Sisi Kelam Kehidupan Perempuan Korowai dan Alasan Saya Jadi Guru di Brukmahkot

0
9087

Oleh: Imelda Kopeuw)*

Usai membaca kisah ini, Anda mungkin akan bergumul dalam batin, “Sungguh malang nasib perempuan Korowai”, lalu selesai. Atau, Anda mungkin akan bertanya, “Apa yang dapat saya lakukan untuk membangun perempuan (SDM) Korowai?” Tulisan ini memberikan dua pilihan itu kepada Anda.

Kisah ini saya kutip seijin penulis, yaitu Pendeta Trevor, dari laporannya pada November 2012 untuk menjawab beberapa pertanyaan pembaca tulisan saya sebelumnya. Ada yang bertanya, bagaimana menyeimbangkan “pendidikan di kota metropolitan dengan menjadi guru di kampung terisolir”? Ada yang bertanya, bagaimana kondisi kehidupan perempuan Korowai? Ada yang berkata, itu tanggung jawab pemerintah.

Secara teori, saya tidak memiliki jawaban dan tanggapan atas pertanyaan-pertanyaan itu. Saya menjawab sesuai pengalaman faktual yaitu saya cermati berbagai laporan tentang Korowai, observasi lapangan, berempati dengan kehidupan mereka, kemudian mencontohi teladan keberpihakan Pendeta Trevor untuk terlibat dalam proses membangun sumber daya manusia suku Korowai, lalu saya ke Korowai menjadi guru di Brukmahkot.

Laporan di bawah ini adalah contoh dari laporan yang membangun empati serta melatar-belakangi pilihan saya untuk berpihak kepada Korowai. Laporan ini dibuat pada November 2012 oleh Pendeta Trevor Christian Johnson. Tokoh utama YW (seorang ibu) sudah meninggal. Tokoh P, suaminya, sudah memeluk agama Kristen. Tokoh S dan D masih hidup. Nama mereka saya tulis dalam inisial untuk menghormati privasi mereka. Ini menjadi contoh tantangan bagi kita untuk menentukan sikap dalam membangun SDM Suku Korowai.

ads

Dalam laporan pada November 2012, Pendeta Trevor menulis sebagai berikut:

“Kami mengambil gambar ini dua tahun yang lalu setelah merawat lukanya yang terinfeksi. Kakinya luka terpotong parang saat bekerja di kebunnya. Namun demikian, meskipun sakit, dia terus bekerja mencari makan setiap hari bagi keluarganya.

Kakinya memerah dan perih karena infeksi. Kami memberinya antibiotik, lalu perban kakinya. Dia kemudian melanjutkan pekerjaan sehari-harinya, berjalan terbungkuk-bungkuk setiap hari dengan noken penuh kayu bakar atau pisang yang tergantung di kepalanya. Terkadang dia membawa anaknya juga.

Dalam foto ini Anda dapat melihat bahwa mata kanannya cacat dan buta, mungkin akibat infeksi karena luka di masa lalu. Kami tidak bisa mengobatinya. Kulit lengannya bersisik karena penyakit kulit (kudis). Tubuhnya agak membungkuk.

Nama depannya, Y.. . Dalam bahasa Korowai Y.. berarti pencurian dan berhubungan dengan kejahatan. Itu adalah nama yang diberikan orang tuanya. Kami tidak tahu alasannya. Suami Y bernama P. P terkenal sebagai orang yang berperangai buruk. Kehadiran dia sepertinya selalu membawa konflik.

Kami tidak tahu dengan pasti bagaimana Y menjadi istri dari P. Banyak orang tua Korowai mengatur perkawinan putri-putri mereka di usia balita, dengan cara ditukarkan dengan bahan makanan dan janji-janji untuk mendapatkan lebih banyak barang dagangan. Seringkali, anak perempuan kecil berusia lima tahun dibawa pergi dan tinggal di rumah pria yang kelak akan jadi suaminya. Penjelasan yang kami dengar menggambarkan kejadian seperti itu adalah, “Saya telah membesarkannya menjadi istri saya.” Makna frasa “membesarkan” adalah makna seperti digunakan untuk menggambarkan bagaimana seseorang membesarkan ternak piaraan.

Baca Juga:  Hasil Temu Perempuan Pembela HAM dan Pejuang Lingkungan Bersama WALHI Nasional

Y juga kemungkinan besar dikawinkan dengan cara seperti itu ketika dia masih seorang anak gadis kecil, sedikit lebih baik dari barang dagangan.

Suami Y, yaitu P, sering bermusuhan dengan S. S adalah seorang pemuda yang sudah memeluk agam Kristen di sini yang akrab dengan keluarga saya. Dia membantu kami sebagai penterjemah dan tugas lainnya. Perpetua, putri kami, sering berlari untuk memeluknya saat bertemu dengannya. Adik S yang lebih muda D adalah gadis remaja dengan senyum lebar. Dia adalah seorang remaja yang baru bertumbuh menjadi seorang perempuan. P menginginkannya sebagai istri kedua. Dan dia tidak ragu menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan dia.

Bagaimana dengan Y istri P saat ini? Jawaban kasar P adalah, “Saya hanya menggunakan dia sampai saya bisa mendapatkan istri yang lebih muda.” Y berdiri di sebelah P saat dia menjelaskan semua ini, kepalanya tertunduk sambil melihat kakinya, sementara noken penuh kayu bakar yang membebani kepalanya.

P makin beringas dalam menuntut D menjadi istrinya. Kami harus melindungi D dari P. P mengancam akan memanah kami. Beberapa kali dia benar-benar menarik busurnya dan mengarahkan anak panah kepada saya dan Jimmy (misionaris HeartCry). Dia mengancam untuk memotong kabel radio kami, membongkar rumah kami, dan menghancurkan barang-barang milik kami.

Pada salah satu pertengkaran, P benar-benar melepaskan panah. Ini meningkatkan ketegangan. Y pasrah tidak berdaya di tengah-tengah semua masalah yang diakibatkan perkawinannya dengan P ini. Dia dipukul di kepala dan bahu beberapa kali dengan potongan kayu buah. Dia berdarah dan pusing saat kami mengobatinya dengan perban dan obat pereda nyeri. Dia tergeletak tak berdaya beberapa hari di pondoknya. Hingga akhirnya dia cukup kuat untuk keluar dari pondoknya dan kembali bekerja di kebunnya.

YW meninggal bulan lalu. Tidak ada yang tahu tanggal pastinya. Kematiannya disebutkan sebagai cerita sambil lalu yang dianggap tidak penting, “Tidak… tidak ada yang terjadi di desa dalam beberapa minggu yang terakhir…” dan kemudian, semenit kemudian, “Oh… Y meninggal… tapi itu hanya dia.” Itu hanya dia.

Malaria adalah penyakit yang mengerikan! Minggu dan saya sendiri menderita karenanya. Kami sengsara bahkan dengan kasus-kasus ringan. Kami punya obat-obatan dan seseorang membawakan kami makanan dan air.

Baca Juga:  YAPMI Berikan Sarana Air Bersih Bagi Warga Distrik Agandugume dan Lambewi

Saya sudah berhalusinasi sebelumnya karena malaria. Saya sampai berguling di lantai karena rasa sakit yang luar biasa. Saya sudah bertanya-tanya pada diri saya, apakah saya tulang punggung saya bergeser karena menggigil keras dan gemetar dan muntah akibat beberapa kali terserang kasus malaria. Minggu ini saya menggigil lagi dan gigi saya gemeretak karena demam sampai tambalan gigi saya terlepas di mulut saya, dan rahang saya masih terasa sakit karena kasus malaria “ringan” saya yang terbaru.

Y meninggal di rumah pohonnya, jauh dari desa. Kami tidak tahu apakah keluarganya hadir. Dia mungkin telah berhenti makan dan minum, seperti kebiasaan orang-orang suku Korowai di sini yang jatuh sakit karena malaria. Dia tidak punya obat untuk menurunkan demamnya, diperburuk oleh panas tropis. Dia tidak punya pil nyeri untuk meringankan rasa menggigil kedinginan yang menyakitkan. Lalat-lalat itu bisa mengerikan bagi yang sakit karena bau mereka memburuk dan mereka berlama-lama, terlalu lelah untuk mandi. Sepertinya dia menderita dan mati sendirian. Tidak ada laporan pemakaman. Jasadnya mungkin masih berada di rumah pohonnya. Seringkali jasad tetap di tempat dan rumah ditinggalkan hingga hutan menjadi lebat dan menutupinya.

Pada beberapa kesempatan, Y hadir mendengarkan Kabar Injil. Dia mendengarkan kisah Penciptaan Dunia, kisah Adam dan Hawa jatuh ke dalam dosa dan menjadi pintu masuk dari kutukan dosa ke dalam dunia, dan tentang Allah Bapa mengirimkan Juru Selamat ke dalam dunia bagi semua orang yang percaya. Namun, ia tidak begitu mengerti Bahasa Indonesia dan saya sedikit memahami dan berbicara bahasa Korowai, apakah dia benar-benar mengerti? S sering berusaha menjelaskan Injil dalam bahasanya sendiri. Namun, ia sering canggung dan ragu-ragu dan pengetahuannya terbatas.

Ancaman P telah membatasi kemampuan S untuk berbicara banyak kepada Y. Kami memiliki rekaman audio dari beberapa kisah Alkitab dalam dialek suku di selatan kami. Korowai Utara dapat memahami hal ini dan ini menguntungkan mereka, tetapi kontak Y dengan saya dibatasi oleh suaminya dan karena itu dia tidak bebas untuk mendengarkan rekaman ini. Saya telah berdoa dengan Y beberapa kali setahun terakhir ini. Apakah dia menganggukkan kepalanya karena percaya ataukah hanya pasrah karena tidak berdaya? Apakah dia mengerti?

Kami mencoba untuk tidak putus asa atas kesuraman kehidupan dan kematian banyak orang di daerah kami. Kami berdoa agar kasih Tuhan akan mempengaruhi wilayah ini dan banyak orang akan mengetahui Kasih Pencipta mereka dan juga lebih tahu kasih sesama manusia yang akan melihat mereka sebagai jiwa yang bermartabat, diciptakan menurut gambar Allah dan layak untuk dihormati dan dicintai.”

Baca Juga:  Peringatan IWD Menjadi Alarm Pergerakan Perempuan Kawal Segala Bentuk Diskriminasi Gender

Demikian laporan Pendeta Trevor. Apa respon kita?

Bila kita berempati dengan Suku Korowai, kita bisa memahami mengapa Pendeta Trevor sekeluarga memilih mengabdi sebagai bagian dari kehidupan masyarakat Suku Terasing Korowai selama 12 tahun dan terlibat mencari solusi atas masalah kesetaraan gender, masalah pendidikan, masalah kesehatan dan pemenuhan kebutuhan dasar lainnya bagi Suku Korowai.

Dia bahkan hanya terpaksa keluar dari Korowai untuk berobat ketika sudah sakit parah hingga nyaris lumpuh, 23 kali terserang malaria, limpa dan liver membengkak. Beliau memilih berobat di Bali dan kemudian di Penang meskipun ditawari kesempatan berobat ke Amerika dengan alasan biaya di sana yang mahal itu bisa digunakan untuk membangun Korowai.

Mungkin Anda tergolong orang yang menggeleng-geleng kepala dengan pilihan saya untuk menjadi guru di Brukmahkot, meskipun saya kuliah di Kota Metropolitan. Saya lebih parah dari Anda, saya adalah orang yang menggeleng-gelengkan kepala atas keputusan Pendeta Trevor sekeluarga untuk memilih berbakti bagi dan di tengah masyarakat Suku Terasing Korowai, dengan meninggalkan berbagai pilihan hidup mewah di negeri mereka Amerika. Siapa tidak ingin hidup mewah di Amerika dan memilih menghadapi berbagai resiko dengan berbakti di tengah kehidupan Suku Korowai?

Namun demikian, suatu ketika Pendeta Trevor akan kembali ke negerinya Amerika. Lalu timbul pertanyaan, apakah sekembalinya Pendeta Trevor dan keluarga ke Amerika, kondisi saudara-saudara kita di Korowai akan kembali ke masa kelam, berjalan di tempat, ataukah harus lebih maju? Siapakah yang akan meneruskan misi mulia untuk membangun saudara-saudara kita di Korowai agar lebih maju?

Pemerintah seharusnya merupakan penanggung jawab utama dalam membangun rakyatnya. Namun sesuai realita ada banyak kendala yang menghambat realisasi tanggung jawab itu. Dan karena itu, kita dihadapkan pada pilihan entah untuk meneladani pilihan sikap Pendeta Trevor atau untuk membiarkan saudara-saudara kita di Korowai menghadapi tantangan kehidupannya sendiri dengan alasan “itu tanggung jawab pemerintah”.

Mensikapi konteks itulah saya memutuskan menjadi guru di Brukmahkot dan berusaha mendorong kerja sama untuk membangun sekolah dan asrama untuk anak-anak generasi emas Korowai. Saya juga sedang berusaha untuk mengevakuasi 3 putri Korowai untuk bisa sekolah di Sentani agar kelak menjadi suster dan guru sesuai cita-cita mereka.

Mohon dukungan Anda atas misi ini.

5 November 2018

Salam,

)* Penulis adalah guru di Korowai

Artikel sebelumnyaPemilihan Ketua BEM USTJ Digelar Secara Demokratis
Artikel berikutnyaPentas Seni Budaya untuk Bela Hak Masyarakat Adat dan Kelestarian Lingkungan