Papua Milik Kami!

0
9138

Oleh: Mikael Tekege)*

“Negara mana yang ingin ditindas oleh kekuasaan asing? Atau siapa yang ingin miliknya dirampok dengan tidak adil? …” (Dead Sea Scroll)

Pada hakikatnya manusia diciptakan untuk hidup bebas tanpa dihantui oleh siapapun dan atas nama apapun. Semua manusia di dunia ini memiliki etika keteraturan yang mengatur dinamika hidup mereka. Bahkan hewan pun memiliki keteraturannya tersendiri. Meskipun demikian, demi kekuasaan dan kepentingan ekonomi politik, negara memaksakan masyarakat untuk tunduk pada aturan hukum yang sangat mengikat sambil menghilangkan etika keteraturan yang ada sebelum jauh terbentuknya negara modern ini.

Indonesia merupakan negara yang memiliki aturan hukum yang melampaui keteraturan sosial yang dimiliki oleh masyarakat demi kepentingan kekuasaan dan ekonomi politik. Kepentingan ini pula yang kini membuat penegakan aturan hukum bersifat transaksional. Rakyat kecil berada pada posisi korban sejak dulu hingga kini. Begitu juga dengan kehidupan rakyat negeri Mambruk (Papua). Mereka (rakyat negeri Mambruk) dipaksakan untuk tunduk pada kekuasaan yang menindas hingga kini sejak 1963 .

Berbagai macam persoalan seakan-akan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan rakyat negeri Mambruk, harkat dan martabat menjadi taruhan demi kebebasan di atas negeri warisan leluhurnya. Segala-galanya yang dimiliki oleh rakyat dan alam Mambruk dikeruk habis-habisan, keunggulan serta prestasi yang diraih oleh anak negeri Mambruk dianggap tidak penting dan ancaman bagi mereka yang berjaya di atas negeri Mambruk ini, stereotip berbagai bentuk label yang bertujuan untuk membunuh karakter selalu dialamatkan kepada anak negeri Mambruk.

ads

Semua kenyataan yang dihadapi oleh rakyat negeri Mambruk, menunjukkan wajah kolonialis dan kapitalis yang sebenarnya. Dan rakyat negeri Mambruk harus pahami bahwa itulah cara-cara kolonialis dan kapitalis demi kepentingan kekuasaan ekonomi politik.

Pembangunan apapun yang dibuat oleh negara kolonialis hanya untuk memperkuat hegemoni di atas penderitaan rakyat negeri Mambruk. Karena itu, tidak ada yang perlu dibanggakan di dalam negara kolonialis ini. Rakyat Papua harus mengambil sikap untuk lawan sistem kepentingan kolonial yang menindas.

Perlawanan dan perjuangan ini membutuhkan pengorbanan harta benda, bahkan nyawa dan itulah konsekuensi dalam perjuangan ini. Jika rakyat negeri Mambruk membiarkan kenyataan tersebut, kolonial akan leluasa menguasai dan mengendalikan kehidupan sosial sekehendak hatinya.

Rakyat negeri Mambruk, terutama generasi muda harus sadar bahwa kolonialis dan kapitalis merampas semua yang kita miliki, mereka (kolonialis dan kapitalis) menginjak-injak harkat dan martabat kita, mereka membunuh melalui berbagai macam cara (terutama tima panas dan penyebaran penyakit paling mematikan AIDS), mereka menyiksa serta memperkosa wanita negeri Mambruk yang merupakan lambang kegagahan pria dan semua itu tak pantas kita hadapi karena kita adalah manusia yang memiliki hak untuk hidup, hak untuk bebas, dan hak untuk memiliki seperti mereka di seberang sana.

Baca Juga:  Freeport dan Kejahatan Ekosida di Wilayah Suku Amungme dan Suku Mimikawee (Bagian 4)

Pengorbanan dalam perjuangan bukan untuk ditangisi lalu dibiarkan. Bukan juga untuk merelakan sambil berdoa sepanjang siang dan malam meminta Tuhan untuk membebaskan dari penderitaan dan penindasan.

Ingat, kata Pastor dan Pendeta, bahwa Tuhan selalu menyayangi dan mengasihi segala bangsa ciptaan-Nya, entah itu kolonialis, kapitalis dan rakyat tertindas. Kolonialis dan kapitalis pun selalu berdoa agar kepentingannya tetap berjalan dan Tuhan pasti akan mengabulkan.

Karena itulah doa harus disertai dengan tindakan nyata. Pengorbanan harus menjadi spirit dalam perjuangan. Pengorbanan dalam perjuangan harus dimaknai sebagai sebuah tugas yang diwariskan kepada generasi yang tersisa. Para pejuang yang mengabdikan diri dan berkorban dalam perjuangan ini demi mempertahankan apa yang kita miliki, mereka berusaha sekuat tenaga untuk mengusir kaum kolonialis dan kapitalis, mereka telah berusaha agar anak cucu selamat dari pemusnahan ini. Dan mereka telah berusaha mempertahankan kebesaran kita, mereka telah berusaha mengangkat harkat dan martabat kita sebagai manusia, mereka telah berhadapan dengan berbagai macam moncong senjata, namun tak pernah memadamkan bara juangnya hingga timah panas menembusi tubuh mereka.

Kita pernah merdeka dan kita memiliki alat kelengkapan negara seperti dia yang berjaya di negeri ini, yakni: bendera Bintang Kejora, semboyan “one people one soul”, lambang negara Burung Mambruk, dan bentuk negara Republik of West Papua dan lagu kebangsaan Hai Tanahku Papua. Inilah dasar perjuangan kita untuk mengakhiri semua persoalan yang terjadi di negeri Mambruk.

Generasi muda negeri Mambruk merupakan tulang punggung bangsa. Rakyat dan alam Mambruk gantungkan harapan akan kebebasan kepadamu. Rakyat negeri Mambruk mengharapkan engkau mengubah air mata ini menjadi mata air kehidupan. Rakyat negeri Mambruk mengharapkan tangisannya digantikan dengan suara tarian “waita”, bunyi tifa dan sebagainya seperti yang dulu pernah ada. Rakyat menggantungkan harapan hidup yang bahagia secara kolektif agar tersenyum bersama lambang kebesaran kita “Bintang Kejora”, dan semua harapan ini ada dipundakmu generasi muda negeri Mambruk.

Tidak perlu ada yang diragukan dalam perjuangan ini karena sejujurnya tanah ini milik kita; gunung ini milik kita; sungai ini milik kita; batu ini milik kita; pohon ini milik kita; dan segalanya yang ada di atas maupun di dalam negeri Mambruk ini adalah milik kita yang telah dan sedang dirampas oleh kaum kolonialis dan kapitalis. Dan sebenarnya, kebebasan ini hak kita, seperti yang pernah dituliskan dalam lembaran negara kolonialis ini.

Baca Juga:  Politik Praktis dan Potensi Fragmentasi Relasi Sosial di Paniai

Generasi muda negeri Mambruk, kembalikanlah tanah ini kepadamu; kembalikanlah gunung ini kepadamu; kembalikan sungai ini kepadamu; kembalikanlah batu ini kepadamu; kembalikanlah pohon ini kepadamu; dan kembalikanlah semua ini kepadamu, karena itulah yang Tuhan berikan kepadamu, dan Tuhan pasti di pihakmu.

Demi kebenaran, demi kebebasan, demi harkat dan martabat, dan demi hak sebagai manusia, berjuang melawan kolonialis dan kapitalis adalah harga mati. Engkau yang dari timur, dan yang dari  barat, engkau yang dari utara dan yang dari selatan, engkau yang dari gunung dan yang dari pesisir negeri Mambruk, berjuang melawan dan membebaskan negeri Mambruk dari kepentingan kolonialis dan kapitalis adalah warisan kita sejak 1 Desember 1961.

Warisan ini harus dimiliki dan diperjuangkan sampai lambang kebesaran ini berkibar di negeri Mambruk, sampai mengembalikan harkat dan martabat, dan sampai kita kembalikan segalanya yang mereka rampas. Katakanlah dengan sesungguhnya bahwa saya adalah pewaris perjuangan ini dan bertanyalah di mana warisan itu? Berjuanglah karena warisanmu adalah perjuangan itu sendiri.

Kita Lawan Demi Cinta

Negeri Mambruk ini adalah “Ibu” yang memberikan penghidupan kepada kita pemilik negeri ini. Kita menjalankan berbagai macam aktivitas di atas negeri ini. Kita memanfaatkan dan menjaga segala-galanya yang terdapat di atas maupun di dalam tanah ini. Bukankah semua ini membuat kita bangga dan semakin cinta padanya?

Negeri ini menyediakan segala-galanya agar kita memanfaatkan, melestarikan dan mewariskan kepada anak cucu kita di sepanjang masa. Kita katakan Ibu, kita katakan Cinta dan kita katakan Bangga karena itulah yang negeri ini buat dan berikan kepada kita.

Namun, tidak cukup hanya kata Ibu, tidak cukup hanya kata cinta dan tidak cukup hanya kata Bangga, lalu tidak memelihara, tidak menjaga dan tidak melestarikannya. Ibu kita telah dan sedang direbut dan disiksa, Cinta kita telah dan sedang diperkosa dan kebanggaan kita telah dan sedang dihancurkan.

Saat ini, negeri yang kita katakan Ibu ini, negeri yang kita katakan Cinta ini dan negeri yang kita katakan Bangga ini membutuhkan kepedulian kita. Negeri ini membutuhkan bukti konkrit atas kata Ibu, kata Cinta dan atas kata Bangga kita. Tidak boleh ada yang menjual Ibu ini, tidak boleh ada yang menggadaikan dan mengkhianati Cinta ini dan tidak boleh ada yang menghancurkan kebanggaan ini.

Baca Juga:  Vox Populi Vox Dei

Semua itu merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya untuk membesarkan sang bayi “nasionalisme” negeri Mambruk yang telah lahir atas kawin paksa. Marilah kita memelihara dan membesarkan bayi itu meskipun akan melewati jalan yang berliku-liku dan kita harus mengakui bahwa itulah resiko yang harus kita tanggung dalam upaya memupuk dan memelihara bayi itu. Namun, satu hal signifikan yang perlu kita ketahui bahwa dalam perjuangan demi kebenaran banyak musuh akan menghampiri silih berganti.

Anak negeri Mambruk, katakan Ibu pada negeri ini, lihatlah dan pandanglah apa yang terjadi pada Ibumu. Anak negeri Mambruk, katakan Cinta pada negeri ini, dan lihatlah apa yang terjadi pada Cintamu. Dan katakan bangga pada negeri Mambruk ini, ketahuilah apa yang terjadi pada kebanggaanmu.

Siapa yang ingin Ibu kita disiksa dan dibunuh atas nama kepentingan yang merendahkan harkat dan martabat ini? Siapa yang ingin cinta kita direbut dan diperkosa oleh orang yang tidak pernah kita kenal dalam hidup ini? Siapa yang ingin kebanggaan kita dihancurkan oleh orang yang tidak jelas latar belakangnya ini?

Selamatkanlah Ibumu yang telah merelakan segalanya untukmu. Lindungilah cintamu yang telah menyerahkan keseluruhan dirinya. Dan, jagalah kebanggaanmu yang telah membesarkan keberadaanmu.

Atas nama Ibu, atas nama Cinta dan atas nama Bangga, kita akan melihat betapa beratnya beban dan persoalan yang dihadapi oleh negeri Mambruk. Tanpa Ibu, tanpa cinta dan tanpa bangga pada negeri ini, ibarat kita berjalan dalam kegelapan malam yang diciptakan oleh para penguasa negara ini demi kepentingan kekuasaan dan ekonomi politik.

Kita lawan demi Ibu, kita lawan demi Cinta dan kita lawan demi kebanggaan. Mati di atas kebenaran adalah terhormat di mata anak negeri, di mata alam Mambruk dan di mata Sang Pencipta alam semesta yang begitu luas ini.

Tulisan berjudul “Kawan, Negeri Ini Milikmu!”, pernah dimuat di buletin “Emageka Manaa” milik Ikatan Pelajar dan Mahasiswa Paniai (Ipmapan) kota studi Yogyakarta-Solo. Atas izin penulis, artikel ini dipublikasikan lagi di situs Suara Papua.

)* Penulis adalah salah satu penulis buku “Anomali Negara, Kawin Paksa Burung Garuda dengan Cenderawasih” (2015)

Artikel sebelumnyaAMP Komite Kota Ambon Sudah Terbentuk
Artikel berikutnyaGubernur Ajak Pemuda Papua Kawal Program dan Kebijakan Pemerintah