Pemberian Gelar Kepala Suku Besar Pegunungan Tengah kepada Kodam XVII/Cenderawasih Ditolak

0
14081

WAMENA, SUARAPAPUA.com — Ratusan masyarakat yang tergabung dari tiga suku besar wilayah Lapago yaitu Suku Hubula, Lanny dan Yali, di halaman Kantor DPRD Jayawijaya pada Senin (12/11/2018) melakukan aksi demo untuk menolak pemberian jabatan kepala suku besar Pegunungan Tengah Papua kepada Pangdam XVII/Cenderawasih dengan menghibahkan tanah seluas 90 hektar pada pekan lalu.

Sebagai bentuk penolakan, masyarakat yang melakukan demo juga telah tanda tangan petisi penolakan dari perwakilan masyarakat adat Omarikma, Yali, Hubula, Lanny, pemuda, mahasiswa, tokoh perempuan, aktivis HAM, praktisi hukum dan tokoh Gereja.

Ketua Solidaritas Peduli Hak Masyarakat Adat Pegunungan Tengah Papua, Steven W. Walela menegaskan, jabatan kepala suku di masyarakat Lembah Baliem secara umum di Pegunungan Tengah Papua berlaku dalam wilayah teritorial berdasarkan klen dan suku.

Menurutnya, setiap klen suku mempunyai kepala suku karena mereka dikumpulkan dari beberapa marga, namun untuk di Pegunungan Tengah Papua tidak satu kepala suku karena memiliki tiga suku yaitu Yali, Hubula dan Lanny, sehingga masing-masing memiliki kepala suku.

Baca Juga:  Pleno Kabupaten Yahukimo Dibatalkan KPU Provinsi Karena Masih Bermasalah

“Pemberian jabatan kepala suku dan tanah seluas 90 hektar ini dilakukan secara sepihak oleh Alex Doga yang lalu itu tanpa mempertimbangkan garis keturunan kepada anak sulung atau atau penghargaan atas jasa baik dalam perang,” tegasnya.

ads

“Ini kan tanpa disepakati para kepala suku dan pemilik hak ulayat, namun yang terjadi secara paksa dilakukan untuk menandatangani oleh pemilik hak ulayat yang tidak tau baca dan tulis dengan beberapa tawaran sebagai imbalan,” katanya.

Kata Steven, tanah yang diberikan oleh Alex Doga 90 hektar itu sesungguhnya bukan miliknya, melainkan milik Mulik Doga sebagai hak ulayatnya dan awalnya sudah nyatakan keberatan tidak setuju karena itu lahan perkebunan dan tempat keramat, sehingga masyarakat menolak.

Baca Juga:  PT Eya Aviation Indonesia Layani Penerbangan Subsidi Wamena-Tolikara

“Kami menolak karena dampaknya pada sumber kehidupan kami, hilangnya tempat kebun dan ternak hewan serta tanah adat ini juga tidak bisa diperdagangkan karena bukan milik perorangan. Jadi, jabatan kepala suka harus dikembalikan dan mutlak tak bisa diberikan kepada siapapun kecuali anak adat,” tegasnya.

Pihaknya juga menolak pembangunan Korem di wilayah itu karena masyarakat setempat belum siap menerima kehadiran militer.

Theo Hesegem mewakili Aktivis HAM, mengatakan, jabatan kepala suku harus resmi kembalikan ke hak adat, kalau Panglima masih mempertahankan pelantikan ini berarti Panglima harus tanggung jawab terhadap adat istiadat setempat.

Dikatakan, tongkat kepala suku yang diserahkan itu berarti secara otomatis hak adatnya diserahkan secara sepenuhnya. Sekarang Panglima sudah pindah dan Dandim lama 1702 juga sudah pindah.

Baca Juga:  Konflik Horizontal di Keneyam Masih Berlanjut, Begini Tuntutan IPMNI

“Pertanyaanya siapakah yang bertanggung jawab?” tanya Theo.

Pemberian gelar kepala suku itu harus dikembalikan secara resmi mandat yang diberikan kepada masyarakat Silo Doga.

Menurut Theo, sebenarnya kesalahan ini ada di suku Doga yaitu Alex Doga karena ini ulah mereka, sebab mereka yang minta untuk hal ini terjadi.

“Sehingga kita semua juga tidak bisa menyalahkan Dandim atau Pangdam karena ini ulah oknum Aleks Doga bersama rekannya,” tandas Theo.

Mewakili Komisi A DPRD Jayawijaya, Jimmy Asso mengatakan, aksi yang dilakukan ini akan ditindaklanjuti dalam rapat komisi dan dibahas pada sidang istimewa, sehingga hasilnya akan dilanjutkan ke DPR Provinsi Papua dan kepada pihak yang berkaitan.

Pewarta: Redaksi

Artikel sebelumnyaBuka Warnet Bermodal Niat, Tiap Hari Ramai Dikunjungi Warga
Artikel berikutnyaLawan Perampasan Tanah di Papua, Enam Suku Ketemu PGI di Jakarta