ArsipProteksi Hak Sipil dan Politik Rakyat Papua Harus Mulai dari Dialog

Proteksi Hak Sipil dan Politik Rakyat Papua Harus Mulai dari Dialog

Sabtu 2014-11-22 19:13:15

MANOKWARI, SUARAPAPUA.com — Menjelang peringatan 1 Desember sebagai hari yang oleh mayoritas rakyat Papua melalui Kongres Papua II, 21 Mei-04 Juni 2000 ditetapkan sebagai "Hari Kemerdekaan Papua", maka perjuangan untuk melindungi hak-hak sipil dan politik rakyat Papua harus dimulai dari dialog.

Hal ini dikemukan pengacara Hak Asasi Manusia (HAM) senior di Papua Barat, Yan CH Warinussy, melalui siaran pers yang dikirim kepada redaksi suarapapua.com, Sabtu (22/11/2014).

 

Menurut Warinussy, dialog adalah media yang tepat dan proporsional untuk digunakan oleh rakyat Papua saat ini melalui kelembagaan yang ada seperti Presidium Dewan Papua (PDP), maupun Dewan Adat Papua (DAP) untuk membangun percakapan-percakapan awal dengan pemerintah Indonesia untuk mendapatkan jaminan perlindungan.

 

“Perlindungan hak-hak sipil dan politik rakyat Papua adalah sebuah prasyarat penting dalam semangat membangun perdamaian di Tanah Papua.”

 

“Karena selama ini pemenuhannya tidak terjadi, malah senantiasa dihadapi dengan anasir kekerasan oleh aparat keamanan, termasuk menggunakan pasal-pasal penyebar kebencian (makar) seperti pasal 106, 108 dan 110 KUH Pidana untuk menindak perjuangan implementasi hak-hak sipil dan politik rakyat Papua tersebut,” kata Warinussy.

 

Pertemuan para pemimpin perjuangan politik Papua di Port Villa-Vanuatu dalam waktu dekat ini, lanjut Warinussy, perlu meminta dialog, karena dialog menjadi sesuatu pilihan yang mendesak, urgen dan proporsional, sehingga seharusnya telah dipersiapkan sejak awal.

 

Jika langkah dialog menjadi pilihan, kata Warinussy, maka peringatan 1 Desember mendatang harus dirubah dari bukan sekedar memperingati "Hari Kemerdekaan", tetapi yang penting adalah membangun kesepahaman bersama dalam memperjuangkan penegakan hukum terhadap berbagai tindak kekerasan negara dalam konteks pelanggaran hak asasi manusia sebagaimana diatur di dalam Undang Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dan Deklarasi Universal tentang HAM.

 

Perjuangan penegakan hukum tersebut, kata Warinussy, dapat didorong melalui langkah konkrit untuk mendesak institusi negara semacam Komnas HAM untuk segera membuka kasus-kasus pelanggaran HAM masa lalu di Tanah Papua. 

 

Utamanya yang terjadi semenjak sebelum 1 Mei 1963, maupun pasca 1 Mei 1963 dan juga menjelang, pada saat dan pasca penyelenggaraan tindakan pilihan bebas (act of free choice) atau yang oleh pemerintah Indonesia disebut sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) bulan Juli hingga Agustus 1969 di seluruh Tanah Papua.

 

Berbagai tindakan pelanggaran HAM berat dan juga terindikasi sebagai perbuatan genosida diduga keras telah terjadi pada masa antara tahun 1963 hingga 1979 (16 tahun) yang diduga keras melibatkan aparat TNI dan POLRI yang semestinya berdasarkan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, serta Undang Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua, khususnya amanat pasal 45 dan pasal 46.

 

“Berdasarkan ketentuan hukum tersebut segera dapat desak Komnas HAM untuk dibuka dan diselidiki, serta diproses menurut prosedur dan mekanisme hukum yang diatur di dalam aturan perundangan tersebut,” kata Warinussy.

 

“Pilihan mengedepankan dialog selanjutnya harus dijadikan sebagai agenda penting oleh pemimpin perjuangan rakyat Papua dalam mendesak pemerintahan Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-JK untuk memenuhi janjinya dalam menyelesaikan konflik sosial-politik yang sudah berlangsung lebih dari 50 tahun di Tanah Papua melalui Dialog Damai Papua-Indonesia,” tegas Warinussy.

 

OKTOVIANUS POGAU 

Terkini

Populer Minggu Ini:

PWI Pusat Awali Pra UKW, 30 Wartawan di Papua Tengah Siap...

0
“Tujuan dari pra UKW ini, para peserta dapat mengetahui proses uji kompetensi yang akan digelar di Nabire dan Riau,” kata Hendry Ch Bangun sembari berharap semua peserta UKW dinyatakan lulus.

Fortnightly updates in English about Papua and West Papua from the editors and friends of the banned 'Suara Papua' newspaper.