Pesparani: Panggung Harmoni dari Maluku

0
5731

Maluku pernah menulis cerita kelam kepada dunia. Cerita tentang hilangnya ribuan nyawa dalam pertikaian bernuansa agama yang meletus hampir dua dasawarsa lalu. Cerita kelam itu menguap pergi di saat Maluku menjadi panggung lakon tarik suara memuji kebesaran Allah lewat Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ) tahun 2012, Pesta Paduan Suara Gerejawi (Pesparawi) Kristen Protestan tahun 2015, dan kini Pesta Paduan Suara Gerejani (Pesparani) Katolik tahun 2018.

Enam tahun terakhir, Ambon, Ibu Kota Provinsi Maluku, menjadi tuan rumah untuk tiga kegiatan keagamaan berskala nasional itu. MTQ tahun 2012 merupakan yang XXIV, Pesparawi tahun 2015 merupakan yang XI, sedangkan Pesparani kali ini merupakan yang pertama. Di luar kegiatan keagamaan, masih banyak lagi kegiatan nasional diselenggarakan di Ambon.

Pada momentum MTQ dan Pesparani, Ambon yang oleh pemerintah pusat dilabeli sebagai daerah rawan konflik, berhasil membuktikan diri menjadi tempat yang aman bagi semua orang. Beduk MTQ 2012 ditabuh, para pendeta Kristen Protestan membuka pintu rumah bagi peserta untuk tinggal.

Begitu pula Uskup Keuskupan Amboina, Mgr. Petrus Canisius Mandagi, MSC menampung kafilah dari Provinsi Banten di istananya.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

“Saya merayakan misa di bawah dan mereka shalat di lantai dua,” ucap Mandagi.

ads

Umat Kristiani yang lain ikut meramaikan.

Paduan suara dari Universitas Kristen Indonesia Ambon dan Sekolah Tinggi Agama Kristen Negeri Ambon. Juga beberapa grup musik yang diisi umat Kristiani melebur dan berkolaborasi menghasilkan harmoni. Ketakutan masih membayangi sebagian peserta, sebab inilah kegiatan nasional terbesar di Ambon setelah daerah itu dilanda konflik. MTQ sukses.

Tiga tahun kemudian, pada saat Pesparawi XI, kontingen dari Sulawesi Utara diajak nginap di rumah warga Batumerah. Batumerah merupakan komunitas muslim terpadat di Maluku, titik awal bermula konflik kala itu.

Setelah Pesparawi berakhir, isak tangis dari mama-mama Batumerah pun mengiringi kepulangan kontingen. Hal serupa juga dialami komunitas muslim di Silale yang kebagian menampung peserta dari provinsi lain.

Dalam pembukaan Pesparawi 2015 itu, pembawa papan nama saat defile kontingen adalah gadis-gadis Muslim berhijab. Beberapa pemuda Muslim juga ikut menepuk rebana mengiringi lagu Kidung Pujian dalam Ibadah Pembukaan. Mereka berkolaborasi dengan musik trompet dari Gereja. Sungguh pemandangan yang manis. Pasparawi sukses.

“Kolaborasi itu indah karena melahirkan harmoni. Bagi kami orang Maluku, kolaborasi itu membuat kami semakin dekat,” kata Ketua I Majelis Ulama Indonesia (MUI) Maluku, Abidin Wakano.

Baca Juga:  Indonesia Berpotensi Kehilangan Kedaulatan Negara Atas Papua

Pendeta Gereja Protestan Maluku, Jacky Manuputty juga sering mengutarakan hal yang sama kepada publik dalam sejumlah kesempatan.

Kini, Pesparani menyapa Ambon. Umat Muslim, Kristen Protestan, dan umat agama lain terlibat aktif dalam mnyukseskan kegiatan itu.

Demi Pesparani, kegiatan sidang tahunan Sinode Gereja Protestan Maluku ditunda hingga pertengahan November 2018. Partisipasi lainnya dalam bentuk komposisi kepanitiaan. Umat Katolik yang ada di dalam kepanitiaan mungkin tak sampai 10 persen, selebihnya dari umat Protestan dan Islam.

Maluku kembali menulis pesan harmoni lewat Pasparani. Pesan tentang Maluku yang kini semakin rukun dalam kebersamaan antarumat beragama. Maluku yang bangkit dari keterpurukan akibat konflik bernuansa agama perlahan menjadi kiblat bagi kerukunan. Maluku kini menjadi provinsi dengan indeks kerukunan tertinggi di Indonesia setelah Nusa Tenggara Timur (NTT).

Maluku satu-satunya provinsi di Indonesia yang lengkap memiliki Islamic Center, Kristen Center, Katolik Center, Hindu Center, dan Budha Center. Bila dahulu pernah dijadikan laboratorium konflik, kini Maluku bangkit jadi laboratorium kerukunan umat beragama. Jadi, jangan heran bila negara seperti Myanmar datang dan belajar tentang cara penyelesaian konflik horizontal di Maluku.

Baca Juga:  Musnahnya Pemilik Negeri Dari Kedatangan Bangsa Asing

Pesparani ini tidak hanya tentang mengukir nama sebagai juara pertama atau memboyong piala pergi dari Maluku, titik awal penyebaran agama Katolik di Indonesia itu. Pesparani menjadi momen untuk kembali mengabarkan tentang kerukunan di Maluku kepada dunia. Ini penting di tengah merebaknya politik identitas dan kekerasan atas nama agama.

Momentun ini juga menjadi panggung perjumpaan beragam budaya Nusantara. Budaya dari Tanah Rencong Aceh hingga Tanah Papua bersua mengukir warna Indonesia dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika. Di Maluku semua melebur di tengah dinamika politik nasional yang mulai menghangat. Panggung ini serasa holistik.

Harmoni seperti dalam dengungan serempak not do, mi, dan sol harus diwujudnyatakan dalam kehidupan sebagaimana tema Pesparani, yakni “Membangun Persaudaraan Sejati”. Kabar harmoni dari negara berpenduduk Islam terbanyak sejagat ini tentu akan berhembus hingga ke ujung dunia.

“Saya yakin Vatican (pusat Katolik di dunia) akan melihat Maluku,” ujar Gubernur Maluku, Said Assagaff.

Sumber: Komisi Komunikasi Sosial Keuskupan Amboina

Artikel sebelumnyaRaker III Gereja Kingmi Papua Putuskan Dua Hal Ini
Artikel berikutnyaMembaca Indonesia di Papua