ArsipIni Kronologi Penangkapan Dua Jurnalis Perancis dan Empat Warga Sipil di Wamena

Ini Kronologi Penangkapan Dua Jurnalis Perancis dan Empat Warga Sipil di Wamena

Kamis 2014-08-14 07:01:45

PAPUAN, Jayapura — Penangkapan empat warga sipil di Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua, bersama dua Wartawan Perancis, diduga kuat menyalahi prosedur penangkapan dan tanpa dasar hukum yang kuat.

Indikasi itu terkuak jelas dari hasil investigasi lapangan yang diterima suarapapua.com di Jayapura, Rabu (13/8/2014) sore.

 

Diberitakan media ini sebelumnya, (Baca: Jurnalis Asal Perancis “Diamankan” di Polda Papua), penangkapan oleh anggota Polres Jayawijaya terjadi pada hari Rabu, 6 Agustus 2014 pukul 14:00 WP.

 

Ketua Dewan Adat Lani Besar, Areki Wanimbo bersama enam orang warga sipil dan dua orang jurnalis asal Perancis yang datang ke Wamena, ditangkap secara terpisah di Kota Wamena.

 

Areki Wanimbo ditangkap bersamaan dengan Deni Douw, Jornus Wenda, di rumah Areki. Beberapa saat sebelumnya, Akhy Logo (Ketua Yayasan YP3R), Thomas Dandois (Wartawan), dan Valentine Bourrat (Wartawan), sudah lebih dulu digelandang ke Mapolres Jayawijaya.

 

Sorotan Dunia

 

Penahanan dua Wartawan dari Perancis, Thomas dan Valentine, menarik perhatian banyak kalangan. Tak hanya dari organisasi Pers di Indonesia maupun dunia, sejumlah lembaga internasional semisal Amnesty International (AI), terhenyak mendengar kabar tersebut dari Tanah Papua.

 

Media nasional bahkan media luar negeri ramai mengabarkan penangkapan dua Jurnalis itu. Kecaman dan tuntutan mengalir deras. Berita peristiwa ini jadi sorotan dunia.

 

Thomas dan Valentine ke Indonesia dengan tujuan peliputan di Papua. Datang dengan tanpa visa wartawan, melainkan menggunakan visa turis (wisatawan).

 

Maklum, wartawan asing masuk ke Papua selalu dipersulit dengan ketatnya aturan dan persyaratan yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia.

 

Itu diterapkan sejak beberapa tahun lalu. Jurnalis dari media luar negeri tidak diijinkan melakukan peliputan di Tanah Papua. Jika diberi akses masuk, pemerintah Indonesia khawatir menginternasionalisasinya persoalan Papua.

 

Rekomendasi-rekomendasi badan HAM dan Kemanusiaan di PBB sering mendesak pemerintah Indonesia untuk membuka akses jurnalis asing masuk Papua melihat langsung situasi konflik kekerasan dan konflik politik yang terjadi berkepanjangan. Namun pemerintah terus membungkam dan mengisolasikan Papua dari mata dunia.

 

Pihak asing baik diplomat, utusan khusus maupun wartawan datang ke Papua dikawal ketat oleh sistem keamanan Indonesia. Tak ada ruang yang terbuka melihat perkembangan faktual. Pihak asing selalu diarahkan pada kepentingan pemerintah Indonesia, tidak diperhadapkan pada situasi yang real terjadi di Papua.

 

Dengan visa turis, dua Jurnalis ini bisa datang sampai ke Papua. Kehadiran mereka di Papua untuk meliput situasi keamanan dan situasi politik yang sedang terjadi di akhir-akhir ini.

 

Sebelum ke Wamena, Thomas dan Valentine sudah mengunjungi beberapa daerah di Papua. Dari Sorong, Timika hingga Jayapura. Telah mewawancarai beberapa tokoh pejuang di Papua.

 

Penangkapan

 

Hari Selasa 5 Agustus 2014, dua Jurnalis Perancis ini dari Jayapura “terbang” ke Wamena. Rabu 6 Agustus 2014, mereka ke rumah Kepala Suku Besar Lanny Jaya, Bapak Areki Wanimbo untuk menanyakan tentang situasi terkini di Kabupaten Lanny Jaya.

 

Selama beberapa waktu terakhir memang terjadi kontak senjata antara TNI/Polri dan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPN-PB).

 

Juga menanyakan bagaimana masuk ke lokasi perang untuk meliput langsung. Setelah diskusi, ada kesepakatan bersama mengatur perencanaan (rute, moda akomodasi, dan waktu) untuk sampai ke Kabupaten Lanny Jaya.

 

Ahky Logo, Thomas dan Valentine keluar dari komplek rumah Areki Wanimbo di Sinakma, hendak mau pulang ke penginapan Hotel Mas Budi di jalan Pattimura Wamena.

 

Dua jurnalis tersebut diantar masing-masing: Thomas diantar oleh Ahky Logo, dan Valentine diantar oleh Theo Hesegem dengan menggunakan sepeda motor.

 

Dalam perjalanan diikuti oleh tiga anggota intel dari Polres Jayawijaya sampai di Jalan Bhayangkara, dekat tempat pabrik air mineral Pikeyro. Dari belakang sepeda motor Theo Hesegem, diklakson 3 kali oleh anggota Intel yang sedang mengendarai sepeda motor untuk berhentikan Theo.

 

Setelah berhenti, anggota Polisi bertanya, “Dari mana Pak Theo?”. Theo menjawab, “Kami dari Sinakma, antar dia (Valentine) ke tempat tinggalnya.”

 

Seorang anggota intel menelepon Kapolres Jayawijaya. Sambil menelepon, anggota itu mengatakan, “Pak Theo antar dia saja dulu, kalau sewaktu-waktu kita perlu kami akan panggil.”

 

Usai antar Valentine di penginapan, Theo langsung pulang ke rumah.

 

Ahky dan Thomas ditangkap oleh anggota Polisi di depan kantor Samsat Jalan Bhayangkara Wamena, lalu diamankan di Polres Jayawijaya. Valentine dijemput polisi di Hotel Mas Budi. Ia pun langsung dibawa ke Polres Jayawijaya.

 

Sebelumnya, pihak kepolisian sudah mengikuti gerak-gerik dua jurnalis Perancis sejak tiba di Wamena.

 

Setelah Ahky, Thomas dan Valentine diamankan, pihak kepolisian menuju rumah Kepala Suku Lani Besar. Pasukan coklat menggeledah dan menangkap Areki, Deni dan Jornus, yang saat itu sedang duduk di dalam rumah. Langsung diangkut dengan mobil Estrada milik Polres Jayawijaya.

 

Mereka diinterogasi di ruangan Serse Polres Jayawijaya, selama 1×24 jam, tanpa didampingi oleh pengacara hukum.

 

Penangkapan terhadap enam orang ini, pihak kepolisian tanpa menunjukan surat perintah penangkapan. Baru setelah dua hari kemudian, surat penangkapan diterbitkan dengan hitungan tanggal mundur.

 

Polisi berdalih, Areki dan empat warga sipil ditangkap karena kedua wartawan asing berada dalam rumahnya. Dengan tuduhan menyalahi aturan keimigrasian.

 

Namun saat interogasi, sesungguhnya materi pemeriksaan seputar penangkapan dimana wartawan berada dalam rumah Bapak Areki dengan melanggar aturan keimigrasian, dalam interogasinya menjurus pada situasi perang di Lanny Jaya antara TNI/Polri dan TPN-PB.

 

Menuduh Areki Wanimbo mendroping amunisi kepada TPN-PB dan surat sumbangan dana pertemuan konsolidasi para pemimpin politik Papua Barat di Vanuatu pada September 2014. Sumbangan dana tersebut dilakukan sesuai hasil keputusan komunike Melanesia Spearhead Groups (MSG) 26 Juni 2014 di Port Moresby, PNG. Salah satu poinnya, para pemimpin perjuangan Papua Barat segera bersatu membuat aplikasi baru untuk menjadi anggota MSG.

 

Dengan demikian, secara formil dan materiil hukum, tidak ada sinkronisasi antara tuduhan penangkapan dan interogasi kasus. Penyidik Polres Jayawijaya menjebak kepada Areki Wanimbo dengan teman-teman, yang menjurus pada kasus makar.

 

Kepala Suku Areki Wanimbo dijadikan sebagai tersangka dengan tuduhan makar kasus selebaran surat sumbangan dana pertemuan di Vanutu, dan SMS tentang amunisi, serta surat daftar harga pembelian amunisi.

 

Sesungguhnya hal tersebut tidak masuk dalam logika hukum. Sebab, Pertama, hasil keputusan komunike MSG sudah dipublikasikan secara terbuka untuk umum, melalui surat resmi maupun melalui media cetak dan elektronik (Televisi dan Website).

 

Kedua, SMS tentang amunisi dan daftar harga pembelian amunisi tidak bisa dijadikan sebagai alasan hukum. Karena tidak ada alat secara fisik yang bisa dipertanggungjawabkan di depan hukum.

 

Ketiga, Areki Wanimbo tidak ada hubungan dengan persoalan Imigrasi. Tidak ada kesalahan sama sekali, sebab ia tak punya paspor dan visa sebagai alasan pelanggaran imigrasi. Yang dilakukan oleh Areki sebagai Kepala Suku Besar, tentu siapa saja yang datang bertamu dari dalam maupun luar Papua harus dilayani, karena itu tugas Kepala Suku. Termasuk menerima kedua Jurnalis Perancis.

 

Kesalahan Prosedur Penangkapan

 

Pada saat penangkapan berlangsung terhadap 6 (enam) orang yang dimaksud, Polisi telah menyalahi prosedur hukum yang berlaku (KUHP) Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

 

Contohnya, Pertama, Polisi tidak menunjukan Surat Perintah Penangkapan terhadap mereka yang disangkakan pada saat penangkapan berlangsung.

 

Kedua, penangkapan tidak menunjukan surat tugas dari petugas kepolisian yang akan menangkap.

 

Ketiga, surat Perintah Penangkapan dan Surat perintah Penahanan tidak diberikan tembusannya kepada pihak keluarga yang disangkakan.

 

Keempat, para tersangka tidak diberikan makan 1×24 jam ketika sedang ditahan di Mapolres Jayawijaya.

 

Kelima, Areki Wanimbo karena kelelahan meminta dimasukkan ke ruangan sel namun ditolak oleh polisi.

 

Keenam, Surat berita penangkapan dibuat pada tanggal 6 Agustus 2014. Sedangkan surat perintah penahanan dibuat pada tanggal 7 Agustus 2014, sudah lewat dari 1×24 jam. Surat berita Penangkapan dan Surat perintah Penahanan baru dikeluarkan dan diserahkan secara bersama pada tanggal 8 Agustus 2014.

 

Ketujuh, Tidak ada barang bukti yang mendukung sesuai dengan KUHP; setidak-tidaknya 2 barang bukti untuk kekuatan hukum.

 

Kedelapan, Pada saat 6 orang diinterogasi di Polres Jayawijaya, tanpa didampingi penasehat hukum padahal didalam KUHP Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Polisi wajib menyiapkan penasehat hukum.

 

Kesembilan, dalam pemeriksaan terhadap Areki Wanimbo bersama teman-temannya, dibawah tekanan dan intimidasi pihak penyidik. Ini sesuai pengakuan Areki dari dalam ruang penyidik Polres Jayawijaya.

 

Negosiasi dan Advokasi

 

Janji Kapolres Jayawijaya ketika pertemuan dengan ketua Dewan Adat wilayah Lapago, Lemok Mabel bersama rombongan, pada 6 Agustus 2014 di Polres Jayawijaya.

 

Pertama, Kapolres Jayawijaya dalam pertemuan malam itu mengatakan bahwa pemeriksaan akan dilakukan 1×24 jam. Setelah itu mereka akan dipulangkan. Namun janji Kapolres tidak terpenuhi. 4 orang yang dimaksud dipulangkan pada pukul 08:00 WP.

 

Kedua, menurut Kapolres, bagi mereka yang diinterogasi akan menjamin makanannya. Namun hak-hak tersangka tak terpenuhi ketika mereka ditahan.

 

Usai menjalani pemeriksaan oleh penyidik Polres, Deni Douw, Enius Wanimbo, Jornus Wenda, dan Ahky Logo, dibebaskan pada Kamis 7 Agustus 2014.

 

Pada sorenya, Thomas dan Valentine dikirim ke Polda Papua untuk dimintai keterangan lebih detail tentang imigrasi. Mereka dituduh melakukan tindak pidana Keimigrasian dan tindak pidana Makar sebagaimana diatur dalam pasal 122 huruf a UU No. 06 tahun 2011 tentang Imigrasi Jo Pasal 55 dan 56 KUHPidana.

 

Tanggal 8 Agustus 2014, Kepala Suku Besar Lani Areki Wanimbo ditetapkan sebagai tersangka melakukan tindak pidana Keimigrasian dan tindak pidana Makar sebagaimana dimaksud dalam pasal 122 huruf a UU No. 06 tahun 2011 tentang Imigrasi Jo Pasal 55 dan 56 KUHPidana dan 106 KUHPidana Jo Pasal 53 KUHPidana Jo 55 dan 56 KUHPidana. Dan ditahan di sel Polres Jayawijaya.

 

Menyikapi penahanan dua wartawan dan Areki Wanimbo, Kepala-kepala Suku Dewan Adat Balim La Pago bersama Pater John Djonga, Pr dan Pater Theodorus Kosy, OFM melakukan pertemuan dengan Kapolres Jayawijaya, Jumat 8 Agustus 2014. Pertemuan diadakan di Polres Jayawijaya.

 

Apa yang dibicarakan? Dalam pertemuan itu, Kepala-kepala Suku mengungkapkan sejumlah hal penting. Termasuk beberapa poin tuntutan kepada Kapolres Jayawijaya.

 

Pertama, Areki Wanimbo adalah Kepala Suku Lani Besar dan Ketua Dewan Adat Daerah Lani Besar, tidak bisa dijebak dengan perang TNI/Polri dan TPNPB. Sebab kejadian di Kabupaten Lanny Jaya tidak ada hubungan dengannya.

 

“Itu murni antara TNI/Polri dan TPN-PB, yang berawal dari bisnis amunisi yang selama ini dilakukan oleh anggota Polres Lanny Jaya kepada TPN-PB,” kata Dewan Adat La Pago.

 

Tanggal 28 Juli 2014, kejadian di kampung Indawa, tertembaknya seorang anggota Polisi dan 3 anggota lainnya luka-luka sebagai dalil untuk melumpuhkan Pimpinan TPNPB Enden Wanimbo yang bermarkas operasi di sana.

 

Namun rencana itu dibaca oleh TPNPB pimpinan Enden Wanimbo, dengan langsung menewaskan dan melumpuhkan anggota Polisi bersenjatakan lengkap. Selanjutnya kedua belah pihak saling kontak senjata dari Pukul 12.00 – 15.00 WP.

 

Jika Areki Wanimbo dihubungkan dengan kasus di Kabupaten Lanny Jaya, dikhawatirkan  akan meluas ke Lembah Baliem, dan akibatnya bisa fatal terjadi pelanggaran Hak Asasi Manusia. Pasti rakyat akan korban banyak. Yang bisa menenangkan situasi begitu, salah satunya adalah Areki Wanimbo. Maka, ia harus dibebaskan demi kenyamanan, keamanan dan perdamaian.

 

Kedua, tuduhan makar lantaran menyebarkan surat sumbangan dana untuk pertemuan di Vanuatu. Ini tidak mendasar, karena sumbangan dijalankan menindaklanjuti hasil keputusan komunike MSG di Port Moresby, 26 Juni 2014. Upaya aplikasi baru untuk menjadi anggota MSG, bukan rahasia lagi karena sudah dipublikasikan ke seluruh dunia melalui media massa.

 

Ketiga, berdasarkan tuduhan tersangka pasal makar dan keimigrasian, sesuai dengan penjelasan point a dan point b, tidak ada alasan untuk menahan Areki Wanimbo. Kapolres Jayawijaya harus segera bebaskan dia, sebelum terjadi hal-hal yang lebih buruk.

 

Keempat, persoalan jual beli peluru di Lanny Jaya, tidak bisa mengkambinghitamkan Areki. Pihak Polda Papua mengaku bahwa transaksi amunisi di sana dilakukan oleh oknum anggota Polres Lanny Jaya.

 

Apa jawaban Kapolres Jayawijaya? Tiga hal dikemukakan dalam pertemuan dengan Kepala-kepala Suku dan Pemuka Agama.

 

Pertama, Areki Wanimbo ditahan karena ada hubungan langsung dengan wartawan Perancis. Thomas dan Valentine, ditahan di Polda Papua untuk menjalani penyidikan di Imigrasi Jayapura. Jika kedua wartawan dibebaskan, maka Areki Wanimbo juga akan bebas.

 

Kedua, Areki ditahan karena ada surat permohonan sumbangan untuk MSG, akan dilakukan konsolidasi para Pemimpin Papua di Vanuatu.

 

Ketiga, Areki dalam tuduhan tersangka tidak ada hubungan dengan kasus di Lanny Jaya.

 

MARY

Terkini

Populer Minggu Ini:

Panglima TNI Didesak Tangkap dan Adili Prajurit Pelaku Penyiksa Warga Sipil...

0
“Oleh sebab itu, LBH - YLBHI mengutuk keras praktek penyiksaan yang dilakukan oleh prajurit TNI terhadap warga Papua. LBH-YLBHI mendesak Komnas HAM secepatnya melakukan penyelidikan dan menuntut para pelaku penyiksaan menyerahkan diri untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya serta mendesak panglima TNI turun tangan melakukan penangkapan para pelaku,” tegasnya dalam rilis yang diterima suarapapua.com, Senin (25/3/2024).

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.