Keramik Tiongkok, Alat Tukar yang Membudaya di Papua

0
11497

Oleh: Lisa Suroso)*

Suku-suku asli Papua sudah mengenal keramik Tiongkok selama ratusan tahun. Di mata mereka, keramik Tiongkok mempunyai fungsi sosial budaya yang tinggi.

Sepuluh laki-laki Papua berjubah kuning menari, menyanyi sambil menabuh tifa, gendang panjang khas Papua yang terbuat dari kayu dan kulit biawak. Di belakang mereka berbaris ratusan orang. Tua, muda, laki-laki dan perempuan, mengikuti penabuh gendang sambil berjalan jinjit-jinjit dan saling bersahutan. Ramainya barisan ini menyita perhatian masyarakat dan sempat membuat jalan raya Biak macet.

Inilah prosesi pernikahan adat Papua. Pengantin laki-laki yang dikelilingi penabuh tifa berjalan bersama rombongan menuju rumah pengantin perempuan. Tradisinya memang harus jalan kaki. Ia membawa serta tua-tua keluarga yang masing-masing membawa piring dan guci besar. Menariknya, piring-piring dan guci itu adalah keramik Tiongkok.

ads

Suku-suku lokal Papua sudah mengenal keramik dan porselen Tiongkok selama ratusan tahun. Ketika para pedagang Tionghoa datang mencari burung cendrawasih, mereka menggunakan keramik sebagai uang dan alat tukar. Keramik-keramik ini dikumpulkan dan menjadi pusaka keluarga yang sangat berharga. Ketika anak laki-laki sebuah keluarga akan menikah, ia wajib memberikan seperangkat piring keramik sebagai mas kawin kepada keluarga perempuan. Hampir setiap rumah tangga Papua mempunyai keramik-keramik yang dianggap sebagai aset ini.

Di Desa Adiwipi, Kampung Ambai, saya bertemu dengan Elsi Wanggai (56). Perempuan anak kepala suku ini mempunyai lima anak laki-laki dan lima anak perempuan. Mereka tinggal bersama di rumah panggung kayu yang didirikan di atas laut. Kampung Ambai yang terletak di Distrik Kepulauan Seribu memang sebuah desa yang berdiri di atas laut. Barisan rumah-rumah diatur sedemikian rupa supaya ada gang, agar kapal bisa lewat. Kapal menjadi alat transportasi sehari-hari untuk ke sekolah, mencari ikan, mengambil air tawar atau pergi ke gereja yang ada di darat.

Baca Juga:  Vince Tebay, Perempuan Mee Pertama Raih Gelar Profesor

Elsi mengajak saya ke sebuah bilik kamar yang penuh dengan keramik. Ada guci, piring berukuran besar, mangkuk, dan piring-piring makan. Sebagian dari piring-piring itu merupakan warisan keluarga berumur puluhan sampai ratusan tahun. “Piring ini sudah tujuh turunan,” kata Elsi sambil menunjuk piring hijau bermotif naga dan guci putih biru bermotif bunga.

Keramik-keramik ini mempunyai makna budaya mendalam bagi orang Papua. Selain digunakan sebagai mas kawin, dalam upacara adat menyambut tamu, piring ini harus diinjak oleh tamu di depan pintu, baru pintu ditutup. Artinya tamu dite¬rima oleh keluarga. Itulah sebabnya piring ini juga disebut piring tutup pintu. “Bila orang yang datang itu punya maksud buruk, piring yang diinjak akan pecah,” tutur Wati, anak perempuan Elsi.

Upacara injak piring ini sempat digelar saat mantan Presiden Megawati datang ke Ambai. Ratusan piring milik warga dijajarkan dari dermaga sampai ke gereja. Sebagai penghormatan agar Megawati tidak menginjak tanah, ia berjalan di atas piring-piring itu. Selain sebagai mas kawin dan upacara penyambutan tamu, piring kuno ini juga digunakan sebagai sarana penyembuhan penyakit. “Bila sakit, tuang air ke dalam piring ini lalu minum airnya,” kata Elsi. Konon, si penyakit akan segera hengkang.

Punah karena Perburuan Harta Karun

Berita tentang banyaknya keramik antik Tiongkok di Papua ternyata diketahui oleh para kolektor dan pemburu benda antik. Laaga Samai, tokoh Papua yang tinggal di Andaair mengatakan bahwa keramik ini kerap mereka sembunyikan di hutan dan gua karena memicu konflik. “Ada kisah dimana seorang ayah yang mencegah pertikaian anak laki-lakinya memperebutkan warisan keramik ini, harus membunuh bujang yang membantunya membuang keramik di hutan, supaya tidak ada saksi yang tahu tempat persembunyiannya.”

Baca Juga:  Apakah Kasuari dan Cenderawasih Pernah Hidup di Jawa?

Keramik sebagai pusaka keluarga ini konon harus diwariskan kepada anak laki-laki yang terpilih. Bila dimiliki oleh mereka yang tak berhak, bisa menimbulkan sakit-penyakit.

Keramik Tiongkok warisan yang asli, kini memang makin sulit didapatkan. Tak sedikit orang Papua yang menjual pusaka keluarga kepada para kolektor. Tak heran, karena harganya bisa mencapai puluhan hingga ratusan juta rupiah di pasaran. Kebanyakan yang ada saat ini adalah keramik modern yang tidak antik dan mudah didapat. Pergi saja ke pasar-pasar di Papua. Pada toko peralatan rumah tangga Anda bisa menemukan tumpukan keramik Tiongkok dengan harga mulai dari Rp. 60.000,- sampai Rp. 500.000,- Biasanya keramik dibeli satu-persatu untuk “ditabung” menjelang rencana pernikahan karena harganya cukup mahal. Keramik ini didatangkan dari Jakarta dan Surabaya. Selain bermotif desain oriental khas Tiongkok, beberapa keramik modern ini mempunyai desain dan motif-motif Papua, seperti gambar burung cenderawasih dan tifa.

Saya cukup beruntung untuk masih bisa melihat keramik kuno yang asli. Hayum Ombainer, Raja Suku Namatota yang tinggal di Kampung Seram Kaimana masih memiliki¬nya. Ia memperlihatkan sejumlah keramik yang disebutnya piring dan guci kanton, lantaka Portugis, serta perak-perunggu berbagai bentuk yang disebut emas Papua. Biasanya warisan keluarga yang masih langgeng terjaga memang dimiliki oleh keturunan raja atau kepala adat.

Baca Juga:  Apakah Kasuari dan Cenderawasih Pernah Hidup di Jawa?

Berbeda dengan suku-suku daerah utara yang hanya mensyaratkan keramik sebagai mas kawin, suku di wilayah selatan Papua mensyaratkan juga lantaka atau lela (meriam) Portugis, gong, dan emas Papua. “Semua ini diberikan kepada pihak pengantin perempuan dengan makna khusus,” jelasnya.

Guci mengandung makna ibu yang akan mengandung. Piring diberikan untuk makan dan mangkuk untuk minum obat selama hamil. Gong dibunyikan bersama tifa saat upacara nikah. Lela atau meriam adalah pengganti tulang belakang yang sakit karena melahirkan. Sementara emas Papua adalah pengganti rasa pahit setelah minum obat. “Ini semua diberikan bersama pinang, sirih dan rokok,” katanya.

Saat saya bertanya apakah ada pemburu harta karun yang sempat menemuinya, ia tersenyum. “Sudah banyak yang menemui saya untuk melihat barang-barang ini.” Pantas, ia tak tampak kaget ketika saya memohon untuk mengeluarkan semua barang itu dari gudangnya. Cukup makan waktu, karena beberapa diantaranya berat. Hayum lalu menceritakan seorang kolektor Surabaya yang naksir guci antiknya. “Dia tidak mengeluarkan angka, tapi kompensasinya adalah membiayai penuh uang kuliah anak saya di Surabaya sampai selesai.”

Bagaimana bila keluarga laki-laki tidak lagi punya barang-barang antik ini untuk meminang sang gadis pujaan? “Mudah, ganti saja dengan uang,” Hayum tersenyum.

Artikel ini sebelumnya diterbitkan di blog penulis. Atas izin penulis, artikel ini diterbitkan di situs Suara Papua.

)* Penulis adalah co-founder Yayasan Dokter Peduli (doctorSHARE) bersama dr. Lie Dharmawan dan aktivis lainnya melayani masyarakat Indonesia yang tidak memiliki akses kepada fasilitas kesehatan.

Artikel sebelumnyaDPD KNPI Provinsi Papua Gelar Pleno ke-1
Artikel berikutnyaJurnalis Jubi Dapat Perlakuan Diskriminasi Saat Liput 1 Desember di Manado