ArsipBeranikah Jokowi Tuntaskan Pelanggaran HAM di Indonesia?

Beranikah Jokowi Tuntaskan Pelanggaran HAM di Indonesia?

Rabu 2014-08-13 20:01:30

Oleh: Arnold Belau

 

Pertengahan tahun 2012, saya berada di Jakarta untuk mengikuti kelas Jurnalisme Sastrawi yang dibuat oleh Yayasan Pantau. Kelas itu diasuh oleh Janeet Steel, penulis buku ‘Sejarah Tempo’ dan Andreas Harsono, peneliti dari Human Rights Watch cum wartawan senior yang menulis ontologi ‘A9ama Saya Adalah Jurnalisme’.

 

Saat itu, warga DKI Jakarta sedang melakukan pemilihan Gubernur. Salah satu pesertanya adalah Joko Widodo, Walikota Solo, Jawa Tengah. Sehingga, pagi hari sebelum kelas akan dimulai, perbincangan hangat pada waktu itu, tentunya tentang siapa yang akan menjadi gubernur DKI.

 

Bahkan, pada hari terakhir, tepatnya tanggal 16 Juli 2012 pagi, Andreas Harsono traktir saya, Yushar Ismail dari Aceh, Yaya Nurulfitria dari Riau, Tommy Apriando dari Lampung, Husni Mahdani, si guru bahasa arab, dan Teguh Supriyanto dari Jambi, makan bubur, dan juga diskusi soal siapa Gubernur DKI Jakarta mendatang.  

 

Rekan saya, Tommy Apriando yang saat itu magang di kantor Kontras Jakarta selalu mengidolakan Jokowi yang kini terpilih menjadi presiden ke-7 Indonesia.

 

Tak heran, Tommy sudah mengetahui latar belakang si kurus itu karena ia pernah lama berdomisili di Yogyakarta, kota Gudeg, yang berdekatan dengan Solo.

 

Sejak itu, saya juga jatuh hati pada sosok Jokowi dan mengidolakannya hingga saat ini. Sampai-sampai, saya rela tidak golput pada pemilu kali ini untuk coblos Jokowi. Ia adalah sosok yang sederhana dan tegas, saya kagum dengan dia.

 

Terlepas dari itu, saya ingin mengutip satu kata bijak Jokowi “Pemimpin adalah ketegasan tanpa ragu”. Saya dan seluruh masyarakat Indonesia menaruh harapan besar di pundak Jokowi. Janjinya untuk merealisasikan revolusi mental, harapannya semoga tidak jadi slogan belaka.

 

Kembali ke judul topik tulisan ini, beranikah Jokowi tuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia? Pada masa kampanye, ia berjanji akan usut tuntas kasus-kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan hingga saat ini. Janji ini pernah disampaikan dihadapan ribuan pengusaha di ITC Surabaya, pada 28 Juni 2014.

 

Jokowi mengatakan dengan jelas, “Kasus HAM itu harus dituntaskan, (dicari) siapa pelakunya yang bertanggung jawab. Jangan sampai kita terbebani masa lalu. Dan harus dituntaskan."

 

Menurut hemat saya, Jokowi punya keinginan besar untuk selesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM – salah satu hal yang membuat hampir seluruh pegiat HAM di Indonesia mendukung Jokowi saat bertarung di bursa pemilihan gubernur DKI tahun 2012, maupun bursa pemilihan presiden tahun 2014.

 

Memang, banyak pihak yang meragukan ketegasan Jokowi untuk pimpin negara dengan penduduk terbanyak keempat di dunia ini. Banyak pihak mendukung Jokowi juga karena ia dinilai tidak punya beban masa lalu, dan itu memang betul.

 

Tidak sedikit juga yang tidak terima Indonesia dipimpin oleh presiden yang lahir dari kalangan sipil dan mendukung orang-orang bekas militer yang harus jadi presiden. Karena, bawaannya, presiden dari kalangan militer cenderung tegas dalam mengambil keputusan.

 

Tetapi, orang juga kebanyakan tidak bercermin pada beberapa pelajaran penting dari presiden pertama hingga presiden ke-6 Indonesia.

 

Adalah, bahwa saat presiden pertama Indonesia berkuasa sejak 1945 hingga 1965, atau Soekarno menjabat sebagai presiden Indonesia selama 20 tahun. Harus akui, bahwa presiden pertama Indonesia adalah dari sipil bukan dari militer.

 

Nah, pada babak kedua, Soeharto menjabat sebagai presiden selama tiga puluh tahun. Dari tahun 1965 hingga 1998 dengan meninggalkan berbagai persoalan. Mulai dari kasus-kasus pelanggaran HAM hingga utang luar negeri yang tidak sedikit jumlahnya, juga mewariskan tradisi korupsi untuk indonesia. Dan ia adalah presiden dari militer.

 

Intinya, Soekarno maupun Soeharto, kedua-duanya adalah presiden yang rakus kekuasaan dan dua presiden yang telah mewariskan berbagai masalah buruk untuk Indonesia.

 

Babak berikutnya, setelah Soeharto nyatakan mundur dari jabatan presiden, mandat presiden diserahkan pada BJ. Habibie.

 

Pada tahun pertama Habibie jadi presiden, Timor-Timur terlepas dan menjadi negara sendiri. Ini karena pemimpin yang tegas. Tentu, ini jadi alasan mengapa banyak pilih presiden dari militer, supaya tidak mengulangi hal yang pernah terjadi pada tahun 1998 itu.

 

Saat Abdulrahman Wahid atau Gusdur menjadi presiden, banyak orang berharap agar Gusdur membawa perubahan besar di Indonesia. Karena ia adalah satu-satunya tokoh pluralis dan tokoh pemersatu terbaik yang pernah Indonesia miliki.

 

Giliran Megawati Soekarnoputri menjadi presiden, juga tidak membawa dampak yang baik bagi Indonesia. Malah pada masa jabatannya, membawa malapetaka untuk rakyatnya yang mendiami pulau paling timur Indonesia.

 

Malapetakanya, pada masa Mega jadi presiden, ribuan militer, baik organik maupun nonorganik dikerahkan ke Papua. Hasil militer yang dikerahkan ke Papua itu, tokoh pemimpin rakyat Papua, Ondofolo Dortheys Hiyo Eluay, ketua Dewan Presidium Papua dibunuh oleh Kopassus dan sopirnya, Aristoteles Masoka diculik dan tak pernah ditemukan sampai hari ini.

 

Dan banyak kasus lainnya. Megawati adalah presiden perempuan pertama Indonesia. Suaranya lantang, tapi tangannya, tangan besi. Lidahnya, lidah api. Ratusan korban jiwa orang Papua hilang saat ia menjabat sebagai presiden.

 

Cak Munir, pejuang keadilan, kebenaran dan Hak Asasi Manusia pun terbunuh pada akhir masa jabatannya. Para pelakunya tak pernah dihukum. Sayangnya, Indonesia adalah negara hukum. Tapi hukum Indonesia hanya berlaku bagi kaum lemah. Kebal bagi para petinggi negara.

 

Saat itu, komandannya adalah Prabowo Subiato yang saat ini kalah dalam bursa Pilpres Indonesia 2014. Juga Prabowo pimpin operasi militer di Mapenduma yang telah menelan ratusan jiwa orang Papua.

 

Presiden berikutnya atau presiden keenam Indonesia adalah Susilo Bambang Yudhoyono. Sebagian besar penduduk Indonesia sambut baik kehadiran SBY pada bursa Pilpres 2004. Dan ia memenangkannya. SBY adalah presiden dari militer kedua, setelah Soeharto, presiden bertangan besi itu.

 

Semua orang menaruh harapannya pada SBY, untuk merubah nasib Indonesia menjadi lebih baik, apalagi baru transisi dari masa krisis moneter (Krismon) saat itu.

 

Nyatanya, banyak janji yang tidak ditepati SBY pada masa jabatannya di periode pertama. Salah satunya adalah gagal menegakkan supremasi hukum dalam kasus pembunuhan Munir yang meninggal setelah diracuni zat Arsenik. 

 

Sampai dengan hari ini, para pelaku utama pembunuh ditangkap. BIN, Polri, dan Kejaksaan gagal menangkap para penjahat kemanusiaan ini dan pemerintahan SBY-JK gagal tuntaskan kasus Munir. Bahkan, pelaku utamanya, Muchi PR divonis bebas pada tahun 2008.

 

Pada periode berikutnya, SBY kembali terpilih menjadi presiden untuk kedua kalinya pada tahun 2009. Pada pidato kenegaraan pertamanya, 17 Agustus 2010, SBY pernah menyebutkan bahwa Indonesia harus mendukung kerukunan antarperadaban atau harmony among civilization. Faktanya, catatan The Wahid Institute menyebutkan, sepanjang 2010 terdapat 33 penyerangan fisik dan properti atas nama agama dan Kapolri Bambang Hendarwso Danuri merinci 49 kasus kekerasan ormas agama pada 2010.

 

Berikutnya, periode kedua ini, Presiden SBY selalu mencitrakan partai politiknya menjalankan politik bersih, santun, dan beretika. Faktanya, Anas Urbaningrum dan beberapa petinggi Partai Demokrat kena kasus korupsi dan kini sedang diusut kasus-kasusnya.

 

Selain itu, sampai dengan hari ini, Partai Demokrat yang dipimpinnya hancur, karena kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh hampir sebagian besar kader partainya. Dan sampai dengan saat ini, kasus-kasus korupsi masih terus terjadi. Bahkan pada pemilu 2014 ini partai Demokrat kalah besar.

 

Ketegasan selayaknya seorang militer dalam mengambil keputusan, tidak pernah ditunjukkan oleh seorang Susilo Bambang Yudhoyono, selama 10 tahun berkuasa hingga akan berakhir masa jabatannya pada 20 Oktober 2014 mendatang.

 

***

Pada bursa Pilpres Indonesia 2014, dimenangkan oleh pasangan Jokowi-JK. Setelah bertempur dengan berbagai macam tantangan. Mulai dari sindiran dari kubu Prabowo-Hatta dengan puisi hingga tabloid Obor Rakyat yang isinya fitnah tentang diri Jokowi. Dari julukan capres boneka hingga mencap Jokowi adalah anak PKI.

 

Satu kalimat Jokowi yang selalu saya ingat adalah “Hidup adalah tantangan, jangan dengarkan omongan orang, yang penting kerja, kerja dan kerja. Kerja akan menghasilkan sesuatu, sementara omongan akan menghasilkan alasan.” Ini yang saya kagumi dari Jokowi.

 

Ketika banyak tantangan datang menimpanya, Jokowi hanya senyum dan ketawa sambil mengatakan “Ya, biarin saja. Aku ora popo”. Hebat, badaipun berlalu. Badai fitnahan, makian dan ocehan kini berubah menjadi berkat dan benteng yang tegar dan kokoh di puncak.

 

Jokowi akhirnya terpilih menjadi presiden RI yang ke-7. Kini, harapan 250-an juta jiwa rakyat Indonesia ada di pundaknya. Siap tidak siap, suka tidak suka, ia harus mengemban tugasnya sebagai presiden dan menjalankan amanat rakyat.

 

Memang diawal Jokowi diberikan mandat oleh Mega untuk jadi calon presiden, banyak pihak yang bertanya dan ambigu. Karena, di belakang Jokowi ada beberapa mantan petinggi militer yang menjadi tim suksesnya. Diantaranya, Wiranto, AM. Hendropriyono, Luhut Panjaitan dan Agum Gumelar. Sehingga banyak pihak, terutama dari kalangan aktivis kemanusiaan meragukan ketegasan dari si tukang kayu yang kini terpilih menjadi presiden, jika ia dihadapkan pada dugaan kasus yang melibatkan para pendukungnya.

 

Untuk konteks ini, saya ingin mengulang kembali satu kalimat yang membuat saya termotivasi, yakni pemimpin adalah ketegasan tanpa ragu. Harapan saya, semoga Jokowi realisasikan ketegasan tanpa ragu, sebagai presiden atau pemimpin Indonesia selama lima tahun kedepan.

 

Tentu, hal itu harus ia buktikan. Apalagi, Jokowi sudah berjanji untuk tuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM. Dan itu harus direalisasikan. Saya kembali mengutip pernyataan Jokowi, “Kasus HAM itu harus dituntaskan, (dicari) siapa pelakunya yang bertanggung jawab. Jangan sampai kita terbebani masa lalu. Dan harus dituntaskan.”

 

Ini adalah harapan besar sebagaian besar masyarakat Indonesia. Mereka yang merindukan keadilan, terutama pada korban Semanggi I dan II serta penuntasan pelanggaran HAM yang terjadi di bumi Papua dan pelurusan sejarah kelam rakyat Papua.

 

Tentang, Jokowi akan tepati janji-janjinya atau tidak, sebagian besar orang percaya Jokowi akan melakukannya. Karena, Jokowi tidak punya catatan buruk di masa lalunya. Namun, tidak sedikit yang meragukan hal itu, karena dibelakang Jokowi masih ada tokoh-tokoh militer yang mestinya bertanggung jawab terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM yang melibatkan mereka.

 

Pada Sabtu (09/08/2014) malam, Koordinator Komisi Untuk Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KontraS), Haris Azhar mengungkapkan kekecewaannya terhadap sikap Jokowi yang angkat Hendropriyono sebagai penasehat tim transisinya. Menurut Azhar, hal ini akan merugikan, bahkan akan membuat citra Jokowi kurang baik.

 

Hal itu, Haris Azhar ungkapkan lewat akun twitternya, @haris_azhar. Berikut kutipan twitnya: “1. Payah juga Jokowi ini angkat Hendropriyono jadi penasehat tim transisinya #transisi. 2. Hendropriyono patut dimintakan pertanggungawabannya, untuk kasus Talangsari. Kasusnya masih mandeg antara Komnas HAM dan kejaksaan #transisi.

 

3. Hendropriyono juga patut diminta pertanggunghjawabannya… karna Munir, mati dibunuh oleh agen-agen BIN dimasanya. ##transisijokowi. 4. Apa kompetensi Hendropriyono dalam konsep #transisijokowi? Atau ini soal jasa? Jasa kampanye?

 

5. Hendropriyono dalam tim ##transisijokowi justru menunjukkan Jokowi tidak peduli HAM dalam masa transisi ini dan kedepannya. Dan 6. Apa sih yang ditransisikan dari SBY sampai harus seorang Henderopriyono? #transisijokowi.

 

Tentu, Jokowi angkat Hendropriyono sebagai tim penasehat tim transisinya ini akan membuat banyak orang kecewa. Tidak hanya kecewa, tetapi juga akan merusak pandangan dan citra Jokowi di mata publik jadi kurang baik. Dan ini langkah awal yang kurang baik, menurut saya.

 

Dengan demikian, orang akan pertanyakan ketegasan Jokowi, untuk tuntaskan kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Sebab hal yang dilakukannya itu bertentangan dengan apa yang selama ini, ia sampaikan.

 

Tetapi, ada baiknya, jika nanti setelah ia dilantik jadi presiden, ketegasan itu ia buktikan. Dan saya percaya itu, karena Jokowi adalah bukan sosok yang banyak beralasan dengan omongan tetapi Jokowi adalah pemimpin sederhana yang bawaannya bekerja, bekerja dan bekerja melakukan sesuatu.

 

Harapan masyarakat Indonesia adalah agar Jokowi membawa negara ini menjadi lebih baik. Yang lebih penting disini adalah berikan keadilan yang selama in dituntut oleh sebagaian besar orang Indonesia. Dengan tuntaskan kasus pelanggaran-pelanggaran HAM, usut hingga tuntas sampai akar-akar. Juga diharapkan supaya mengurangi masalah-masalah yang selama ini terjadi. Hal itu tidak semudah membalik telapak tangan. Tetapi saya yakin, Jokowi akan buktikan bahwa dia adalah pemimpin yang masyarakat Indonesia dambakan.

 

Pada akhirnya, untuk membawa Indonesia ke tempat yang lebih baik, tidak cukup seorang presiden. Tetapi, sesungguhnya dibutuhkan partisipasi dari seluruh rakyat Indonesia. Dan pemimpin itu kuat, jika rakyatnya secara konsistem mengkawal setiap kebijakannya dan memberi teguran saat presiden salah langkah. Selayaknya seorang ayah dan anak. Hanya itu yang akan membuat Indonesia lebih baik.

 

Tugas besar seluruh rakyat Indonesia adalah mengawasi setiap kebijakan presiden terpilih. Juga memberikan masukan jika diperlukan. Dan memberi teguran jika Joko Widodo dan Jusuf Kalla salah langkah.

 

Pesan saya untuk Jokowi, pertama: “Kalo bisa, Setelah Jadi Presiden, kami masyarakat kecil mendambakan blusukan-blusukannya. Saya takut, kalo Bapak jadi presiden, tidak lakukan blusukan karena sibuk dengan urusan negara. Tapi, lihat juga keadaan kami dibawah.

 

Kedua, kalo Bapak jadi presiden, jangan operasi wajah ya, biarkan wajah ndeso itu tetap ada. Nanti kalo Bapak operasi wajah Bapak, kami takut. Karena Jokowi yang kami kenal adalah Jokowi yang wajahnya wajah ndeso. Asal Bapak dari Ndeso juga, maka jangan lupa kami yang di ndeso-ndeso dan jangan lupa ciri khas kami orang ndeso. Biarkan wajah ndeso itu tumbuh dan mengalir, tetapi otak dan wataknya harus internasional. Karena hanya orang ndeso yang bisa lakukan itu.

 

*Arnold Belau wartawan Suara Papua

Terkini

Populer Minggu Ini:

Pacific Churches Urge MSG to Expel Indonesia if it Does Not...

0
"Are the countries supporting Indonesia's candidacy as a member of the UN Human Rights Council saying that they are comfortable with human rights violations?"

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.