kini merebut semua tugas, fungsi dan tanggungjawab yang sebelumnya diemban oleh Dewan Adat Daerah (DAD), terutama soal pengurusan hak ulayat atas tanah adat. LMA sedang menjalankan aktivitasnya di masing-masing daerah sambil merebut dukungan masyarakat adat. Kini hampir sebagian masyarakat menaruh hati pada lembaga ini. Namun, sadarkah masyarakat bahwa lembaga ini sengaja dibentuk agar pasar bebas ASEAN pada tahun 2020 masuk tanpa hambatan atas tuntutan hak ulayat atas tanah adat tersebut?

Baca Juga:  Adakah Ruang Ekonomi Rakyat Dalam Keputusan Politik?

Sementara bagian terhambatnya pertumbuhan ekonomi, negara sedang berusaha menjalankan pembangunan infrastruktur (jalan dan jembatan). Sementara bagian nonfisik, diwujudkan dalam bentuk bantuan-bantuan kepada masyarakat Papua melalui berbagai macam program, seperti Beras Miskin (Raskin), Respek, Prospek, Bantuan Sosial, Bantuan Langsung Tunai (BLT), Beasiswa, dan sebagainya.

Masyarakat Papua semakin dimanjakan dengan berbagai macam bantuan ini, sehingga budaya kerja mereka semakin ditinggalkan. Negara sedang menggiring masyarakat semakin tergantung agar dapat dikendalikan sekehendak hatinya. Akhirnya, mereka yang berbeda pandangan dengan negara akan dianggap sebagai orang yang telah dibeli melalui berbagai bantuan ini, sehingga negara bisa berbuat apa saja padanya.

Keempat, Sosial Budaya: Kepatuhan/loyalitas masyarakat terhadap pimpinan adat dan agama sangat tinggi, sehingga mengalahkan hukum positif berpeluang timbulkan konflik horizontal.

Pada bagian ini yang paling tampak peranan negara untuk memutus loyalitas masyarakat. Urusan agama maupun adat dipolitisir habis-habisan; banyak orang bertopeng agama maupun adat dipasang dan masuk berdinamika dalam kedua lembaga ini. Tujuan mereka tidak lain, selain menghancurkan kedua lembaga ini; menjatuhkan dan memata-matai serta membunuh para pimpinan kedua lembaga ini.

Para pengurus gereja ditawar dengan berbagai macam jabatan dan fasilitas. Mereka digaji secara cuma-cuma, ada yang terima dan ada pula yang menolak tawaran tersebut.

Sementara soal adat negara telah membentuk lembaga adat tandingan (LMA) atas DAD yang ada. Kini urusan adat ditangani melalui LMA tanpa melibatkan masyarakat pemilik hak ulayat. Bahkan soal busana adat dan tarian adat Papua mulai dipolitisir dengan mengatakan sebagai sebuah bentuk pornografi.

Berbagai macam regulasi kebijakan dibuat disertai dengan dana ratusan juta, bahkan miliaran rupiah untuk merebut loyalitas masyarakat terhadap pimpinan kedua lembaga ini. Urusan adat yang sebelumnya kerja secara suka rela dan swadaya, kemudian kini memiliki anggaran sendiri. Ratusan juta bahkan miliaran rupiah disumbangkan ke gereja-gereja sambil politisir hingga membenarkan kata Karl Marx bahwa: “agama menjadi candu rakyat”. Maka tidak heran, setiap minggu, nama presiden hingga RT selalu disebut dalam doa-doa umat.

Kelima, Hankam: Setiap konflik di masyarakat selalu dikaitkan dengan TNI dengan harapan dapat atensi dari dunia internasional.

Politik adu domba antar masyarakat Papua yang sedang dilancarkan oleh negara melalui TNI/Polri merupakan jawabatan pada bagian ini. Badan Intelijen Negara (BIN) sangat berperan aktif dalam hal ini. Banyak orang Papua dipasang di dalamnya untuk memata-matai atau menghantui dan membunuh orang Papua yang memperjuangkan nasib masa depan di atas tanah leluhur mereka.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Kehidupan masyarakat Papua, dari kampung hingga di kota tidak pernah sepi dari konflik, pembunuhan, penyiksaan dan penderitaan.

Negara dengan kaki tangannya bertepuk tangan sambil menertawai melihat kondisi ini; bersenang-senang di atas penderitaan masyarakat pemilik negeri Papua; berebut pangkat dan kuasa atas segala persoalan yang terkesan gali lubang dan tutup lubang. TNI/Polri lipat tangan, mereka menjadi serigala berbulu domba. Seakan-akan mereka menjadi manusia paling bersih yang menjalankan tugas dan kewajiban di mana mereka ditempatkan. Hanya orang bodoh saja yang tidak mengerti dan tidak memahami kelakuan-kelakuan busuk para penjahat negara ini.

Segala dimensi hidup orang Papua dipolitisir habis-habisan. Indonesia menggunakan topeng yang bernama Orang Tak Dikenal (OTK), tabrak lari, AIDS, keracunan makanan dan minuman. Semua persoalan itu dikendalikan oleh TNI/Polri yang tentu menempatkan masyarakat Papua sebagai pihak korban. Jika tidak ada persoalan, keberadaan TNI/Polri tidak ada gunanya. Kerja mereka paling hanya pulang pergi ke kantor sambil menunggu gaji mereka. Supaya ada kesibukan atau pekerjaan tambahan, TNI/Polri sengaja menciptakan berbagai macam persoalan dalam kehidupan masyarakat Papua.

TNI/Polri menjadi bandar penjualan Minuman Keras (Miras), bandar perjudian Toto Gelap (Togel), dadu, lokalisasi, ilegal logging, pembunuhan misterius (Petrus), memata-matai aktivitas orang Papua melalui agen-agen sipil yang dibentuk untuk mengadu domba orang Papua, dan lain sebagainya.

Catatan untuk Orang Papua

Segala macam aktivitas yang dilakukan oleh Indonesia di Papua melalui kaki-tangannya, baik dari sisi Ideologi, Politik, Ekonomi, Sosial Budaya, Hankam tidak terlepas dari pretensi politik demi mempertahankan hegemoninya. Untuk itu, bagi orang Papua yang ingin bebas dari segala penderitaan dan penindasan, tidak boleh ada yang merasa bangga atas semua aktivitas ini.

Segala macam aktivitas Indonesia di Tanah Papua yang menggunakan berbagai macam topeng harus dapat ditinjau dari berbagai sudut pandang untuk mengetahui siapa Indonesia dan aktivitasnya yang sebenarnya.

Ada tujuan terselubung yang akan terlihat di sana. Tujuan itu adalah mempertahankan bahkan memperkuat hegemoni negara Indonesia di Tanah Papua. Akhirnya, memperpanjang penderitaan dan penindasan orang Papua. Orang Papua akan terus hidup bersama berbagai persoalan yang merendahkan harkat dan martabat manusia. Bahkan sampai terjadi pemusnahan etnis, hingga tinggal cerita bahwa orang Kulit Hitam, Berambut Kering, Ras Melanesia pernah hidup di negeri emas ini.

Sebagai orang Papua, tentu tidak mau mendengar cerita seperti di atas ini. Orang Papua harus hidup beranak cucu di atas tanah warisan leluhur Papua tanpa diganggu gugat oleh siapa pun dan atas nama apa pun. Segala macam aktivitas politik yang mengancam hak hidup dan hak milik serta hak bebas orang Papua harus ditolak dan dilawan dengan cara apa pun.

)* Penulis adalah salah satu penulis buku “Anomali Negara, Kawin Paksa Burung Garuda dengan Cenderawasih” (2015)

Terkini

Populer Minggu Ini:

Freeport Setor Rp3,35 Triliun Bagian Daerah atas Keuntungan Bersih 2023

0
“Keberhasilan kami sebagai perusahaan adalah ketika masyarakat di lingkungan sekitar area operasional meningkat taraf hidup dan kesejahteraannya. Kami terus bertumbuh dan berkembang bersama Papua hingga selesainya operasi penambangan pada 2041,” kata Tony.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.