Usai Konferensi Bersama, AMP, Gempar-P, FIM-WP dan Sonamapa Bersatu

1
16166

JAYAPURA, SUARAPAPUA.com — Menyadari bahwa musuh yang mereka perangi adalah sama, empat organ pergerakan mahasiswa Papua, yakni Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Gerakan Mahasiswa, Pemuda, dan Rakyat Papua (Gempar-P), Forum Independen Mahasiswa West Papua (FIM-WP), dan Solidaritas Nasional Mahasiswa dan Pemuda Papua Barat (Sonamapa) telah bersatu membentuk wadah persatuan yang diberi nama Serikat Perjuangan Mahasiswa (Sepaham) Papua.

Deklarasi wadah persatuan tersebut lahir setelah melalui sesi konferensi bersama pada Kamis (15/11/2018) sebelumnya. Hal ini disampaikan Nelius Wenda, juru bicara Sepaham Papua, kepada suarapapua.com, Minggu (18/11/2018) sore.

Organ-organ pergerakan mahasiswa dalam Sepaham Papua menyadari bahwa musuh yang mereka perangi di Tanah Papua adalah sama. Selain itu, organ penyatuan ini dibentuk untuk menyatukan gerakan mahasiswa untuk lebih kuat bersuara ke depan.

“Dalam konferensi tersebut telah diputuskan secara kolektif dan demokratis Sepaham sebagai gerakan bersama mahasiswa untuk mempersatukan gerakan dengan isu-isu bersama dalam rangkat memperkuat agenda-agenda bersama ke depan. Dengan tuntutan-tuntutan yang telah diputuskan bersama: anti imperialisme, anti kolonialisme, anti militerisme, anti kapitalisme, dan anti seksisme, karena musuh-musuh ini adalah akar dan dalang kejahatan perpecahan, pembunuhan, dan perampasan tanah dan manusia Papua,” tulis Wenda dalam pernyataan tertulisnya.

Berikut pernyataan tertulis yang disampaikan Juru Bicara Sepaham Papua kepada media ini.
_________
Konferensi Serikat Perjuangan Mahasiswa (Sepaham) Papua
Konsolidasi Mahasiswa Papua Se-Indonesia untuk Membangun Persatuan Nasional Melawan Imperialisme, Kolonialisme, Militerisme, dan Seksisme di Tanah Papua

ads

Setengah abad perjuangan rakyat Papua semakin hari sudah tidak mampu dihentikan oleh kolonialisme dan militerisme Indonesia. Gerakan-gerakan perjuangan rakyat Papua, baik mahasiswa, buruh, masyarakat adat, hingga gerakan diplomat semakin hari merubah wujud perjuangannya sesuai konteks ketertindasan hingga membuat kolonialisme Indonesia menggunakan berbagai pola represif untuk menekan segala bentuk perlawanan rakyat Papua yang berujung segala jenis pelanggaran-pelanggaran HAM hingga genosida sistematis etnis Melanesia di Papua.

Baca Juga:  KKB Minta Komisi Tinggi HAM Investigasi Kasus Penyiksaan OAP

Disamping itu, wilayah koloni Papua menjadi wilayah yang subur bagi praktek-praktek kapitalisasi, seperti: perampasan-perampasan tanah adat untuk kepentingan industri, bahkan perusahaan multi kapitalisme seperti MIFEE, BP Tangguh, PT. Freeport, dan lain-lain menjadi bargaining penting untuk kapitalisme agar tetap eksis menghisap dan menjajah rakyat dan tanah Papua.

Masyarakat adat Marind di Merauke dihancurkan kehidupan dan masa depannya oleh perusahan-perusahan multi internasional MIFEE yang membuat rakyat di sana pecah-belah dan penindasan terus terjadi di sana. Juga buruh-buruh Freeport di-PHK tanpa alasan yang jelas membuat banyak buruh harus terancam hidupnya, juga wilayah ekspolitasi yang mencapai 2000-an industrialisasi besar lainnya yang tersebar di Papua.

Tanah-tanah adat milik rakyat diambil alih oleh negara untuk digadai kepada industri-industri multi nasional, arus ekonomi orang Papua menciptakan ketergantungan yang membuat rakyat tak mampu memproduksi ekonomi lokal dan kebudayaan akibat pengalihan fungsi hutan dan alam Papua.

Selain itu, praktek kolonisasi membuat Papua terisolasi oleh media internasional yang membuat arus ilmu-ilmu pengetahuan, informasi media, dan lain-lain diperhambat bahkan membuat rakyat Papua terhegemoni dalam kekuasaan kolonialisme Indonesia. Selain pembunuhan dan penghilangan nyawa rakyat Papua, militer juga sudah mulai melakukan penindasan dengan praktik-praktik halus, seperti dengan pendekatan menjadi guru, perawat, dan lain-lain yang bertujuan untuk membuat rakyat Papua trauma dan hidup dalam ketakutan intimidasi militer.

Baca Juga:  Panglima TNI Didesak Tangkap dan Adili Prajurit Pelaku Penyiksa Warga Sipil Papua

Dalam kondisi ini juga posisi perempuan Papua pun mengalami penindasan yang cukup parah oleh sistem kapitalisme dan kolonialisme Indonesia. Kolonialisme yang begitu kental membuat kesalahpahaman di dalam peran kerja manusia laki-laki dan perempuan dalam melihat situasi ketertindasan di Papua. Akibatnya, perempuan Papua dihambat kehidupannya, baik dalam kehidupan kesehariannya mulai dari lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, bahkan dalam organisasi-organisasi.

Praktik kolonialisme membuat rakyat Papua terpecah-belah, dengan adanya produk-produk pemekaran desa, distrik, kabupaten dan provinsi, yang membuat rakyat Papua hidup dibawah ketergantungan kolonialisme dan kapitalisme Indonesia, kapitalisme internasional, dan imperialisme. Situasi kolonisasi ini membuat gerakan dan rakyat Papua berkembang lambat.

United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) sebagai wadah persatuan pun dihambat oleh kolonial Indonesia untuk kepentingan politik dan ekonomi Indonesia. Sektor-sektor nelayan, buruh, masyarakat adat, mama-mama pasar dan lain-lain dihambat hidupnya demi kepentingan industri-industri yang sangat merusak tanah dan manusia Papua.

Bahkan dalam melanjutkan eksistensinya praktek kolonialisme kemudian berlanjut hingga ranah pendidikan, seperti kapitalisasi, militerisasi, dalam kampus-kampus di Papua. Tunjangan iuran kuliah (UKT) yang terus naik tiap tahunnya dan berbanding terbalik dengan affirmative action di bidang pendidikan rancangan UU Otsus, berakibat pada banyak mahasiswa Papua yang meninggalkan kampus karena alasan-alasan tidak punya biaya kuliah. Juga praktek-praktek militeris yang sudah berani-berani masuk kampus dan mengintervensi kampus yang membuat mahasiswa trauma dan tidak konsentrasi dalam proses pendidikan, seperti halnya yang terjadi di Universitas Musamus Merauke. Selain itu juga proses pendidikan kampus yang memproletarisasi mahasiswa menjadi intelektual yang tidak mandiri dan hanya bergantung dan diatur oleh kapitalis dan kolonial Indonesia, yakni pendidikan yang sentralistik.

Baca Juga:  Pemuda Katolik Papua Tengah Mendukung Aspirasi Umat Keuskupan Jayapura

Dengan melihat kondisi-kondisi ini, bahkan sudah adanya banyak gerakan-gerakan mahasiswa Papua yang berfokus dengan berbagai isu, mulai dari isu hak penentuan nasib sendiri, hingga isu-isu sektoral di atas, mulai dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Forum Independen Mahasiswa (FIM) West Papua, Gerakan Mahasiswa, Pemuda, dan Rakyat Papua (Gempar-Papua), serta Solidaritas Nasional, Mahasiswa, dan Pemuda Papua Barat (SONAMAPPA), telah melakukan konferensi bersama yang melahirkan sebuah gerakan persatuan yaitu Serikat Perjuangan Mahasiswa Papua (Sepaham).

Dalam konferensi tersebut telah diputuskan secara kolektif dan demokratis Sepaham Papua sebagai gerakan bersama mahasiswa untuk mempersatukan gerakan dengan isu-isu bersama dalam rangkat memperkuat agenda-agenda bersama ke depan. Dengan tuntutan-tuntutan yang telah diputuskan bersama: anti imperialisme, anti kolonialisme, anti militerisme, anti kapitalisme, dan anti seksisme karena musuh-musuh ini adalah akar dan dalang kejahatan perpecahan, pembunuhan, dan perampasan tanah dan manusia Papua.

Maka, kami memutuskan membangun Sepaham Papua sebagai wadah untuk mendorong konsolidasi mahasiswa Papua se-Indonesia untuk membangun persatuan nasional melawan enam musuh di atas sebagai solusi untuk pembebasan nasional Papua. Kami menyerukan kepada semua gerakan rakyat Papua, untuk sama-sama mendukung inisiatif kami gerakan mahasiswa sebagai pusat perlawanan gerakan mahasiswa.

Sekian dan terima kasih.

Aliansi Mahasiswa Papua (AMP), Gerakan Mahasiswa, Pemuda, dan Rakyat Papua (Gempar-P), Forum Independen Mahasiswa West Papua (FIM-WP), dan Solidaritas Nasional Mahasiswa dan Pemuda Papua Barat (Sonamapa)

Serikat Perjuangan Mahasiswa (Sepaham) Papua

Nelius Wenda
Juru Bicara

Pewarta: Bastian Tebai

Artikel sebelumnyaSetelah Kanaky, KNPB: Indonesia Harus Belajar dari Perancis
Artikel berikutnyaAMP Komite Kota Ambon Sudah Terbentuk