Merci Beaucoup Kanaky: Demam Referendum Akhiri Kolonialisme di Melanesia Abad 21

0
6098

Oleh: Markus Haluk)*

A. Merci Beaucoup New Caledonia

“Hai, Merci beaucoup.” Aku hanya menatap wajahmu. “Hai… You Wantok Melanesia?” Aku pun diam menatapmu. “Hai.. your from?” tanyamu lagi untuk yang ketiga kalinya. Aku tetap menatap wajah dan mata birumu. Engkau heran dan terus terheran-heran menyaksikan reaksiku.

Engkau terus bertanya dan mengikuti jejak langkahku. Engkau tentu penasaran siapakah diriku ini? Mari ikutlah aku. Lihat, ini tanah Kanak, ini tanahku. Tanah Anda dan Tanah Kita. Singkat jawabku. Engkau kaget, gugup! Kini engkau pun diam membisu menatapku.

“Bro, jangan tanya aku lagi, tahun 2020, kita akan jumpa di sini, di tanah bangsa Kanaky, Melanesia.”

ads

Demikian petikan dialog singkat diantara sesama anak Melanesia West Papua dan Kanaky di Bandara Internasional Noumea, Selasa malam (6/11/2018) Pukul 22.00 Waktu Noumea.

B. Awal Kolonialisme di Tanah Kanaky

Kolonialisme di tanah dan pada bangsa Kanaky dimulai ketika Prancis menguasai bumi besar, yang oleh James Cook dinamakan “Kaledonia Baru”, pada 24 September 1853, ia mengambil alih wilayah di bawah kondisi hukum internasional yang kemudian diakui oleh negara-negara Eropa dan Prancis. Mereka tidak membangun hubungan hukum dengan penduduk pribumi. Perjanjian yang disahkan pada tahun 1854 dan tahun-tahun berikutnya dengan otoritas adat tidak merupakan kesepakatan yang seimbang, tetapi pada kenyataannya, tindakan sepihak demi kolonialisme, imperialisme dan kapitalisme.

Tanah dan pulau-pulau ini dihuni oleh pria dan wanita yang disebut Kanak. Mereka telah mengembangkan peradaban yang tepat, dengan tradisinya, bahasanya, kebiasaan yang mengatur bidang sosial dan politik.

Budaya dan imajinasi mereka diekspresikan dalam berbagai bentuk penciptaan. Identitas Kanak didasarkan pada koneksi khusus ke tanah. Setiap individu, setiap klan didefinisikan oleh hubungan khusus dengan lembah, bukit, laut, sungai, dan menyimpan memori penerimaan keluarga lain.

Nama-nama yang diberikan tradisi untuk setiap elemen suku menandai beberapa dari mereka, ruang dan pertukaran terstruktur jalur adat. Namun ketika Anda datang, merubahnya seakan tanah ini kosong.

Kolonisasi Kaledonia Baru adalah bagian dari gerakan sejarah yang luas, di mana negara-negara Eropa telah memaksakan dominasi mereka di seluruh dunia tanpa terkecuali.

Pria dan wanita, dari negara Prancis datang dalam jumlah besar, pada abad ke-IX dan ke-XX. Ketika itu para pemilik tanah ini yakin untuk membawa kemajuan, didorong oleh iman agamamu, kemudian menentang kehendak mereka atau mencari kesempatan kedua di Kaledonia Baru.

Dari waktu ke waktu engkau menetap dan menjadi tuan atas rakyat bangsa Kanak. Engkau membawa cita-cita, pengetahuan, harapan, ambisi, ilusi, dan kontradiksimu dengan rakyat bangsa Kanak.

Di antara kalian banyak warga Prancis berprofesi sebagai antropolog, sosiolog, arkelog, budayawan, imam atau pendeta, dokter dan insinyur, administrator, militer, politisi. Engkau telah melihat bangsa Kanaky dengan pandangan yang berbeda, ditandai dengan pemahaman yang lebih besar yang engkau bahasakan dengan dengan “kasih sayang sejati”.

Baca Juga:  Wawancara Eksklusif Daily Post: Indonesia Tidak Pernah Menjajah Papua Barat!

C. Dua Abad Engkau Masih Disini

Hampir 200 tahun engkau masih di sini, di tanah bangsa Kanaky. Dari waktu ke waktu, rakyat Melanesia di Kanaky terus tersingkir dari tanah mereka.

Hubungan rakyat di Kaledonia Baru dengan kota metropolis dari Eropa yang jauh telah lama ditandai oleh ketergantungan kolonial, sebuah hubungan yang tegas, penolakan untuk mengenali kekhususan yang populasi barunya juga telah menderita dalam aspirasi mereka.

Momen telah datang untuk mengenali bayang-bayang periode kolonial, bahkan jika itu tidak tanpa cahaya. Kejutan kolonisasi adalah trauma abadi untuk rakyat bangsa Kanaky.

Klan telah dicabut dari nama mereka bersama dengan tanah mereka. Pemukiman tanah yang besar telah mengakibatkan perpindahan populasi yang cukup besar, di mana klan Kanak telah melihat mata pencaharian mereka berkurang dan tempat mereka kehilangan memori. Pencabutan ini menyebabkan hilangnya referensi identitas.

Organisasi sosial Kanaky, meskipun diakui dalam prinsipnya, namun sangat mengecewakan. Pergerakan penduduk tidak terstruktur, ketidaktahuan atau strategi kekuasaan telah terlalu sering menyebabkan penolakan otoritas yang sah dan pembentukan otoritas tanpa legitimasi adat, yang telah memperjelas trauma identitas. Pada saat yang sama, seni bangsa Kanak ditolak dan dijarah.

Penyangkalan ini terhadap elemen-elemen fundamental dari identitas Kanak ditambahkan pembatasan kebebasan publik dan kurangnya hak politik, meskipun rakyat bangsa Kanak telah membayar penghargaan berat untuk membela Prancis, terutama selama Perang Dunia Pertama. Sayang, nyawa dan jasa besar rakyat Kanaky dibalas secara tidak adil.

Bangsa Kanaky didorong kepada marjinalisasi secara geografis dan kebijakan ekonomi oleh kebijakan pemerintah di atas tanah air mereka.

Kolonisasi menggerogoti martabat orang Kanak dan merampas identitas mereka. Pria dan wanita kehilangan nyawa atau alasan mereka untuk hidup dalam konfrontasi ini. Penderitaan hebat telah terjadi. Ini harus memori masa-masa sulit, untuk mengenali kesalahan, untuk mengembalikan ke identitas Kanaky ini disita, setara dengan dia dalam pengakuan kedaulatan, sebelum berdirinya kedaulatan baru sebagai Negara yang Merdeka dan Berdaulat di atas Tanah Moyang Kanaky.

D. Referendum Demi Referendum Bagi Bangsa Kanaky

Jika mereka benar-benar sadar siapa sesungguhnya diri mereka, dengan kebenaran iman Kristus yang dibawakan kepada rakyat bangsa Kanaky, tidak perlu Prancis menawarkan Referendum kepada rakyat bangsa Kanaky pada 1987, 1998, 2018, 2020 dan 2022. Sebab itu hanya sebuah strategi untuk memperpanjang kekuasaannya di tanah Kanaky.

Namun sebaliknya, jikalau Referendum adalah sebuh metode demokratis, mesti mereka benar-benar sadar bahwa dalam Referendum 2018, hampir semua rakyat bangsa Kanaky telah memilih untuk keluar dari Prancis dan berdaulat penuh. Hal inilah yang mestinya menjadi ukuran demokrasi dalam Referendum di New Caledonia.

Baca Juga:  Mosi Tidak Percaya PNG Tidak Dilayani

Hasil Referendum 2018 berbeda dengan Referendum pada 13 September 1987, dimana dari 50.520 pemilih (59,10% populasi penduduk) hanya 1,70% memilih Merdeka. Sedangkan 98,30% memilih untuk tetap bergabung dengan Republik Prancis. Sementara pada Referendum 4 November 2018, 56,4% memilih tetap bergabung dan 43,60% memilih keluar atau Merdeka Penuh.

Dilihat secara keseluruhan jumlah pemilih yang terdaftar sebanyak 174.995 jiwa. Dari jumlah tersebut, jumlah yang memilih sebanyak 141.099 suara, sedangkan jumlah yang memberikan hak suara 138.934 suara, abstain (tidak memilih) 17.965 suara. Hasil akhir, mereka yang memilih keluar dan Merdeka 60.573 suara (43,60%), sedangkan Pro Prancis 78.361 suara (56,40%).

Secara keseluruhan di New Caledonia terdapat 3 provinsi yakni Provinsi Nord/Utara, Provinsi Iles/Kepulauan dan Provinsi Sud/Selatan. Dari tiga provinsi tersebut, 2 provinsi yakni Provinsi Nord/utara dan provinsi Iles/Selatan yang penghuninya rakyat bangsa Kanaky, Melanesia dan Oceania secara mayoritas memilih keluar dan Merdeka (Pro FLNKS), sedangkan hanya 1 provinsi saja yakni provinsi Sud/Selatan yang mayoritasnya adalah warga dari Prancis (Eropa) dan Asia memilih tetap bergabung dengan Prancis.

Berikut kami perlihatkan hasil pemilihan pada 3 provinsi dimaksud sebagai berikut:

1). Provinsi Nord/Utara:

Jumlah yang terdaftar 40.047 suara, kemudian 34.445 pemilih dan 33.956 yang telah memberikan suara dengan perolehan akhir, Keluar dan Merdeka (FLNKS) 25.747 suara atau 75,82% dan Pro Prancis 8.209 suara atau 24,18%. Secara keseluruhan partisipasi di Provinsi Utara ialah 86,01%.

2). Provinsi Iles/Kepulauan:

Jumlah pemilih yang terdaftar, 22.236 orang dan 13.095 pemilih kemudian yang memberikan suara 12.936 orang. Hasilnya yang memilih Keluar dan Merdeka (FLNKS): 10.095 suara atau 82%, dan Pro Prancis 2.305 suara atau 17,82%. Partisipasi rakyat 58,89%.

3). Provinsi Sud/Selatan:

Jumlah terdaftar 112.712 suara, pemilih 93.559 suara dan yang memberikan suara 92.042 pemilih. Hasil akhir Pro Prancis 67.847 pemilih atau 73,71%, dan Keluar dan Merdeka (FLNKS), 24.195 pemilih atau 26,29%. Total partisipasi rakyat, 83,01%.

Dilihat dari jumlah partisipasi pemilih orang asli Kanaky termasuk Melanesia dan Oceania (Polinesia dan Micronesia) sebagaimana diungkapkan di atas lebih memilih untuk Keluar dan Merdeka Penuh sebagai sebuah Negara Berdaulat.

Kendatipun diselimuti perasaan mengecewakan dengan melihat hasil akhir Referendum 2018, bagi FLNKS sebagai Front yang memperjuangkan Keluar dari Prancis dan Merdeka Penuh tetap mempunyai harapan bahwa rakyat yang selama ini diwakilinya ingin Merdeka dan Berdaulat Penuh. Perjuangan mereka tidak berakhir pada 2018, namun terus akan berjuang di tahun-tahun yang akan datang.

Baca Juga:  Pasukan Keamanan Prancis di Nouméa Menjelang Dua Aksi yang Berlawanan

E. Rakyat Bangsa Kanaky: Terus Berjuang Hingga Menang!

Pada tanggal 5 November 2018 Pukul 14.30-15.30 Waktu Kanaky, saya diterima di Kantor Kongres FLNKS oleh Pemimpin (Presiden) dan petinggi FLNKS.

Dalam pertemuan ini terungkap jelas bahwa bagi Pemimpin FLNKS, hasil yang dicapai dalam Referendum 2018 merupakan hasil yang luar biasa dibandingkan hasil Referendum pada September 1987. Hasil Referendum 2018 juga telah membuktikan keinginan rakyat bangsa Kanaky (Melanesia) yang merindukan Kemerdekaan Penuh. Sebab sebagaimana telah diungkapkan tadi bahwa hampir semua rakyat bangsa Kanaky memilih Merdeka/FLNKS. Oleh karena itu, Referendum 2018 bagi FLNKS memberikan hasil yang positif, dimana mematahkan keraguan pihak luar dan internal orang Kanaky.

Sejalan dengan Perjanjian Noumea pada 1998 dan berdasarkan hasil pertemuan pada 5 November 2018 antara Pimpinan FLNKS dengan Perdana Menteri Prancis, akan dilakukan lagi Referendum Ulang pada 2020. Apabila FLNKS masih kalah pada Referendum 20120, maka akan diberikan kesempatan lagi Referendum pada tahun 2022.

Dalam pertemuan ULMWP dengan FLNKS, Pimpinan tertinggi FLNKS menegaskan bahwa “FLNKS akan kerja keras untuk memenangkan Referendum 2020”. Kunci kemenangannya adalah tetap menjaga persatuan, kebersamaan dan konsolidasi. Pada 2019-2020 waktunya kerja konsolidasi. Demikian terungkap dalam pembicaraan kami di Kantor Kongres FLNKS di Noumea, New Caledonia.

Pada kesempatan bersejarah tersebut, ULMWP menegaskan kembali komitmen dan dukungannya kepada FLNKS bahwa “ULMWP bersama rakyat bangsa Papua terus bersama Rakyat bangsa Kanaky/FLNKS untuk menentukan masa depannya sendiri”.

F. Demam Referendum Bumi Melanesia: West Papua?

Mulai November 2018 hingga November 2020 kita telah dan akan menyaksikan Referendum di wilayah Melanesia. Tiga wilayah Melanesia yang sedang memperjuangkan Hak Penentuan Nasib Sendiri ialah New Caledonia, Bougainville, dan West Papua. Peristiwa penting dan bersejarah itu telah dimulai 4 November 2018 Referendum di New Caledonia, dan pada Juni 2019 Referendum di Bougainville, kemudian kembali lagi pada tahun 2020 Referendum ulang di New Caledonia.

Referendum di dua wilayah Melanesia yakni Kaledonia Baru dan Bougainville menjadi momentum strategis dan bersejarah. Sebab pada saat yang sama, masyarakat Internasional mulai menaruh perhatian penuh di wilayah Melanesia. Kini kembali kepada kita, bagaimana menggunakan momentum tiga tahun ke depan secara strategis oleh Pemimpin ULMWP untuk mewujudkan Hak Penentuan Nasib Sendiri di West Papua.

Merci Beaucoup: Kanaky, West Papua, Melanesia. Dieu Bénisse! Sampai jumpa 2020 di Kanaky. Pasti engkau Bebas, Merci Beaucoup France. Air Vanuatu, telah tiba. Kembali ke Vila, minum Kava, bersama keluarga, West Papua, Melanesia. Waaa… waa… waaa….

)* Penulis adalah Direktur Eksekutif ULMWP di West Papua

Artikel sebelumnyaDana Pendidikan Belum Disalurkan, Ini Jawaban Sekda Paniai
Artikel berikutnya30 Orang dari Distrik Dekai Mengikuti Pelatihan KPMK