ArsipRencana Bongkar Katedral Jayapura: Selamatkan Jejak Allah, Inkulturasi Akan Dihilangkan

Rencana Bongkar Katedral Jayapura: Selamatkan Jejak Allah, Inkulturasi Akan Dihilangkan

Rabu 2014-10-08 09:49:45

Oleh: Natan Naftali Tebai*

 

Pembangunan suatu Gereja dalam kehidupan masyarakat sosial (pribumi) adalah misi Allah itu sendiri. Gereja mula-mula terpancar dari kehidupan ini bukanlah satu kebetulan.

 

Kisah kelahiran Yesus Kristus itu sendiri adalah simbol pembaruan gereja di bumi. Dalam pengertian lazim dikenal, Gereja adalah persekutuan umat yang percaya, menjalankan titah-titah Allah dalam kehidupannya. Perlu dimengerti, Gereja itu bukan gedung, kemewahan materi, dan lainnya. Tetapi, Gereja itu adalah manusia itu sendiri.

 

Penyebaran Gereja dimana saja akan selalu mendominasi ajaran-ajaran Theology, dan kadang menghilangkan ajaran-ajaran masyarakat pribumi yang selalu hidup dan bercermin dari budaya kontekstualnya.

 

Nampak jelas, ajaran-ajaran adat dalam sakralitas tinggi selalu ditabukan oleh Gereja, dan kehidupan masyarakat pribumi dipaksakan untuk menerima ajaran-ajaran pembaruan yang berasal dari luar.

 

Istilah Perkawinan Theology Gereja dan Budaya

 

Peristiwa penolakan pemahaman luar (Theology-Agama) selalu terlihat jelas pada kehidupan masyarakat pribumi. Implikasinya adalah semakin banyak orang yang tidak mempercayai ajaran-ajaran Gereja, orang lebih banyak kembali pada pemahaman ajaran alam tradisional, banyak juga tidak berpartisipasi dalam Gereja, lebih banyak melakukan aktivitas budayanya dari pada aktivitas Gereja dan lainnya.

 

Hal lain, Gereja mesti lebih jeli melihat fenomena masyarakat pribumi, sehingga dinamika kehidupan itu dimasukan dalam satu paradigma baru dan mereka juga ikut terlahir sebagai manusia yang diselamatkan dalam situasi penyebaran nilai-nilai Injili itu sendiri. Masyarakat pribumi bukan dipaksankan untuk menerima nilai-nilai kehidupan westernisme maupun ajaran-ajaran Theologis.

 

Untuk menjembatani perbedaan paradigma (gereja dan budaya) dalam kehidupan masyarakat pribumi, maka para Theolog, Filsuf dan Misionaris melahirkan sebuah istilah baru. Istilah Inkulturasi dalam Gereja. Inkulturasi mulai dipakai dalam Gereja sejak tahun 1973 oleh G.L. Barney dalam bidang Missiologi.

 

Menurut Barney: “Di tanah, tepat misi mulai sebarkan nilai-nilai Injil yang mau diwartakan pada orang-orang setempat (pribumi) yang memiliki budaya; yang harusnya diwartakan pada orang-orang setempat adalah melahirkan Inkulturasi dalam Gereja orang setempat, sehingga dapat terbentuk satu budaya yang bersifat Kristen”.

 

Inkulturasi dalam Gereja sama seperti membangun Gereja secara kontekstual itu merupakan pintu iman yang murni.

 

Jauh dari pada itu, substansi Inkulturasi itu sendiri adalah usaha Gereja untuk menyesuaikan diri dengan budaya setempat, transformasi mendalam dari nilai-nilai budaya setempat yang asli dintegrasikan ke dalam ajaran-ajaran Kristenitas (de liturgia romana et inculturation).

 

Pada tahun 1977 dalam pemimpin Serikat Yesus mengoborkan dalam kongres tingginya bahwa “Warta Kristiani harus berakar dalam budaya setempat”.

 

Inkulturasi dalam Gereja Katolik

 

Dalam surat-surat gembala, Alm. Paus Yohanes Paulus ke-II mengingatkan umatnya bahwa “Penting membangun umat dalam masyarakat bumi dengan membangun Gereja dengan dalam budaya, Gereja lahir dari budaya mereka sendiri, sehingga Iman itu benar-benar mengakar dari dimana gereja itu ada.”

 

Menindaklanjuti itu dalam Gereja Katolik, dalam Sinode Keuskupan Jayapura pada tahun 2006 telah menetapkan 6 pilar utama, salah satunya adalah “Mengangkat Nilai-Nilai Budaya Papua dalam Gereja”.

 

Dalam amanat Sinode sungguh jelas bahwa budaya yang dimaksudnya adalah ada inkulturasi itu diikutkan dalam pembangunan gereja, liturgi ekaristi dan ornamen lain yang terdapat dalam penyebaran Agama Katolik itu sendiri.

 

Kesetiaan dan kekonsistenan Gereja Katolik terhadap putusannya belum nampak dalam kehidupan Orang Papua sendiri. Dalam pembangunan Gereja-gereja masih banyak yang mulai mentransformasikan Inkulturasi dalam budaya modern dan menabukan inkulturasi masyarakat pribumi.

 

Kasus Pembongkaran Katedral Jayapura

 

Gereja dalam Umat Katolik tidak lagi dilihat sebagai sebuah gedung yang kapan saja diminati oleh persekutuan hadir dan pulang, Gereja sesungguhnya yang dipahami adalah manusia itu sendiri. Gereja sama dengan manusia. Jika Gereja ada di Papua, maka Gereja adalah Manusia Papua.

 

Dari berita yang kian merambah, dalam waktu tidak begitu lama Gereja Katolik Katedral Jayapura akan dibongkar, dapat diakses melalui www.florrykoban.com. Ditulis dalam situs ini, pihak Gereja Katedral Jayapura telah membentuk panitia pembangunan Gereja baru. Argumentasi pembongkaran itu adalah Pertama, umat yang terlalu padat; kedua, ada pelapukan pada dinding yang dilapisi kayu.

 

Dalam situs ini dipaparkan bahwa pembongkaran gereja ini sungguh tidak memperhatikan nilai-nilai budaya (Inkulturasi) yang sudah ada. Selain budaya, ikut menghapus nilai sejarah pembangunan gereja.

 

Selain itu, dalam desain Gereja baru tidak memperlihatkan simbol-simbol budaya orang Papua, malah Gereja dibangun versi klasik (kebarat-baratan).

 

Sudah jelas, desain Gereja Katedral Jayapura yang baru sungguh bertentangan dengan 6 pilar yang ditetap dalam Sinode Gereja Katolik, pengertian inkulturasi dan surat-surat Paus. 

 

Simbol-simbol Inkulturasi Gereja Katedral

 

Model desain dan pembangunan Gereja Katedral Jayapura masih ada sekarang, adalah sebuah model inkulturasi Orang Papua. Gereja yang ada merupakan sebuah bangunan yang monumental yang selalu melahirkan rasa memiliki Gereja dalam kehidupan Orang Papua.

 

Simbol-simbol inkulturasi orang Papua dalam Gereja Katedral Jayapura adalah:

 

Pertama, Gereja Katedral memiliki dinding bagian kanan dan kiri merupakan simbol jaring-jala yang disertai hasil tangkapan ikan.

 

Kedua, Altar dan Sakramen Maha Kudus menghadap ke tempat terbitnya matahari pagi

 

Ketiga, Menara lonceng Gereja Katedral menara pengintai musuh berasal dari kearifan lokal suku Dani, Lembah Agung Baliem.

 

Keempat, Fondasi berbentuk Salib Fransiskus Asisi.

 

Kelima, Bentuk dari atas bentuk desain Gereja seperti perahu yang akan berlayar di laut lepas.

 

Keenam, Warna-warna memiliki karakter, ciri khasnya cat dicampur dengan tanah Port Numbay.

 

Ketujuh, Ada ukiran-lukisan simbol-simbol orang Papua pada dinding-dinding yang berasal dari kearifan lokal orang Danau Sentani.

 

Kedelapan, Lukisan di bagian luar gambar Petrus sebagai penjala ikan dan pintu dalam gambar kotbah di bukit.

 

Pemaknaan Simbol Inkulturasi Gereja Katedral

 

Awal mula Gereja di masa modern ini, dalam kehidupan orang Katolik selalu bercermin dari kepribadian Rasul Petrus yang dahulu jadi menjadi nelayan, penjala ikan di Danau Galilea, dengan kelahiran sang Putra Allah (Pemiliki Gereja) mengubah dirinya, status sosial, Petrus dari penjala ikan menjadi penjala manusia. Status Petrus, sesuai dengan perkembangan Injil dahulu di Papua ada daerah-daerah perlu disentuh dengan pemberitaan Injil.

 

Gereja Katedral bentuk perahu adalah mengisyaratkan dunia, kehidupan di masa kini yang makin luas tantangan Gereja hadapi, Gereja seperti tengah berada dalam lautan kehidupan yang membutuhkan tempat sandaran agar ada Umat Tuhan yang datang mencicipi dunia keselamatan.

 

Dalam tantangan itu ada umat-umat Allah yang sedang hadapi kehidupan yang maha bebas, kadang lupa dengan ajaran-ajaran titah-titah Allah. Maka, ikan mengibaratkan kehidupan manusia yang bebas itu mesti menaruh kehidupan dalam ajaran-ajaran Allah agar hidup atau naik dalam perahu kehidupan yang dimunculkan dalam bentuk bangunan.

 

Selain itu, jala dalam permenungan kita adalah ajaran-ajaran Tuhan itu sendiri yang dipakai oleh pemimpin-pemimpi Gereja (Pastor atau Pendeta) mengajarkan dan mengajak umat manusia berlandaskan Injil (Perjanjian Baru) untuk hidup tekun, setia, bertobat.

 

Selain hermeunetik di atas, simbol Perahu, ikan dan jala cermin atau mencirikan kehidupan orang Papua yang bertengker di pesisiran pantai yang selalu menaruh kehidupan di dunia laut.

 

Eratnya kehidupaan ini melahirkan totem-totem, mitologi hingga ada orang Papua yang memiliki cerita, ada klan (marga) tertentu yang memiliki asal-usul dari ikan tertentu, seperti pada kehidupan orang Jayapura.

 

Menurut pandangan kearifan lokal orang Port Numbay, sebut tanah mereka adalah negeri matahari terbit. Dalam bahasa, lidah orang Port Numbay sebut Tanah Tabi (Tanah Matahari Terbit). Sesuai istilah kebesaran “Negeri Tabi”, maka Sakramen Ekaristi diletakkan di bagian terbitnya matahari, karena orang dimana Gereja ini ada, itu ada di tanah orang Port Numbay.

 

Ini mengisyaratkan bahwa Gereja selalu menerima anugerah dari Allah pertama dan utama, selalu terjadi pembaharuan hidup mulai dari Gereja.

 

Bruder Henk Blom, OFM, sebagai pendiri, menyebutkan, menara lonceng Gereja Katolik Katedral Jayapura, itu adalah simbol pengintai orang gunung, daerah Lembah Agung Baliem.

 

Simbol ini menyisyaratkan kehidupan manusia di Tanah Papua mesti hidup berjaga-jaga dalam segala situasi. Kehidupan orang Papua saat ini mesti mendengar, memahami ajaran-ajaran nilai-nilai Injil. Dan menaruh kehidupan itu di “Perahu” dan jangan lagi hidup di lautan bebas seperti ikan tidak terjaring.

 

Gereja Katolik Katedral Jayapura memiliki warna-warna alam, terutama dalam campuran warna itu mengikutkan warna tanah yang ada di Port Numbay. Warna itu adalah warna kehidupan yang selalu menyegarkan suasana sesuai dengan nuansa dan karakter alam mengikuti perubahan-perubahan waktu dan zaman.     

 

Gereja Katolik Katedral ini memiliki nilai sejarah dimana Gereja dibangun oleh seorang Bruder Henk Blom OFM. Bukan hanya Katedral saja, tetapi juga Gereja Katolik APO, Kotaraja, Waena, Sentani, Wamena, Pegunungan Bintang, Gereja Enarotali dan Moanemani-Dogiyai.

 

Dasar dari bangunan Katedral bentuk Salib Yesus yang mengorbankan hidupnya demi keselamatan umat manusia. Karya Bruder Henk ini untuk orang Papua bangun martabat kehidupan di atas tanahnya sendiri.

 

Rekomendasi

 

Mengingatkan nilai 8 poin diatas penting, dipahami, dimengerti, maka panitia pembangunan mesti membuka diri, adakan konsultasi pada masyarakat pribumi secara luas-tersebar di 7 wilayah adat, karena ciri khas Gereja Papua.

 

Pemikiran ini dimaksudkan agar orang Papua tidak merasa dilecehkan, dihapuskan identitas dirinya dalam dinamika kehidupan terutama dalam Gereja.

 

Sekalipun pembongkaran itu terjadi, baiknya mencari tempat baru untuk pembangunan Gereja mengingat suatu kelak jika umat berkembang, tidak terjadi pembongkaran lagi.

 

Desain arsitektur Gereja yang baru sungguh melecehkan dan mengganggu wajah kehidupan Orang Papua, maka mestinya dirubah sesuai kehidupan kontekstual OAP. Untuk mencapai maksud tersebut, baiknya Panitia dan Keuskupan Jayapura mengadakan sayembara desain Gedung Gereja.

 

Jika Panitia terus melakukan pembongkaran dan penghancuran nilai-nilai budaya, maka secara otomatis Panitia akan berhadapan langsung dengan aturan Undang-Undang tentang Penyelamatan Cagar Budaya. Dan Panitia ikut melanggar hukum yang telah ditetapkan secara aturan formal.

 

Dari pembangunan Katedral itu mestinya ada penyegaran, gantikan yang rusak, tidak mengubah (menghapuskan) wajah asli dari bangunan Gereja itu sendiri.

 

Semoga, Jejak Allah dalam Inkulturasi Gereja Katedral diberikan “ruang” jalan keselamatan!

 

*Penulis adalah Wakil Ketua Litbang Pemuda Katolik Komisariat Daerah (PK Komda) Papua.

Terkini

Populer Minggu Ini:

Paus Fransiskus Segera Kunjungi Indonesia, Pemerintah Siap Sambut

0
“Berdasarkan surat dari Vatikan yang diterima Pemerintah Indonesia, Paus Fransiskus akan hadir pada 3 September 2024. Ini tentu menjadi suatu kehormatan bagi bangsa Indonesia,” ujar Menteri Agama RI Yaqut Cholil Qoumas Yaqut dalam keterangan persnya.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.