ArsipMemudarnya Solidaritas Sosial di Papua?

Memudarnya Solidaritas Sosial di Papua?

Jumat 2014-09-26 15:20:00

Oleh: I Ngurah Suryawan*

    

Mungkin saya terlalu dini jika mengatakan bahwa solidaritas sosial masyarakat Papua, khususnya di perkotaan, dan kampung-kampung mulai dipertanyakan.

 

Sebelumnya, masyarakat di kampung yang komunal sangat menjungjung tinggi integrasi (kesatuan) dan solidaritas (kebersamaan) dalam sebuah komunitas.

 

Keseluruhan tata nilai dan gerakan reproduksi kebudayaan tergerak karena adanya integrasi dan solidaritas sosial yang terjalin karena tali-temali kekerabatan dan kesamaan pandangan dan praktik kebudayaan.

 

Kini Tanah Papua, meski di kampung-kampung, sudah tentu tidak terlalu homogen dibandingkan pada zaman dahulu. Sudah banyak perubahan yang terjadi dan praktis di pelosok manapun Papua sudah sangat heterogen.

 

Hadirnya para pendatang yang mengadu nasib di pelosok-pelosok Tanah Papua sudah tak terhitung jumlahnya. Belum lagi sebelumnya program transmigrasi memaparkan keterhubungan Papua dengan dunia dan kebudayaan luar.

 

Nilai-nilai dan norma dalam bentuk integrasi dan solidaritas sosial para pendukungnya pun mulai tergeser, tergugat, dan mengalami perubahan yang tak terhindarkan.           

 

Salah satu penyebab memudarnya integrasi dan solidaritas sosial di tengah masyarakat adalah fragmentasi (keterpecahan) pandangan tentang nilai dan norma yang dianut sebelumnya. Hal lainnya sudah barang tentu masuknya pandangan-pandangan baru, dalam hal yang umum disebut modernitas dalam berbagai bentuknya.

 

Hadirnya birokrasi, pemerintahan, program-program pembangunan, dan perusahaan dengan giuran modal investasinya adalah nilai baru yang menawarkan perubahan pola pikir dan praktik kehidupan kebudayaan.  

 

Solidaritas dan integrasi sosial adalah modal yang tak ternilai harganya untuk menjadikan komunitas masyarakat yang kuat dan mengambil peran dalam perubahan sosial yang terjadi. Perannya adalah sebagai subyek, pelaku dan inisiator dari perubahan itu, bukannya sebagai obyek apalagi sebagai penontonnya.

 

Solidaritas dan integrasi sosial di tengah masyarakat itu layaknya spirit, semangat berkomunitas sosial untuk menghadapi berbagai persoalan dan permasalahan yang terjadi di tengah komunitas tersebut.

 

Dalam bidang pendidikan misalnya, dalam sebuah penelitian lapangan, saya melihat bagaimana 2 orang anak yang membututi saya sejak keluar dari rumah panggung seorang warga tempat saya menumpang menginap.

 

Kedua anak ini berjalan tanpa alas kaki, menggunakan kaos kusut dan robek-robek. “Ko tara sekolah,” tanya saya. Kedua anak ini kemudian menjawab singkat. “Guru tara ada kak.”

 

Seorang anak yang lebih lugas menceritakan kepada saya bahwa sudah hampir enam bulan guru di kota dan mengurus wisuda di Jawa. “Dong pergi dan tra sampaikan kepada kitorang masyarakat apalagi tong pu anak-anak ni,” ujar seorang bapak menimpali obrolan kami sore itu menuju sungai yang dijadikan tempat pemandian umum masyarakat kampung.

 

Saya mencoba melanjutkan bertanya kepada beberapa anak yang menemani saya mandi sore itu. “Ade, ko pu cita-cita apa e? Kalau boleh kaka tahu,” tanya saya sambil kami bersama-sama bermain air dan melempar batu sejauh-jauhnya. “Bapa, tong pu mimpi itu sekarang ini hanya sekolah saja, tara lebih,” ungkap seorang anak menimpali saya.

 

Wajar saja, sudah hampir 1 semester anak-anak di kampung ini tidak masuk sekolah dan mendapatkan pendidikan.

 

Sepintas saya melihat ruang-ruang kelas penuh debu dan kursi-kursi berserakan di dalam ruangan. Saya bebas masuk ruangan kepala sekolah dan guru-guru karena tidak dikunci.

 

Kondisi sekolah itu sungguh memprihatinkan sekali. Di depan bangunan papan sekolah, rumput tumbuh tinggi-tinggi mengelilingi bangunan.

 

Fragmen narasi di atas menunjukkan bahwa harapan dan cita-cita anak-anak Papua, dan semestinya seluruh rakyat Papua di tanahnya sendiri, adalah mendapatkan pendidikan yang berkualitas.

 

Mimpi tentang perubahan dalam bidang pendidikan yang menghargai harkat dan martabatnya sebagai manusia. Perubahan tersebut bisa berlangsung diawali dengan solidaritas dan integrasi sosial komunitas kampung setempat untuk memperjuangkan nasib anak-anak mereka dalam mendapatkan pendidikan yang layak dan berkualitas, meski harus tanpa tergantung dengan berbagai bantuan pemerintah dan swasta.

 

Integrasi dan solidaritas sosial akan menjadikan warga masyarakat mandiri, bermartabat, dan sudah tentu akan kreatif untuk menangani berbagai persoalan politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan termasuk pendidikan yang berada di kawasan mereka.

 

Solidaritas dan integrasi sosial adalah modal sosial yang tak ternilai harganya yang menggerakkan masyarakat untuk responsif dan berinisiatif untuk merubah dirinya sendiri.

 

Modal sosial ini juga akan menjadi pendamping sekaligus pengkritik program-program pembangunan yang diinisiasi oleh pemerintah dan juga swasta.

 

Realitas yang terjadi di beberapa kampung-kampung yang saya amati adalah terpecahnya integrasi dan solidaritas sosial tersebut. Penyebabnya berbagai macam hal. Salah satunya yang saya amati adalah persoalan klaim tanah ulayat ketika investor (perusahaan) mulai masuk ke kampung-kampung untuk membelah kayu-kayu yang berada di lingkungan sekitar kampung.

 

Hal lainnya adalah keterpecahan akibat pemekaran daerah dimana berbagai suku di kampung berebut untuk menduduki jabatan penting birokrasi atau saling klaim pemilik tanah ulayat tempat dimana daerah pemekaran baru itu terbentuk.

 

Salah satu hal penting dalam pemecah integrasi dan solidaritas sosial yang terjadi di kampung-kampung Papua adalah tawaran uang dan hidup yang lebih.

 

Nilai modernitas dan kemajuan dianggap jauh lebih baik dengan nilai-nilai kebudayaan tradisional di kampung. Padahal acuan dari modernitas dan kemajuan adalah selalu dari luar, tidak menjejakkan kaki di lingkungan kampung.

 

Mimpi tentang kemajuan selalu menoleh Jawa dan luar negeri tanpa “menjejakkan kaki” di kampung sendiri. Sehingga mimpi modernitas/kemajuaan tersebut lepas atau kehilangan konteks lokalnya yaitu kampung masing-masing.        

 

Padahal, jika mau jujur mengakui, integrasi sosial dan masyarakat yang terorganisir solid adalah modal yang sangat penting untuk membentuk masyarakat yang mandiri, kokoh, dan berdaulat bermartabat.

 

Sayangnya –atau mungkin saya salah– lambat laun integrasi dan solidaritas sosial itu mulai luntur ditelan nilai-nilai baru yang masuk hingga ke dalam rumah rakyat Papua di kampung-kampung.

 

Lemahnya solidaritas dan integrasi sosial sebagai basis nilai sosial budaya akan menyebabkan masyarakat yang kalah dan tergantung dengan bantuan dari luar.

 

Masyarakat yang demikian adalah masyarakat yang tidak mempunyai kreativitas dan inisiatif untuk merubah dirinya sendiri. Ujungnya adalah masyarakat yang frustasi dan tidak bermartabat karena harkatnya yaitu integrasi dan solidaritas sosial telah digadaikan kepada niat baik orang lain.

 

* I Ngurah Suryawan adalah Staf pendidik/Dosen Jurusan Antropologi Fakultas Sastra UNIPA Manokwari, Papua Barat

Terkini

Populer Minggu Ini:

Gereja Pasifik Desak MSG Keluarkan Indonesia Jika Tidak Memfasilitasi Komisi HAM...

0
“Dengan berakhirnya Pertemuan Pejabat Luar Negeri Melanesian Spearhead Group untuk mengantisipasi Pertemuan Para Pemimpin MSG yang akan datang, pertanyaannya adalah, bagaimana mungkin MSG akan terus membiarkan Indonesia, yang memiliki kebijakan dan praktik yang merendahkan martabat, melemahkan, dan menghilangkan hak-hak perempuan, anak-anak, dan laki-laki Melanesia - sesama anggota MSG, tetap menjadi anggota?”

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.