ArsipPemanggilan Gustaf Kawer; Ada Upaya Kriminalisasi Pengacara HAM di Papua

Pemanggilan Gustaf Kawer; Ada Upaya Kriminalisasi Pengacara HAM di Papua

Selasa 2014-09-02 00:31:00

PAPUAN, Jayapura — Koalisi Masyarakat Sipil Untuk Penegakan Hukum dan HAM Papua, meminta aparat penegak hukum di tanah Papua untuk tidak mengkriminalkan Gustaf Kawer, SH, M.Si, yang juga sebagai pengacara HAM senior di Jayapura, Papua, terkait insiden yang terjadi awal Juni 2014 lalu.

Victor Mambor, Koordinator Koalisi HAM Papua menegaskan, surat pemanggilan pertama dari Polisi sudah dilayangkan pada tanggal 22 Agustus 2014, dengan isi surat pemanggilan yang tidak jelas.

 

“Ini sudah sudah jelas-jelas menyalahi aturan, karena bertentangan dengan surat kesepakatan yang pernah dibuat antar Peradi dengan kepolisian," tegas Mambor, Senin (2/9/2014) siang, saat memberikan keterangan pers di dampingi Direktur Jerat Papua Septer Manufandu, Kepala SKPKC GKII Dora Balubun, Koordinator BUK Papua Peneas Lokbere, dan dua pengacara HAM, Olga Hamadi dan Ivone Tetjuari, di rumah makan Rempah-Rempah, Abepura, Papua.

 

Menurut Mambor, Polisi di Papua harus mempelajari isi surat kesepakatan bersama itu, sebab telah dituliskan secara jelas, jika ada hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas pengacara, maka dapat diselesaikan melalui organisasi profesi.

 

“Kami jelas meminta aparat penegak hukum yang lapor untuk cabut laporan ini. Sebab kami lihat, ini direncanakan oleh Polisi dan hakim, dan ini bagian dari bentuk kriminalisasi terhadap pengacara-pengacara yang konsisten membela hak-hak orang Papua,” ujarnya.

 

Olga Hamadi, salah satu pengacara HAM menambahkan, persoalan yang dihadapi rekan mereka, Gustaf Kawer, sebenarnya bagian dari upaya kriminalisasi yang dilakukan aparat penegak hukum, baik Polda Papua, maupun hakim di PTUN.

 

Dikatakan, ada beberapa kejanggalan dalam proses pemanggilan tersebut, sebab kejadian sudah berlangsung sejak Juni, namun surat pemanggilan dari Polisi baru dikeluarkan tanggal 22 Agustus 2014.

 

“Harus dilihat juga, kasus ini terjadi di luar persidangan, dan hanya bentuk protes terhadap hakim. Pak Gustaf awalnya telah meminta panitera untuk menunda sidang, sebab ada persidangan yang bertabrakan, namun karena tetap dipaksakan, sehingga pak Gustaf meminta untuk hakim menghentikan jalannya sidang,” kata Hamadi.

 

Yang lebih tidak masuk akal dengan surat laporan Polisi, lanjut Hamadi, pihak kuasa hukum tergugat, yakni, Kepala Pertanahan Jayapura, Papua, pernah tiga kali meminta penundaan sidang melalui telepon seluler, dan disetujui oleh hakim dan panitera, sedangkan saat kuasa hukum penggugat meminta sidang ditunda hanya satu kali saja, namun hal itu tidak dikabulkan.

 

Protes yang dilakukan koalisi, lanjut Hamadi, bukan terkait putusan majelis hakim, atau materi persidangan, tetapi yang diminta, hanya mengabulkan permohonan agar sidang dapat ditunda, apalagi kuasa tergugat tidak berada di dalam ruang sidang pula.

 

“Kami pengacara juga punya hak impunitas, baik di dalam sidang, maupun di luar persidangan, saya pikir kasus ini harus diselesaikan lewat lembaga profesi. Apalagi, surat yang dikirim tidak jelas, sebab hanya mencantumkan nama dan alamat, tidak ada usia, tidak ada pekerjaan, juga tidak ditanda tangani oleh penyidik,” tegas Hamadi.

 

Direktur KontraS Papua ini mendesak Kapolda Papua untuk segera menghentikan upaya kriminalisasi terhadap pengacara HAM yang sedang dilakukan saat ini.

 

“Kami minta segera buka ruang untuk diskusi dengan organisasi profesi, dalam hal ini Peradi, agar dapat menyelesaikan masalah ini, bukan langsung ditujukan kepada Polisi,” tutup Hamadi.

 

Sementara itu, Peneas Lokbere, Koordinator BUK Papua menambahkan, sebagai wujud protes atas sikap hakim PTUN yang melaporkan persoalan ke Polisi, maka akan dilangsungkan aksi di depan Kantor PTUN, Waena, Jayapura, Papua, pada 2 September 2014.

 

“Aksi kami tujuannya meminta teman kami, Gustaf Kawer untuk diberikan perlindungan dan keamanan, juga aparat segera cabut laporan Polisi,” tegas Lokbere.

 

OKTOVIANUS POGAU

Terkini

Populer Minggu Ini:

KPK Menang Kasasi MA, Bupati Mimika Divonis 2 Tahun Penjara

0
“Amar Putusan: Kabul. Terbukti Pasal 3 jo Pasal 18 UU PTPK jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) ke-1 KUHP. Pidana penjara 2 tahun dan denda Rp200 juta subsidair 2 tahun kurungan,” begitu ditulis di laman resmi Mahkamah Agung.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.